
Dalam catatannya di Facebook pekan lalu, Marwah Daud Ibrahim menyampaikan pesan me narik kepada para politikus dan pemilih pada Pemilu 2009. Dalam pesannya, Marwah Daud mengutip pemikiran Vaclav Havel, pejuang demokrasi, intelektual, penulis, dan mantan presiden Republik Czech.
Ini kata Vaclav Havel, "... Politisi harus jadi manusia kembali ... Dia harus percaya bukan hanya pada statistik sosial, tapi pada rakyat biasa. Dia harus percaya bukan hanya pada interpretasi objektif dari realitas, tetapi juga pikirannya sendiri; bukan hanya ringkasan laporan-laporan yang diterimanya tiap pagi, tapi juga perasaannya sendiri, jiwa, spiritualitas individual, refleksi pribadi tentang sesuatu, dan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri serta menuju ke jalan di mana nuraninya menuntunnya ...."
Marwah Daud menutup pesan dalam catatannya di Facebook, "Semoga peserta pemilu merupakan bagian dari politisi masa depan itu. Semoga para pemilih dituntun Allah untuk memilih dan mengambil keputusan yang menentukan arah sejarah bangsa, ke arah yang lebih baik. Selamat berjuang!"
Banyak komentar atas catatan Marwah di Facebook tersebut yang umumnya menyorot sisi negatif politisi. Marwah, mantan anggota DPR/MPR dan kini mencalonkan diri sebagai presiden, menjawabnya dengan bijak.
Ini kata Vaclav Havel, "... Politisi harus jadi manusia kembali ... Dia harus percaya bukan hanya pada statistik sosial, tapi pada rakyat biasa. Dia harus percaya bukan hanya pada interpretasi objektif dari realitas, tetapi juga pikirannya sendiri; bukan hanya ringkasan laporan-laporan yang diterimanya tiap pagi, tapi juga perasaannya sendiri, jiwa, spiritualitas individual, refleksi pribadi tentang sesuatu, dan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri serta menuju ke jalan di mana nuraninya menuntunnya ...."
Marwah Daud menutup pesan dalam catatannya di Facebook, "Semoga peserta pemilu merupakan bagian dari politisi masa depan itu. Semoga para pemilih dituntun Allah untuk memilih dan mengambil keputusan yang menentukan arah sejarah bangsa, ke arah yang lebih baik. Selamat berjuang!"
Banyak komentar atas catatan Marwah di Facebook tersebut yang umumnya menyorot sisi negatif politisi. Marwah, mantan anggota DPR/MPR dan kini mencalonkan diri sebagai presiden, menjawabnya dengan bijak.
Sejatinya, menjadi politikus itu sama mulianya dengan guru TK, dokter puskesmas, penjual cendol, aktivis LSM, dan budayawan, yang penting adalah niat dan kelakuannya. Seperti juga profesi lain, ada yang bengkok, tapi masih ada juga yang lurus atau paling tidak berusaha lurus.
Tentu, menjadi politikus sama mulianya dengan guru TK, pedagang cendol, dan juga budayawan. Mereka adalah manusia yang memiliki jiwa, pikiran, dan raga. Mereka dapat menangis dan tertawa. Problem muncul ketika mereka—apa pun profesinya—melawan hati nuraninya. Atas nama sesuatu dan tujuan tertentu, mereka dapat berkompromi terhadap yang bertentangan dengan suara hatinya. Segala sesuatu bersumber dari hati: kefasikan dan ketakwaan.
Bagi banyak orang, tidak mudah mengikuti suara hati. Bahkan, menurut penyair sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi (1207-1273), manusia dalam hidupnya banyak sekali menanam pohon berduri dalam hatinya. Pohon-pohon berduri (penyakit hati) itu tidak saja menusuk orang lain, tapi juga dirinya.
Rumi berkisah, ada seseorang menanam pohon berduri di tengah jalan. Setiap diperintahkan menebang pohon itu, ia berjanji akan menebangnya esok hari. Tapi, perintah itu tidak pernah dilakukannya hingga pohon-pohon semakin besar, menyebar ke seluruh jalan, dan orang itu pun beranjak tua. Pohon-pohon berduri itu tidak saja menyakiti orang yang menggunakan jalan, tapi juga orang yang menanamnya. Namun, ia tidak bisa lagi menebangnya, ia tidak lagi dapat mengayunkan kampaknya. Ia sudah sangat tua dan lemah.
Begitulah penyakit hati. Sering kali manusia tidak segera dapat menyadarinya sampai ia kehilangan kesempatan. Suatu yang awalnya sangat mudah diselesaikan dibiarkan begitu saja sehingga membesar dan menyakiti.
Dan, kini ketika persaingan antarpolitikus semakin keras, caloncalon presiden menyerang lawan politiknya--fitnah, iri, kedengkian, tipu muslihat, dan kebohongan—yang awalnya sesuatu yang mereka anggap biasa sebagai strategi politik, pada saatnya akan menjadi pohon berduri yang menyakiti diri mereka sendiri. Pohon berduri yang mereka tanam di sepanjang jalan itu kini semakin besar.
Maka, kata Jalaluddin Rumi, "Tebanglah semua pohon berduri itu sebelum kalian kehilangan kesempatan sama sekali."
-------
Republika (4/3/2009)
Tentu, menjadi politikus sama mulianya dengan guru TK, pedagang cendol, dan juga budayawan. Mereka adalah manusia yang memiliki jiwa, pikiran, dan raga. Mereka dapat menangis dan tertawa. Problem muncul ketika mereka—apa pun profesinya—melawan hati nuraninya. Atas nama sesuatu dan tujuan tertentu, mereka dapat berkompromi terhadap yang bertentangan dengan suara hatinya. Segala sesuatu bersumber dari hati: kefasikan dan ketakwaan.
Bagi banyak orang, tidak mudah mengikuti suara hati. Bahkan, menurut penyair sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi (1207-1273), manusia dalam hidupnya banyak sekali menanam pohon berduri dalam hatinya. Pohon-pohon berduri (penyakit hati) itu tidak saja menusuk orang lain, tapi juga dirinya.
Rumi berkisah, ada seseorang menanam pohon berduri di tengah jalan. Setiap diperintahkan menebang pohon itu, ia berjanji akan menebangnya esok hari. Tapi, perintah itu tidak pernah dilakukannya hingga pohon-pohon semakin besar, menyebar ke seluruh jalan, dan orang itu pun beranjak tua. Pohon-pohon berduri itu tidak saja menyakiti orang yang menggunakan jalan, tapi juga orang yang menanamnya. Namun, ia tidak bisa lagi menebangnya, ia tidak lagi dapat mengayunkan kampaknya. Ia sudah sangat tua dan lemah.
Begitulah penyakit hati. Sering kali manusia tidak segera dapat menyadarinya sampai ia kehilangan kesempatan. Suatu yang awalnya sangat mudah diselesaikan dibiarkan begitu saja sehingga membesar dan menyakiti.
Dan, kini ketika persaingan antarpolitikus semakin keras, caloncalon presiden menyerang lawan politiknya--fitnah, iri, kedengkian, tipu muslihat, dan kebohongan—yang awalnya sesuatu yang mereka anggap biasa sebagai strategi politik, pada saatnya akan menjadi pohon berduri yang menyakiti diri mereka sendiri. Pohon berduri yang mereka tanam di sepanjang jalan itu kini semakin besar.
Maka, kata Jalaluddin Rumi, "Tebanglah semua pohon berduri itu sebelum kalian kehilangan kesempatan sama sekali."
-------
Republika (4/3/2009)