
Foto itu mengingatkan ke masa sekitar tahun 5 Hijriah atau 626 Masehi. Dalam foto itu (Republika, 12/3/09) debu menggulung mengepung Kota Riyadh. Seluruh aktivitas terhenti, semua berlindung di rumah masingmasing. ‘’Jarak pandang nol meter,’’ kata otoritas pengamat cuaca. Badai semacam itu yang saya bayangkan terjadi di Madinah pada saat-saat akhir Perang Khandaq, 14 abad silam. Di masa itu, Muhammad SAW dan umatnya dalam posisi terkepung. Kaum Quraish, Ghatafan, serta seluruh sekutu jazirah Arabnya mengerahkan kekuatan terbesar yang pernah mereka galang. Diperkirakan 100 ribu pasukan mengepung Madinah. Sementara Rasul dan para sahabat hanya mampu bertahan dengan terlindung tebing batu di belakang, permukiman Yahudi Qainuqa sayap di kiri, serta parit lebar yang baru mereka gali di kanan.
Berhari-hari mereka dikepung. Berada di alam terbuka dengan persediaan pangan terbatas segera meluruhkan daya tahan mereka. Apalagi, setelah warga Qainuqa memboikot pengiriman pangan. Namun, tak ada istilah menyerah bagi Rasul. Menggigil di tengah udara dingin yang menusuk-nusuk tulang, Rasul berdiri di atas batu di bukit belakang khandaq, menengadahkan tangan meminta pertolongan Ilahi. Para sahabat melihat beliau tiga hari tiga malam tak beringsut dari tempat itu, sampai badai dingin yang menggulung pasir dan debu menyapu seluruh kawasan itu.
Rasul dan para sahabat selamat dengan berlindung di celah-celah batu bukit itu. Kaum Qainuqa berlindung di rumah masing-masing. Namun, para penyerbu yang membangun tenda-tenda di kawasan terbuka porak poranda akibat badai. Mereka berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Perang berakhir. Tak pernah ada lagi yang berani mencoba menyerang Madinah.
Berhari-hari mereka dikepung. Berada di alam terbuka dengan persediaan pangan terbatas segera meluruhkan daya tahan mereka. Apalagi, setelah warga Qainuqa memboikot pengiriman pangan. Namun, tak ada istilah menyerah bagi Rasul. Menggigil di tengah udara dingin yang menusuk-nusuk tulang, Rasul berdiri di atas batu di bukit belakang khandaq, menengadahkan tangan meminta pertolongan Ilahi. Para sahabat melihat beliau tiga hari tiga malam tak beringsut dari tempat itu, sampai badai dingin yang menggulung pasir dan debu menyapu seluruh kawasan itu.
Rasul dan para sahabat selamat dengan berlindung di celah-celah batu bukit itu. Kaum Qainuqa berlindung di rumah masing-masing. Namun, para penyerbu yang membangun tenda-tenda di kawasan terbuka porak poranda akibat badai. Mereka berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Perang berakhir. Tak pernah ada lagi yang berani mencoba menyerang Madinah.
Kisah itu bagi banyak orang mungkin biasa saja. Tapi, kisah itu sangat berarti bagi saya. Terutama, setelah saya tinggal di Filipina tahun 1994-1995 silam. Di kampus, saya belajar Ilmu Strategi. Makin mendalami ilmu itu akan makin mengantarkan pada karakter Rasulullah SAW. Dari kecil, saya terbiasa dengan cerita tentang Nabi. Waktu kuliah di IPB, 1978-1982, saya tertarik dengan biografi Muhammad SAW yang ditulis Haekal. Namun, justru saat di Filipina dan saat belajar tentang strategi, saya merasa punya perasaan khusus pada Sang Nabi.
Berbagai tulisan tentang Rasulullah pun saya baca. Saya kemudian malah menulis buku ‘Muhammad Sang Teladan’, buku kecil berperspektif manajemen, namun tetap merupakan buku biografi dan bukan buku manajemen. Sebuah buku yang paling saya sukai dari delapan buku yang telah saya tulis. Semua itu mengantarkan saya untuk dapat merasakan makna bagian demi bagian kehidupan Muhammad SAW, termasuk saat menjalani Perang Khandaq.
Dari kisah itu saja, misalnya, tampak jelas keteladanan Rasul. Dia pribadi dengan karakter sangat utuh. Kecerdasan holistiknya terpancar dalam setiap langkah. Ketajaman intuisi hingga keyakinan kuatnya terbangun dari kepasrahan totalnya pada Sang Khalik. Strategi dan perencanaannya, seperti terlihat pada rancangan parit perlindungan usulan Salman al-Farisi, sangat matang. Usaha dan perjuangannya begitu gigih hingga tuntas, sinergi yang dibangunnya juga sangat efektif meskipun di saat-saat terakhir mitra sinerginya, Bani Qainuqa, berkhianat. Adakah pribadi dengan kecerdasan spiritual (SQ), intelektual (IQ), mental (AQ), serta emosi (EQ) sesempurna Sang Rasul?
Bagi yang mendalami manajemen, tampak jelas bahwa Muhammad SAW seorang leader sekaligus manager: seorang arif sekaligus kuat; juga seorang lembut sekaligus tegas. Karakter itulah yang di hari-hari belakangan ini makin terasa diperlukan bangsa dan umat ini. Di saat tekanan ekonomi dunia begitu kuat, ketika batasbatas negara mengabur, juga saat kaum yang miskin dan lemah makin tak berdaya tergilas putaran roda dunia, di saat badai yang menerjang kita adalah badai hedonisme yang lebih jahat ketimbang badai dingin jazirah Arab, karakter Nabi menjadi terasa lebih perlu diteladani.
Nabi tidak berkompromi dengan kepentingan pragmatis. Baik buat kepentingan kebendaan, kekuasaan, maupun popularitas. Nabi teguh untuk memenangkan kebenaran dan kebaikan. Dengan jalan demikian, kejayaan justru datang. Itu pelajaran Sang Teladan yang sering kita lupakan: Bahkan, di saat-saat kita memperingati hari kelahirannya.
-------
*Resonansi Republika (Jumat, 13/10/09)
Berbagai tulisan tentang Rasulullah pun saya baca. Saya kemudian malah menulis buku ‘Muhammad Sang Teladan’, buku kecil berperspektif manajemen, namun tetap merupakan buku biografi dan bukan buku manajemen. Sebuah buku yang paling saya sukai dari delapan buku yang telah saya tulis. Semua itu mengantarkan saya untuk dapat merasakan makna bagian demi bagian kehidupan Muhammad SAW, termasuk saat menjalani Perang Khandaq.
Dari kisah itu saja, misalnya, tampak jelas keteladanan Rasul. Dia pribadi dengan karakter sangat utuh. Kecerdasan holistiknya terpancar dalam setiap langkah. Ketajaman intuisi hingga keyakinan kuatnya terbangun dari kepasrahan totalnya pada Sang Khalik. Strategi dan perencanaannya, seperti terlihat pada rancangan parit perlindungan usulan Salman al-Farisi, sangat matang. Usaha dan perjuangannya begitu gigih hingga tuntas, sinergi yang dibangunnya juga sangat efektif meskipun di saat-saat terakhir mitra sinerginya, Bani Qainuqa, berkhianat. Adakah pribadi dengan kecerdasan spiritual (SQ), intelektual (IQ), mental (AQ), serta emosi (EQ) sesempurna Sang Rasul?
Bagi yang mendalami manajemen, tampak jelas bahwa Muhammad SAW seorang leader sekaligus manager: seorang arif sekaligus kuat; juga seorang lembut sekaligus tegas. Karakter itulah yang di hari-hari belakangan ini makin terasa diperlukan bangsa dan umat ini. Di saat tekanan ekonomi dunia begitu kuat, ketika batasbatas negara mengabur, juga saat kaum yang miskin dan lemah makin tak berdaya tergilas putaran roda dunia, di saat badai yang menerjang kita adalah badai hedonisme yang lebih jahat ketimbang badai dingin jazirah Arab, karakter Nabi menjadi terasa lebih perlu diteladani.
Nabi tidak berkompromi dengan kepentingan pragmatis. Baik buat kepentingan kebendaan, kekuasaan, maupun popularitas. Nabi teguh untuk memenangkan kebenaran dan kebaikan. Dengan jalan demikian, kejayaan justru datang. Itu pelajaran Sang Teladan yang sering kita lupakan: Bahkan, di saat-saat kita memperingati hari kelahirannya.
-------
*Resonansi Republika (Jumat, 13/10/09)