Problem Politik dan Ongkos Ekonominya

Oleh Sunarsip (ekonom alumni STAN)
----
Lobi politik untuk menggolkan suatu kebijakan tanpa ada kompensasi tambahan adalah sah.
----
Kasus dugaan korupsi yang dilakukan anggota DPR, Abdul Hadi Djamal (AHD), terkait dengan pemanfaatan stimulus fiskal 2009, tampaknya mulai merambah ke mana-mana. Tidak hanya menyangkut substansi kasus dugaan korupsinya, tapi kini sudah merambah pada mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR dalam membahas suatu kebijakan, khususnya soal mekanisme rapat dan lobi politik.

Padahal, substansi lobi politik untuk menggolkan suatu kebijakan itu berbeda sekali dengan lobi politik dalam kasus perburuan rente (rent seeker). Menurut saya, lobi politik untuk menggolkan suatu kebijakan tanpa ada kompensasi tambahan adalah sah, sementara perburuan rente ekonomi adalah sesuatu yang tidak dibenarkan karena menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pun ketika mengeluarkan paket stimulus ekonomi senilai 787 miliar dolar AS perlu melakukan lobi politik agar disetujui Senat dan Kongres AS. Tujuannya, agar diperoleh legitimasi politik atas paket stimulus yang dijalankannya.

Jauh hari sebelum istilah stimulus fiskal popular di Indonesia dan kini justru menjadi kasus yang dipersoalkan, sang penemu konsep stimulus fiskal, John Maynard Keynes (1936), sudah mengingatkan bahwa problem waktu (proper timing) bisa menggagalkan dari tujuan stimulus fiskal. Dan, Keynes mengingatkan bahwa soal hambatan waktu, bisa berasal dari lamanya proses legislasi di parlemen.

Sebagaimana diketahui bahwa stimulus fiskal memang sangat diperlukan dalam kondisi ekonomi sedang krisis. Dan, untuk bisa bekerja efektif, stimulus fiskal harus dieksekusi secara cepat dan tepat. Bila eksekusinya lambat, biaya yang dikeluarkan untuk stimulus fiskal bisa membengkak dan efektifivitasnya bagi pemulihan ekonomi menjadi diragukan. Dalam konteks ini, memang benar pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bahwa parlemen bisa menghambat pe mulihan krisis ekonomi bila proses legislasi stimulus fiskal tidak berjalan normal. Klausul Pasal 23 UU APBN 2009 Salah satu isu yang mengemuka di balik kasus dugaan perburuan rente dari kebijakan stimulus fiskal adalah mengenai klausul pada Pasal 23 UU No 41/2008 tentang APBN 2009. Pasal 23 ini memang bisa disebut sebagai pasal 'sakral'. Terlebih lagi, AHD menyebut sebagai asal muasal terjadinya kasus yang menimpa dirinya. Dan, tak salah bila banyak orang kini ingin tahu apa isi dari Pasal 23 UU APBN 2009 itu. Dan, apakah memang ada korelasinya antara Pasal 23 tersebut dengan tindakan perburuan rente?

Pasal 23 UU APBN 2009 mengatur kelonggaran yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu bila terjadi kondisi darurat. Kondisi darurat tersebut adalah apabila terjadi hal-hal: (i) penurunan pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya yang menyebabkan turunnya pendapatan negara, dan/atau meningkatnya belanja negara secara signifikan; (ii) kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil Surat Berharga Negara, secara signifikan; dan/atau (iii) krisis sistemik dalam sistem keuangan dan perbankan nasional yang membutuhkan tambahan dana penjaminan perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Bila berbagai situasi tersebut terjadi, pemerintah dengan persetujuan DPR dapat melakukan langkahlangkah: (i) pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2009; (ii) pergeseran anggaran belanja antarprogram, antarkegiatan, dan/atau antarjenis belanja dalam satu kementerian negara/lembaga dan/atau antarkementerian negara/lembaga; (iii) penghematan belanja negara dalam rangka peningkatan efisiensi, dengan tetap menjaga sasaran program/kegiatan prioritas yang tetap harus tercapai; (iv) penarikan pinjaman siaga dari kreditor bilateral maupun multilateral; (v) penerbitan Surat Berharga Negara melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN.

Kalau kita perhatikan, sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari isi Pasal 23 tersebut. Ini mengingat, Pasal 23 UU APBN 2009 hanyalah mengatur tentang mekanisme kebijakan yang dapat diambil pemerintah secara cepat bila terjadi suatu kondisi yang dianggap darurat. Pasal 23 UU kemudian menjadi polemik karena pemerintah berniat memanfaatkan Pasal 23 UU tersebut sebagai celah/peluang hukum untuk mengajukan tambahan anggaran bagi stimulus fiskal senilai Rp 73,3 triliun (awalnya Rp 71,3 triliun), tanpa melalui mekanisme APBN Perubahan, sebagaimana yang normal terjadi bila terjadi revisi terhadap APBN.

Apakah memang ada yang salah dengan niatan pemerintah itu? Seca ra teori, apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya dapat dibenarkan. Dalam pandangan Keynes di atas, apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya merupakan exit strategy untuk menghindari problem waktu terhadap kemungkinan adanya problem politik. Sebab, berdasarkan pengalaman, setiap pembahasan APBN dengan DPR biasanya memang memakan waktu lama, sementara kita tidak bisa membiarkan perekonomian semakin terimbas oleh pengaruh buruk krisis ekonomi global.

Dengan kata lain, terungkapnya dugaan kasus perburuan rente dalam pembahasan kebijakan stimulus fiskal tersebut, tidak memiliki korelasi sama sekali dengan Pasal 23 UU APBN 2009. Oleh karena itu, terlihat aneh dan terkesan mengada-ada jika Pasal 23 kemudian disangkutpautkan. Perbaiki mekanisme kerja DPR Berdasarkan pengalaman saya mengikuti berbagai pembahasan di DPR, memang banyak hal yang perlu diperbaiki dalam mekanisme pembahasan suatu kebijakan di DPR. Tidak hanya menyangkut masalah kompetensi anggota DPR, juga menyangkut efektivitas pembahasan itu sendiri yang seringkali terkesan wasting time dan costly. Beberapa kali masih dijumpai bahwa cara berpendapat dan berargumentasi sejumlah anggota DPR tidak didasarkan analisis yang benar dan teruji. Kondisi inilah yang bisa membuat para mitra DPR merasa perlu mencari jalan keluar untuk menghindari situasi seperti itu. Dan, saya kira, dalam kasus rencana stimulus fiskal, pemanfaatan Pasal 23 merupakan bentuk 'kreativitas' pemerintah untuk menghindari potensi terjadinya deadlock.

Kondisi internal DPR tersebut sesungguhnya bisa dimaklumi. Ini mengingat, anggota DPR berisikan orang-orang yang dipilih rakyat dengan latar belakang kompetensi yang berbeda. Dan, kita tahu bahwa pemilihan anggota DPR bukanlah diukur berdasarkan kompetensi, melainkan suara rakyat terbanyak. Sehingga, peluang terpilihnya anggota DPR dengan kompetensi yang tidak sesuai, menjadi sangat terbuka. Namun, karena ini adalah keputusan politik rakyat, kita juga tidak bisa menyalahkan kondisi ini. Yang terpenting adalah bagaimana ada jalan keluar sebagai jembatan untuk memenuhi dua kepentingan: terpenuhinya mandat rakyat dan efektivitas kerja DPR.

Saya mengusulkan sudah saatnya di DPR dibentuk tim ahli yang independen dengan latar belakang kompetensinya masing-masing yang dibutuhkan oleh setiap komisi di DPR untuk mengkaji setiap kebijakan yang akan dibahas antara pemerintah dan DPR. Karena independen, kedudukan tim ahli ini bukanlah staffing masing-masing anggota DPR, melainkan tim kolektif untuk suatu komisi DPR. Karena bekerja independen, reputasi yang bersangkutan menjadi taruhannya. Dan, oleh karena itu, kajiannya tidak bisa dipengaruhi untuk memenuhi kepentingan politik oknum DPR. Dengan adanya tim ahli independen ini, nantinya argumentasi yang dilontarkan oleh anggota DPR menjadi lebih teruji dan mitra DPR pun akan mendapat manfaat positif dari gagasan-gagasan yang keluar dari DPR.

*Republika (25/3/09)
-----
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :