TAUJIH SYAR’I: Landasan Syar'i Koalisi PKS




Ketika dalam hidup kita harus memilih antara dua perkara yang jaiz atau halal, tetapi tingkat atau dampak kemaslahatannya tidak sama, maka pilihan harus dijatuhkan kepada yang dikalkulasi lebih besar maslahatnya.

----


TAUJIH SYAR’I

MENIMBANG KEMASLAHATAN LEBIH BESAR

1. Dinul Islam tidak semata-mata diturunkan melainkan untuk kemaslahatan semesta, sebagaimana firman Allah SWT tentang missi Rasul saw.

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya: 107)

Dan firmanNya:

“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al Maidah: 6)

2. Apabila kemaslahatan untuk semua orang tidak dapat dicapai, maka perintah syara’ adalah agar mengupayakan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah[134]. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.“ (Al baqarah: 217)

Ayat ini mentoleransi atau bahkan mendispensasi untuk melancarkan peperangan di bulan haram, padahal status hukum asalnya haram, tapi untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi da’wah Islamiyah (bahkan umat manusia) maka mengambil inisiatif menyerang sekalipun adalah langkah yang dibenarkan oleh syara’. Kemaslahatan yang lebih besar itu berupa dapat dilumpuhkan atau dihancurkannya kekuatan yang menghalangi da’wah fisabilillah. Zhuhurnya institusi kekufuran, penodaan terhadap tempat suci al Masjidil Haram, pengusiran kaum muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka. Dan secara umum setiap bentuk upaya memesongkan manusia dari ‘aqidah Islamiyah merupakan “Fitnah” yang lebih dahsyat dari membunuh musuh di bulan terlarang.

3. Ketika dalam hidup kita harus memilih antara dua perkara yang jaiz atau halal, tetapi tingkat atau dampak kemaslahatannya tidak sama, maka pilihan harus dijatuhkan kepada yang dikalkulasi lebih besar maslahatnya.

Adalah Rasulullah saw manakala diberi pilihan antara dua perkara yang halal, tidak mengandung dosa di dalamnya, maka beliau memilih mana yang lebih maslahat, lebih ringan baik tenaga, waktu atau biayanya. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah:

“Tidaklah Rasulullah saw. memilih antara dua perkara kecuali ia memilih yang paling ringan selama bukan dosa".

4. Apabila kewenangan untuk mempertimbangkan dan memilih mana yang diperhitungkan akan dapat lebih membawa maslahat itu dimandatkan kepada seseorang melalui TAUKIL atau WAKALAH, maka pihak wakil berhak dan tidak boleh dipersalahkan ketika menjatuhkan pilihan tertentu yang masih dalam lingkup wakalahnya.

Ini berlaku untuk pemberian mandat khusus ataupun mandat umum, meskipun pihak penerima mandat sebagai perseorangan. Terlebih apabila mandat itu diberikan kepada suatu tim, satu majmu’ah atau grup dan struktur yang berposisi sebagai pemimpin (qiyadah) yang terpilih. Ijtihad individual/fardi dari anggota tidak boleh menjadi alternatif bagi ijtihad qiyadah, apalagi melikwidasinya. Di atas otoritas wakalah tersebut, ijtihad dan pilihan yang diambil qiyadah dalam menimbang (muwazanah) antara kemaslahatan, diperkuat pula dengan otoritas kewajiban ta’at (wujubul tha’ah) kepada ulil amri yang diperintahkan Al Quran Surah Annisa, ayat 59.

5. Kemaslahatan itu ada yang berupa khasiat/manfaat sesuatu yang kita pakai atau konsumsi secara fisik, hal ini dipertimbangkan berdasarkan empiric dan keahlian atau spesialisasi.

Taujih al Quran menegaskan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw:

“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Al A’raf: 157)

6. Pilihan yang dibuat sering harus diberlakukan juga antara beberapa kemungkinan yang bakal terjadi, melalui analisis konsekwensi atau dampak kedepannya atau kajian “Fiqh al Maalat”. Perbuatan yang jaiz bahkan ada kebaikannya ternyata dilarang oleh al Quran jika berdampak langsung (dzari’ah) menimbulkan hal hal yang jauh lebih merugikan, lebih mafsadat atau madharat.

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Al An’am : 108)

Dalam hal keniscayaan mempertimbangkan apa yang bakal atau diperhitungkan terjadi di masa yang akan datang, pembenaran terhadap tindakan Khidir dalam al Quran adalah relevan untuk dikemukakan.

“Dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (Al Kahfi: 80 81)

Dalam konteks siyasah syar’iyah, imam Ibnu Taimiyah merekomendasikan pilihan figure untuk suatu pos jabatan public, baik berupa pasangan atau satu pos tertentu. Ia minta agar mencontoh pasangan para khularaurrrasyidin yang mendapat taufiq Allah. Sosok Abu Bakar yang lembut lebih maslahat berpasangan dengan sosok Umar yang streng. Model Umar yang strik lebih maslahat berpasangan dengan Abu Ubaidah, bukan dengan Khalid bin Walid. Untuk posisi qadhi ia menyarankan sosok ‘alim yang berani meskipun agak kurang amalan sunatnya, untuk mufti ‘alim yang wari’ meski kurang berani. Sedang untuk seorang panglima atau komendan mengajukan orang yang kuat pemberani meskipun kurang ke’aliman dan amalan sunatnya.

7. Contoh dari Ibnu Taimiyah di atas sekaligus cocok untuk wawasan tentang
mempertimbangkan mana yang dampaknya pribadi dan mana yang berdampak umum.
Kesalehan yang berfsifat pribadi maslahatnya terbatas untuk diri pribadinya, sedang
kesalehan atau kethalehan (ketidak salehan) yang akan berdampak umum harus lebih
dipertimbangkan. Ini sesuai dengan arahan Rasulullah saw tentang shalat dan jihad
bersama seorang imam betapapun juga akhlaqnya.

Jangan tinggalkan shalat berjama’ah bersama seorang sulthan meski ia seorang yang
tidak baik (fajir), karena bagi ma’mum tetap untung tidak ada ruginya. Sebab kefajiran pribadi Sulthan dalam hal shalat jama’ah- bisa jadi pengurang pahala bagi dirinya, sedang kemaslahatan serta pahala shalat jama’ah tetap didapat oleh ma’mum tanpa berkurang. Sama halnya dengan jihad besama Sulthan yang fajir, kefujurannya merugikan dirinya sedangkan kemaslahatan jihad melumpuhkan musuh da’wah adalah untuk umum.

Karena itu, fuqaha membuat kategorisasi antara kebaikan yang terbatas (al khairul qashir) dengan kebaikan yang berdampak luas (al khairul muta’addi). Dalam konteks
kemaslahatan umum yang luas “al khairul muta’addi” yang harus lebih dipertimbangkan,
sedangkan “al khairul qashir” kalau ada ya tentu lebih baik dan memperelok. Jika tidak terpenuhi kedua-duanya, kebaikan pribadi mungkin bisa diupayakan/didorong dengan perjalanan waktu bahkan bisa ditoleransi. Tidak demikian halnya dengan yang berdampak umum, kepositipan atau kenegatipan, bukan perkara yang bisa ditoleransi dan diserahkan kepada proses waktu.

8. Dalam menapaki “al jihadu sabiluna” menuju “Allahu ghayatuna”, ada keharusan
selalu memadukannya dengan do’a, sebaliknya do’a harus berpadu upaya. Di sektor
siyasah maka jihad siyasi yang kita tempuh dengan sabar punya target idaratul daulah (memperbaiki negara). Memang ada kesamaan dengan kekuatan politik lain, tapi kita wajib memastikan bahwa jihad siyasi ini berbeda. Sebagaimana arahan Kitabullah SWT:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (Assajdah: 24)

Ayat ini menegaskan bahwa imam adalah sulthan, sulthan adalah imam.
Keteladanan sebagai imam dalam hal bersih peduli dan professional, kita bina dengan segala kesabaran, untuk mampu membawa masyarakat pada kehidupan yang yang berjalan menurut guidance Allah, sehingga Allah ridha kepada kita dan kitapun ridha kepadaNya.

"Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

---
sumber: pk-sejahtera.org

*format PDF aseli dari sumbernya silahkan klik ini.

posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :