Pelajaran dari Kemenangan Yudhoyono


by Opini Tempointeraktif*
---
Sejumlah pelajaran bisa ditarik dari kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Keunggulan duet itu menunjukkan kian matangnya pemilih dalam menentukan sikap politik. Fenomena itu juga menegaskan bahwa bangsa kita sudah berada di jalur yang tepat untuk terus menempuh jalan demokrasi sebagai alat dan cara mengatasi perbedaan.

Kemenangan Yudhoyono-Boediono memang belum resmi. Angka kemenangan baru terlihat dari hasil hitung cepat (quick count) Komisi Pemilihan Umum dan berbagai lembaga riset. Namun, seperti pada pemilu legislatif yang lalu, perolehan hitung cepat biasanya tak berbeda jauh dengan hasil resmi.

Maka, dari hasil hitung cepat itu kita bisa membaca berbagai hal di balik kemenangan duet usungan koalisi pimpinan Partai Demokrat tersebut. Pada awal berlangsungnya kontes presiden, pasangan Yudhoyono-Boediono menuai kritik karena tak mengikuti mitos bahwa pasangan calon harus merepresentasikan Jawa dan luar Jawa. Muncul opini, pasangan yang sama-sama Jawa ini akan menimbulkan resistansi dari pemilih di luar Jawa.

Mitos itu terbukti runtuh. Pasangan Yudhoyono-Boediono mampu mengeduk suara terbanyak di beberapa kantong suara penting luar Jawa. Kemenangan besar diraih di Sumatera (termasuk Nanggroe Aceh Darussalam), Kalimantan Barat dan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua. Bahkan, di Bali, Yudhoyono mampu mendapatkan suara mendekati pasangan Megawati-Prabowo.

Hasil itu menunjukkan bahwa pemilih kian rasional dan pragmatis dalam menentukan sikap politik. Pemilih tak mempersoalkan apakah Yudhoyono-Boediono kombinasi Jawa dengan non-Jawa atau bukan. Bagi pemilih, tak peduli dari mana mereka, yang penting pasangan itu dipercaya mampu memenuhi harapan.

Berkaitan dengan isu runtuhnya primordialisme ini, apresiasi patut disematkan kepada Jusuf Kalla. Keteguhannya untuk maju sebagai calon presiden mampu memberi inspirasi bahwa yang bukan Jawa pun harus berani berlaga sebagai calon presiden. Kalah-menang soal lain. Yang penting, keberanian untuk bersaing meruntuhkan mitos primordialisme.

Duet Yudhoyono-Boediono juga unggul di wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis pesaing, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada pemilihan legislatif yang lalu, Partai Golkar menguasai Jawa Barat dan PDIP mendominasi Jawa Tengah. Tapi kali ini duet “Lanjutkan” menang di sana.

Lagi-lagi, sikap rasional-pragmatislah yang membuat Yudhoyono-Boediono memimpin perolehan suara. Pemilih di wilayah itu tak menghendaki tawaran perubahan kandidat lainnya. Mereka ragu untuk mempertaruhkan apa yang telah dinikmati selama ini. Pemilih enggan mengambil risiko. Apalagi rekam jejak dua pasangan lainnya juga dianggap menyimpan “cacat politik”.

Pada akhirnya hal ini menunjukkan bahwa kedewasaan politik masyarakat semakin tinggi. Masyarakat tak lagi bisa dirayu dengan pendekatan-pendekatan non-rasional. Khalayak akan mempertimbangkan hal-hal yang masuk akal sebelum bersikap. Maka, sungguh aneh jika kedewasaan politik khalayak ini tidak diimbangi dengan kedewasaan politik para elitenya. Demokrasi tak bisa lagi menerima sikap kekanak-kanakan.


sumber: tempointeraktif.com


NB: saya nukil opini ini untuk dijadikan 'bahan pemikiran' partai dakwah dan juga kader-kadernya terutama dalam membuat grand design strategic. setidaknya untuk mengetahui cara orang berfikir dan melihat sesuatu. bukankah nabi menasehati untuk khotibunnas ala qodri uqulihim? [admin]

---
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :