Oleh Asro Kamal Rokan
Posisi Indonesia strategis. Inilah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, moderat, demokratis, dan terbebas dari pusaran konflik—tidak seperti dialami Timur Tengah, Afrika, dan Asia selatan. Di Indonesia, demokrasi tumbuh dan berkembang. Partai dan pemimpin Islam menjadi tokoh kunci dalam perkembangan demokrasi ini. Tidak ada benturan dan kesalahpahaman.
Kondisi ini memungkinkan Indonesia memainkan peran penting menjembatani hubungan Barat dan Islam, yang hingga kini masih dibayangi kecurigaan. Pengalaman Indonesia telah menjelaskan bahwa Islam, demokrasi, dan modernisasi sesungguhnya dapat tumbuh bersamaan.
Ulama terkemuka, Dr Yusuf Al Qardhawi, mengakui posisi Indonesia itu. Ketika bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun saat ceramah di Masjid Istiqlal, Mei 2006 lalu, Qardhawi bahkan meminta Indonesia memperkuat peran di dunia Islam dan internasional.
Menurutnya, suara Indonesia lebih mudah didengar dan diikuti dunia Islam dan internasional.
Dalam beberapa tahun ini, Indonesia memainkan peran penting tersebut, melebihi dari sebelumnya. Melalui Resolusi DKPBB Nomor 1747, Indonesia memajukan pasal perubahan, di antaranya dicantumkannya Timur Tengah sebagai zona bebas nuklir.
Indonesia juga memberikan prioritas pada masalah perdamaian di Palestina, termasuk membantu proses rekonsiliasi Hamas dan Fatah untuk kemerdekaan Palestina.
Pada KTT OKI di Dakkar, 2007, Indonesia mendorong terjadinya perubahan. Isu demokrasi—suatu yang sebelumnya dianggap sensitif bagi sebagian besar anggota— akhirnya masuk dalam Piagam OKI, selain menghapus Islamofobia, penghormatan atas hak asasi manusia, serta penghormatan hakhak perempuan dan anak-anak.
Dalam isu nuklir Iran, Indonesia satu-satunya anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, yang tidak menginginkan hukuman tambahan pada negara itu. Bahkan, sepekan setelah Resolusi PBB 1803 itu, Presiden SBY mengunjungi Iran—yang saat itu dalam sorotan internasional.
Surat kabar Iran News, menulis dengan judul besar: Tehran, Jakarta Strong Supporters of Global Peace.
Ketika ketegangan akibat karikatur Nabi Muhammad di surat kabar Jyllands-Posten, Denmark, Indonesia memprakarsai Global Inter-Media Dialogue, di Bali, September 2006 lalu. Dialog ini, selain mendorong pemahaman, terutama bagi ratusan wartawan dan editor media seluruh dunia yang hadir, juga menjelaskan perasaan umat Islam yang sering kali diperlakukan tidak adil oleh media Barat.
*sumber: Resonansi Republika (27/5/09)
---
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Kondisi ini memungkinkan Indonesia memainkan peran penting menjembatani hubungan Barat dan Islam, yang hingga kini masih dibayangi kecurigaan. Pengalaman Indonesia telah menjelaskan bahwa Islam, demokrasi, dan modernisasi sesungguhnya dapat tumbuh bersamaan.
Ulama terkemuka, Dr Yusuf Al Qardhawi, mengakui posisi Indonesia itu. Ketika bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun saat ceramah di Masjid Istiqlal, Mei 2006 lalu, Qardhawi bahkan meminta Indonesia memperkuat peran di dunia Islam dan internasional.
Menurutnya, suara Indonesia lebih mudah didengar dan diikuti dunia Islam dan internasional.
Dalam beberapa tahun ini, Indonesia memainkan peran penting tersebut, melebihi dari sebelumnya. Melalui Resolusi DKPBB Nomor 1747, Indonesia memajukan pasal perubahan, di antaranya dicantumkannya Timur Tengah sebagai zona bebas nuklir.
Indonesia juga memberikan prioritas pada masalah perdamaian di Palestina, termasuk membantu proses rekonsiliasi Hamas dan Fatah untuk kemerdekaan Palestina.
Pada KTT OKI di Dakkar, 2007, Indonesia mendorong terjadinya perubahan. Isu demokrasi—suatu yang sebelumnya dianggap sensitif bagi sebagian besar anggota— akhirnya masuk dalam Piagam OKI, selain menghapus Islamofobia, penghormatan atas hak asasi manusia, serta penghormatan hakhak perempuan dan anak-anak.
Dalam isu nuklir Iran, Indonesia satu-satunya anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, yang tidak menginginkan hukuman tambahan pada negara itu. Bahkan, sepekan setelah Resolusi PBB 1803 itu, Presiden SBY mengunjungi Iran—yang saat itu dalam sorotan internasional.
Surat kabar Iran News, menulis dengan judul besar: Tehran, Jakarta Strong Supporters of Global Peace.
Ketika ketegangan akibat karikatur Nabi Muhammad di surat kabar Jyllands-Posten, Denmark, Indonesia memprakarsai Global Inter-Media Dialogue, di Bali, September 2006 lalu. Dialog ini, selain mendorong pemahaman, terutama bagi ratusan wartawan dan editor media seluruh dunia yang hadir, juga menjelaskan perasaan umat Islam yang sering kali diperlakukan tidak adil oleh media Barat.
*sumber: Resonansi Republika (27/5/09)
---
posted by: pkspiyungan.blogspot.com