Bergesernya Skenario Perdamaian Timteng

Tampilnya Avigdor Lieberman sebagai Menteri Luar Negeri Israel sungguh telah menjungkirbalikkan skenario proses perdamaian Timur Tengah. Lieberman adalah pemimpin partai ultranasionalis Yisrael Beiteinu yang berhasil meraih 15 kursi Knesset pada pemilu legislatif Israel 10 Februari lalu.

Jika skenario perdamaian yang dikenal selama ini adalah Arab vis a vis Israel, sementara ini bergeser menjadi AS vis a vis Israel. Pergeseran itu menunjukkan betapa hubungan AS-Israel saat ini dalam keadaan dilematis karena haluan kebijakan perdamaian kedua negara itu kini mengarah pada jalur yang berseberangan.

Pemerintah AS di bawah Presiden Barack Obama selalu menekankan komitmennya pada solusi dua negara Israel-Palestina, atau berdirinya negara Palestina yang berdampingan secara damai dengan negara Israel.

Sikap Presiden Obama tersebut sesungguhnya adalah kelanjutan dari kebijakan pendahulunya, George W Bush, tentang solusi dua negara tersebut.

Solusi dua negara itu semula dijabarkan dalam konsep Peta Jalan Damai (Road Map) tahun 2003 yang digalang kuartet perdamaian (AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa). Konsep perdamaian itu ternyata tidak jalan karena tidak adanya mekanisme pelaksanaan konsep tersebut.

AS kemudian menggelar konferensi damai Annapolis pada akhir November tahun lalu, yang rekomendasinya menjadi mekanisme pelaksanaan Peta Jalan Damai itu. Rekomendasi inti dari konferensi Annapolis adalah solusi dua negara Israel-Palestina.

Akan tetapi, skenario damai AS itu mendadak terancam gagal ketika Menlu Lieberman dalam acara serah terima jabatan menlu pada hari Rabu, 1 April 2009, mengeluarkan ”bom politik” dengan menolak mengakui hasil konferensi damai Annapolis tersebut.

Konfrontatif

Sehari setelah itu, hari Kamis 2 April lalu, Lieberman melanjutkan manuver politik kontroversialnya dengan menegaskan, Israel tidak akan mundur dari Dataran Tinggi Golan, Suriah, yang dicaploknya pada perang tahun 1967.

Aksi manuver pemimpin Partai Yisrael Beiteinu itu terus melaju. Lieberman dalam sebuah forum pertemuan internal partai ultranasionalis Yisrael Beiteinu hari Selasa, 7 April, menegaskan, ”proses perundingan damai dengan Palestina telah mengalami jalan buntu”.

Menurut dia, tidak layak lagi melanjutkan perundingan tentang berdirinya negara Palestina yang telah dilakukan Pemerintah Israel sebelum ini.

AS dan dunia Barat langsung kebakaran jenggot dengan manuver politik kontroversial Lieberman itu. AS kini merasa dipukul oleh teman sendiri (Pemerintah Israel), bukan dari musuh klasiknya, seperti Iran, Hezbollah, dan Hamas.

Kelompok properdamaian sekutu AS di dunia Arab, seperti Mesir, Jordania, dan Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas, juga merasa cemas dengan manuver Lieberman itu.

Bahkan, ketegangan muncul di kalangan internal Israel. Pemimpin Partai Kadima yang beroposisi, Tzipi Livni, mengkritik keras Lieberman. Ia menuduh bahwa pidato Lieberman pada acara serah terima jabatan menlu, yang berlangsung hanya 20 menit, itu telah menghancurkan semua upaya perdamaian selama bertahun-tahun.

Ini baru Lieberman yang bermanuver. Masih banyak dalam tubuh Pemerintah Israel saat ini yang tidak antusias terhadap perdamaian, seperti Partai Ortodoks Shas pimpinan Eli Yishai dan partai kanan radikal, Jews Home.

Jika Eli Yishai ikut berbicara mendukung Lieberman, kayak apa lagi atmosfer politik Timteng?

Cendekiawan Mesir, Prof Hassan Nafaa, dalam artikelnya pada harian Al Hayat edisi hari Rabu, 18 Februari 2009, mengatakan, AS dan Israel kini rawan konflik, khususnya soal isu taktis bukan isu strategis karena aspirasi politik publik di AS dan Israel saat ini berseberangan arah.

Menurut Nafaa, opini publik Israel kini mengarah ke kanan dan kanan radikal yang konfrontatif, sedangkan aspirasi publik AS lebih mengarah pada pendekatan persuasif dan dialogis.

Arah aspirasi publik di AS dan Israel yang berseberangan itu diterjemahkan lewat tampilnya Benjamin Netanyahu, Avigdor Lieberman, Eli Yishai di Israel, dan Barack Obama di AS.

Mengapa aspirasi publik Israel semakin ke kanan dan kanan radikal?

Hasil pemilu legislatif Israel pada 10 Februari lalu yang dimenangi kubu kanan menunjukkan adanya pergeseran ideologi dan orientasi politik rakyat Israel yang lebih bercirikan rasialis dan fundamentalis.

Semula ideologi dan orientasi politik tersebut dianut Partai Likud yang lalu berhasil mengambil alih kekuasaan di Israel pada tahun 1977 melalui pemimpinnya, Menachen Begin. Kemudian secara mengejutkan, ideologi dan orientasi politik itu kini semakin digemari publik Israel dan diadopsi sebagai platform oleh partai-partai baru, seperti Partai Yisrael Beiteinu, Ortodoks Shas, dan The Jewish Home.

Perubahan struktur demografis di Israel juga diduga turut berandil menggiringnya ke arah kanan. Sekitar 68 persen penduduk Israel adalah lahir dan tumbuh di negara Israel, atau mereka merupakan generasi kedua. Mereka yang terus hidup di bawah ancaman perang bersikap lebih keras dan lebih percaya pada partai-partai kanan. Mereka juga kurang terikat dengan ideologi para orangtua mereka yang dibawa dari Eropa.

Selain itu, adanya imigran besar-besaran dari Rusia yang kini mencapai 17 persen dari jumlah penduduk Israel saat ini. Imigran asal Rusia itu dikenal punya pandangan politik lebih keras terhadap Palestina dan Arab. Para imigran Rusia itu yang mendirikan partai ultranasionalis Yisrael Beiteinu.

Bergeser

Aspirasi politik Israel yang semakin mengarah ke kanan itu membuat pergeseran juga pada wacana lawan dan kawan politik dalam isu perdamaian Timteng. Hamas, yang selama ini dikonotasikan sebagai gerakan antiperdamaian dan lawan politik para penggerak perdamaian, bukan menjadi isu prioritas lagi.

Problema utama dari perdamaian saat ini bukan lagi berada di pihak Palestina atau persisnya Hamas, melainkan justru berada pada kekuatan-kekuatan politik di tubuh Pemerintah Israel sendiri, seperti Partai Yisrael Beiteinu, Partai Ortodoks Shas, Partai Jewish Home, dan bahkan Likud sendiri.

Betapa tidak! Yisrael Beiteinu, Shas, dan Likud kini sebagai pemegang keputusan di Israel.

Maka, wacana politik saat ini adalah bagaimana menghadapi Yisrael Beiteinu dulu dan koleganya di tubuh Pemerintah Israel saat ini untuk menyelamatkan konsep solusi dua negara Israel-Palestina?

Mantan Presiden AS, Jimmy Carter, dalam buku barunya dengan judul Konsep yang Bisa Diterapkan dalam Mewujudkan Perdamaian di Timteng, mengatakan, solusi dua negara Israel-Palestina masih mungkin jika Presiden Obama menggunakan semua kapasitas politiknya untuk menekan pemerintahan PM Benjamin Netanyahu guna menerima solusi tersebut.

Bila Obama gagal membujuk Netanyahu dan Lieberman menerima solusi dua negara itu, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, AS akan berusaha menjatuhkan pemerintahan Netanyahu-Lieberman, seperti skenario yang terjadi pada pemerintahan Netanyahu pertama (1996-1999) yang hanya berusia tiga tahun.

Kedua, AS menyerah dengan menerima segala manuver Netanyahu-Lieberman.

Bila opsi kedua itu yang terjadi, citra AS akan terpuruk dan pada gilirannya proyek Presiden Obama untuk membangun hubungan yang saling menghormati antara AS-dunia Islam terancam gagal.

Selain itu, wacana kelompok anti-AS dan Israel, seperti Hamas, Hezbollah, Suriah dan Iran, bahwa Israel hanya memahami bahasa kekuatan dari pada politik, semakin menemukan legitimasinya. Dalam waktu yang sama, citra kelompok pro-AS, seperti Mesir, Jordania, dan Otoritas Palestina pimpinan Presiden Abbas, yang sangat mendukung perdamaian dengan Israel, akan ikut terpuruk.

Hal itu akan berdampak pada kondisi politik di Mesir, Jordania, dan wilayah Palestina. Di Palestina, Hamas akan semakin kuat dan Fatah terus melemah. Di Jordania muncul kecemasan akan hidupnya kembali konsep negara Palestina di Tepi Timur Sungai Jordan (Jordania) yang sering didengungkan kubu kanan Israel sejak 1960-an. Maka, kepentingan strategis Jordania adalah berdirinya negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Mesir pun akan merasa terancam secara keamanan jika isu Jalur Gaza dibiarkan terus bergejolak tanpa solusi seperti sekarang ini.

Kini semua menunggu hasil rencana kunjungan Presiden Obama ke Israel dan wilayah Palestina pada bulan Juni nanti dan bentuk konsep damai baru yang akan diluncurkan Netanyahu-Lieberman.

sumber: Kompas, Minggu, 12 April 2009
------
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :