
Jakarta - Munculnya figur Hidayat Nur Wahid sebagai salah satu calon kuat wakil presiden memberi isyarat khusus bagi perpolitikan di Indonesia. Telah hadir figur Islam alternatif di luar Muhammadiyah dan NU. Tentu hal ini bukan sesuatu yang taken for granted, melainkan investasi jangka panjang yang telah ditanam oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kini siapa pun capresnya, sulit untuk tidak memperhitungkan PKS. Suara PKS yang selalu menjanjikan dari pemilu ke pemilu dan kemenangan di berbagai pilkada, semakin menunjukkan mesin politik PKS termasuk yang paling efektif. Tentu saja figur Hidayat menjadi faktor yang signifikan untuk meraup suara kelompok Islam di Pemilu 2009.
UU pilpres yang mensyaratkan 20 persen suara parlemen hanya memberi peluang jumlah capres yang tidak banyak. SBY dan Mega dari berbagai prediksi akan melenggang menjadi capres. Calon alternatif muncul dari Jusuf Kalla (JK) dan Sri Sultan yang masih berlomba agar diusung oleh Partai Golkar.
Ada kesimpulan yang cukup menarik dari riset terakhir Lembaga Riset Informasi (LRI), yaitu faktor kesuksesan paket capres-cawapres di Pemilu 2009 bukan siapa capresnya, namun siapa cawapresnya. Dari berbagai polling, dengan siapapun capresnya, Hidayat Nur Wahid selalu masuk urutan tiga besar.
Dengan siapa Hidayat akan berduet? Dalam berbagai kesempatan, Tifatul Sembiring, Presiden PKS kerap menyatakan PKS siap berkoalisi dengan kelompok mana pun. Berbagai hal tentu menjadi pertimbangan untuk membangun koalisi untuk mengusung capres-cawapres. Tidak hanya berdasarkan survei, namun aspek kemampuan, basis dukungan, dan kultural menjadi faktor yang tidak bisa dikesampingkan.
Kini siapa pun capresnya, sulit untuk tidak memperhitungkan PKS. Suara PKS yang selalu menjanjikan dari pemilu ke pemilu dan kemenangan di berbagai pilkada, semakin menunjukkan mesin politik PKS termasuk yang paling efektif. Tentu saja figur Hidayat menjadi faktor yang signifikan untuk meraup suara kelompok Islam di Pemilu 2009.
UU pilpres yang mensyaratkan 20 persen suara parlemen hanya memberi peluang jumlah capres yang tidak banyak. SBY dan Mega dari berbagai prediksi akan melenggang menjadi capres. Calon alternatif muncul dari Jusuf Kalla (JK) dan Sri Sultan yang masih berlomba agar diusung oleh Partai Golkar.
Ada kesimpulan yang cukup menarik dari riset terakhir Lembaga Riset Informasi (LRI), yaitu faktor kesuksesan paket capres-cawapres di Pemilu 2009 bukan siapa capresnya, namun siapa cawapresnya. Dari berbagai polling, dengan siapapun capresnya, Hidayat Nur Wahid selalu masuk urutan tiga besar.
Dengan siapa Hidayat akan berduet? Dalam berbagai kesempatan, Tifatul Sembiring, Presiden PKS kerap menyatakan PKS siap berkoalisi dengan kelompok mana pun. Berbagai hal tentu menjadi pertimbangan untuk membangun koalisi untuk mengusung capres-cawapres. Tidak hanya berdasarkan survei, namun aspek kemampuan, basis dukungan, dan kultural menjadi faktor yang tidak bisa dikesampingkan.
Sulit bagi Hidayat bersanding dengan Mega atau Sultan. Jika berkoalisi dengan PDIP, Mega-Hidayat memang bisa jadi pasangan yang menakutkan bagi lawan-lawan politik. PDIP yang nasionalis sekuler berduet dengan PKS yang religius, diperkirakan mampu meraup suara signifikan. Bahkan beberapa kunjungan Hidayat ke PDIP pada akhir tahun lalu selalu disambut meriah oleh pendukung partai banteng ini. Berdasarkan survei DNA Strategic Commnication tahun lalu, duet Mega-Hidayat meraup suara 40 % responden.
Sayangnya, di PKS kelompok Islam konservatif yang menguasai Dewan Syuro masih keberatan jika wanita menjadi pemimpin. Padahal Dewan Syuro inilah yang memiliki banyak peran penting dalan kebijakan partai. Namun perlu dicatat, pada tahun 2001 saat menggulingkan Gus Dur, PKS sempat ikut dalam koalisi mendukung Hamzah Haz sebagai wapres dan Megawati sebagai presidennya. Selain itu sulit menyatukan aspek kultural PDIP dengan PKS. Kader PKS yang sangat menjaga perilaku dan sikap dengan aturan Islam tentu tidak mudah berbaur dengan kader PDIP.
Begitupun dengan Sultan. Paduan Islam-Nasional kembali menjadi daya tarik pasangan Sultan-Hidayat. Namun, Gubernur DIY ini dikenal lekat sebagai Islam Kejawen yang begitu banyak ritual warisan nenek moyang. Tentu sangat berbeda dengan watak PKS dengan Islam modernis yang kerap menolak ritual Islam kejawen. Asal daerah yang berdekatan membuat Sultan yang berasal dari Yogyakarta dan Hidayat dari Klaten, Jateng, sulit merangkul suara signifikan dari luar Jawa.
Hidayat berpeluang untuk bersanding dengan SBY atau JK. Pernyataan Ahmad Mubarok, bisa jadi menunjukkan adanya faksi di partai Demokrat yang ingin mendepak JK sebagai pasangan SBY. Figur SBY yang kuat dan mempesona tidak hanya akan menarik suara partai Demokrat namun juga massa mengambang yang mudah terhipnotis dengan figuritas. Dipadu dengan Hidayat yang akan menggerakkan mesin politik PKS untuk meraup suara. Survei LRI menunjukkan duet SBY-Hidayat meraup suara hingga 36,8 % di bawah SBY-JK sebesar 37,7 %.
Hidayat juga berpeluang duet dengan JK. Setelah JK menyatakan diri siap diusung sebagai capres, Golkar langsung mengambil inisiatif bertandang ke DPP PKS beberapa hari lalu. Disinyalir, langkah ini sebagai penjajakan duet Jusuf Kalla dengan Hidayat Nur Wahid sebagai capres dan cawapres. Banyaknya faksi Islam di tubuh Golkar, menjadi modal sosial yang penting bagi Golkar untuk berkoalisi dengan PKS. Survei LRI menunjukkan nilai tertinggi jika JK berduet dengan Hidayat yang mampu meraup suara responden mencapai 26,88 %.
Berkoalisi bukanlah hal baru bagi PKS. Kemenangan PKS diberbagai pilkada, menunjukkan PKS jeli dalam memilih rekan untuk berkoalisi. Namun jika lengah, PKS harus bersiap tidak mendapat jatah untuk duduk di kabinet. Kini, Hidayat bagai gadis cantik yang banyak dicari kumbang untuk dipinang.
Atau bisa jadi nasib Hidayat seperti SBY pada 2004. Jelang pemilu 2004, SBY dilirik sana-sini untuk menjadi wapres. Amien Rais, Wiranto dan Mega sempat ingin meminang SBY untuk menjadi wapres. Ternyata, SBY melenggang menjadi capres dan akhirnya memenangi perebutan kursi presiden RI.
*) Beta Perkasa, b_perkasaugm@yahoo.com. ( asy / asy )
-------
sumber: detik.com
Sayangnya, di PKS kelompok Islam konservatif yang menguasai Dewan Syuro masih keberatan jika wanita menjadi pemimpin. Padahal Dewan Syuro inilah yang memiliki banyak peran penting dalan kebijakan partai. Namun perlu dicatat, pada tahun 2001 saat menggulingkan Gus Dur, PKS sempat ikut dalam koalisi mendukung Hamzah Haz sebagai wapres dan Megawati sebagai presidennya. Selain itu sulit menyatukan aspek kultural PDIP dengan PKS. Kader PKS yang sangat menjaga perilaku dan sikap dengan aturan Islam tentu tidak mudah berbaur dengan kader PDIP.
Begitupun dengan Sultan. Paduan Islam-Nasional kembali menjadi daya tarik pasangan Sultan-Hidayat. Namun, Gubernur DIY ini dikenal lekat sebagai Islam Kejawen yang begitu banyak ritual warisan nenek moyang. Tentu sangat berbeda dengan watak PKS dengan Islam modernis yang kerap menolak ritual Islam kejawen. Asal daerah yang berdekatan membuat Sultan yang berasal dari Yogyakarta dan Hidayat dari Klaten, Jateng, sulit merangkul suara signifikan dari luar Jawa.
Hidayat berpeluang untuk bersanding dengan SBY atau JK. Pernyataan Ahmad Mubarok, bisa jadi menunjukkan adanya faksi di partai Demokrat yang ingin mendepak JK sebagai pasangan SBY. Figur SBY yang kuat dan mempesona tidak hanya akan menarik suara partai Demokrat namun juga massa mengambang yang mudah terhipnotis dengan figuritas. Dipadu dengan Hidayat yang akan menggerakkan mesin politik PKS untuk meraup suara. Survei LRI menunjukkan duet SBY-Hidayat meraup suara hingga 36,8 % di bawah SBY-JK sebesar 37,7 %.
Hidayat juga berpeluang duet dengan JK. Setelah JK menyatakan diri siap diusung sebagai capres, Golkar langsung mengambil inisiatif bertandang ke DPP PKS beberapa hari lalu. Disinyalir, langkah ini sebagai penjajakan duet Jusuf Kalla dengan Hidayat Nur Wahid sebagai capres dan cawapres. Banyaknya faksi Islam di tubuh Golkar, menjadi modal sosial yang penting bagi Golkar untuk berkoalisi dengan PKS. Survei LRI menunjukkan nilai tertinggi jika JK berduet dengan Hidayat yang mampu meraup suara responden mencapai 26,88 %.
Berkoalisi bukanlah hal baru bagi PKS. Kemenangan PKS diberbagai pilkada, menunjukkan PKS jeli dalam memilih rekan untuk berkoalisi. Namun jika lengah, PKS harus bersiap tidak mendapat jatah untuk duduk di kabinet. Kini, Hidayat bagai gadis cantik yang banyak dicari kumbang untuk dipinang.
Atau bisa jadi nasib Hidayat seperti SBY pada 2004. Jelang pemilu 2004, SBY dilirik sana-sini untuk menjadi wapres. Amien Rais, Wiranto dan Mega sempat ingin meminang SBY untuk menjadi wapres. Ternyata, SBY melenggang menjadi capres dan akhirnya memenangi perebutan kursi presiden RI.
*) Beta Perkasa, b_perkasaugm@yahoo.com. ( asy / asy )
-------
sumber: detik.com