
----
Di tengah hiruk pikuk kampanye hari-hari ini, ia memberi kabar menyegarkan.
Namanya Pandu, seorang siswa kelas XII SMA 8 Jakarta. Ia anak seorang kawan, Nidzom, yang dulu merintis dan membangun Perpustakaan Republika hingga menjadi seperti sekarang. Ketika banyak anak seusianya sedang bingung mencari kerja atau kuliah, ia telah memperoleh kepastian.
Ujian Akhir Nasional belum berjalan. Namun, Pandu telah mendapat tempat di berbagai universitas penting Amerika. Ia telah diterima di MIT, Yale, hingga Columbia University. Ia masih mengharapkan untuk tembus Harvard. Baginya, bintang terjauh, gunung tertinggi, serta samudra terluas harus ditaklukkan. Jangan pernah melangkah setengah bila mampu menjangkau penuh.
Pandu hanya salah seorang yang mewakili bangsa yang tengah bergerak: Indonesia ini. Banyak Pandu lain di negeri ini yang juga bergerak. Terkadang, pergerakannya bukan dalam bentuk yang membuat orang lain terperangah. Atau yang dapat membuat bertepuk tangan. Misalnya, mereka yang tengah memperjuangkan nasib seperti para korban lumpur Lapindo Sidoarjo. Ratusan ibu rumah tangga sederhana itu datang ke Jakarta sama sekali bukan buat berwisata. Mereka hanya ingin didengar para pemimpin: Agar dibantu mencari jalan keluar dari keterpurukan setelah kehidupannya tenggelam oleh luapan lumpur itu.
Namanya Pandu, seorang siswa kelas XII SMA 8 Jakarta. Ia anak seorang kawan, Nidzom, yang dulu merintis dan membangun Perpustakaan Republika hingga menjadi seperti sekarang. Ketika banyak anak seusianya sedang bingung mencari kerja atau kuliah, ia telah memperoleh kepastian.
Ujian Akhir Nasional belum berjalan. Namun, Pandu telah mendapat tempat di berbagai universitas penting Amerika. Ia telah diterima di MIT, Yale, hingga Columbia University. Ia masih mengharapkan untuk tembus Harvard. Baginya, bintang terjauh, gunung tertinggi, serta samudra terluas harus ditaklukkan. Jangan pernah melangkah setengah bila mampu menjangkau penuh.
Pandu hanya salah seorang yang mewakili bangsa yang tengah bergerak: Indonesia ini. Banyak Pandu lain di negeri ini yang juga bergerak. Terkadang, pergerakannya bukan dalam bentuk yang membuat orang lain terperangah. Atau yang dapat membuat bertepuk tangan. Misalnya, mereka yang tengah memperjuangkan nasib seperti para korban lumpur Lapindo Sidoarjo. Ratusan ibu rumah tangga sederhana itu datang ke Jakarta sama sekali bukan buat berwisata. Mereka hanya ingin didengar para pemimpin: Agar dibantu mencari jalan keluar dari keterpurukan setelah kehidupannya tenggelam oleh luapan lumpur itu.
Ratusan ribu politisi, yang sekarang aktif berkampanye memperebutkan kursi legislatif, juga bergerak. Sebagian tentu punya agenda jelas untuk memperjuangkan sesuatu yang dipandangnya penting bagi bangsa ini. Sebagian dengan kesadaran penuh ingin menjadikan kursi DPR semacam profesi: pekerjaan nyaman yang memberi kekayaan, kekuasaan, juga kepopuleran. Sesuatu yang sah buat dijalani. Atau, kata seorang kawan lain, ''buat membeli kehormatan.'' Apa pun tujuannya mereka rela berdarah-darah berjuang untuk mendapatkan posisi itu.
Banyak di antara kita yang masih gamang membayangkan. Akan sampai mana ujung ingar-bingar politik yang terwakili oleh pemilihan umum ini. Akankah benar-benar mengantarkan Indonesia menjadi bangsa maju seperti bangsa-bangsa tetangga? Ataukah, demi mempertahankan istilah demokrasi, kita siap untuk hanya berujung pada kegaduhan demi kegaduhan? Tampaknya hanya waktu yang akan dapat menjawabnya secara persis. Yang dapat kita lakukan adalah terus berusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, selain tentu saja berdoa. Kata orang bijak, tugas manusia memang hanya berusaha dan berdoa. Hasil adalah buah dari usaha dan doa tersebut. Itu sepenuhnya urusan Tuhan. Bukan urusan kita. Dari sudut pandang ini, manusia memang harus terus bergerak. Nilai manusia ditentukan oleh seberapa banyak bergerak. Tak ada amal yang dihasilkan tanpa bergerak. Meskipun pergerakannya pergerakan hati. Tak ada kemajuan yang dapat dicapai dengan diam. Dalam sudut ini, diam jelas bukan emas. Yang emas adalah bergerak dan bergerak.
Yang kemudian menjadi tantangan adalah: Ke arah mana kita harus bergerak? Buah kemajuan apa yang bakal kita peroleh dari berbagai gerak selama ini? Itu pertanyaan sederhana, tapi penting buat dicermati. Kumpulan gerak tak selalu menghasilkan kumpulan buah. Tanpa kesesuaian arah, tanpa keserempakan, antargerak dapat saling melemahkan. Bila demikian, jangan harap ada buah yang dapat diperoleh. Karena itu, kesesuaian arah adalah penting. Keserempakan gerak merupakan kesemestian. Kesesuaian arah dan keserempakan gerak terus akan terbangun bila ada ketulusan bersama dan kesatuan hati. Itu yang perlu untuk terus kita tumbuhkan, terutama di hari-hari kompetisi politik saat ini. Dengan ketulusan bersama dan kesatuan hati, bangsa ini akan bergerak secara indah hingga mampu berbuat seperti Pandu yang menaklukkan bintang terjauh, gunung tertinggi, dan samudra terluas itu. [Republika, 27/3/09]
-----
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Banyak di antara kita yang masih gamang membayangkan. Akan sampai mana ujung ingar-bingar politik yang terwakili oleh pemilihan umum ini. Akankah benar-benar mengantarkan Indonesia menjadi bangsa maju seperti bangsa-bangsa tetangga? Ataukah, demi mempertahankan istilah demokrasi, kita siap untuk hanya berujung pada kegaduhan demi kegaduhan? Tampaknya hanya waktu yang akan dapat menjawabnya secara persis. Yang dapat kita lakukan adalah terus berusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, selain tentu saja berdoa. Kata orang bijak, tugas manusia memang hanya berusaha dan berdoa. Hasil adalah buah dari usaha dan doa tersebut. Itu sepenuhnya urusan Tuhan. Bukan urusan kita. Dari sudut pandang ini, manusia memang harus terus bergerak. Nilai manusia ditentukan oleh seberapa banyak bergerak. Tak ada amal yang dihasilkan tanpa bergerak. Meskipun pergerakannya pergerakan hati. Tak ada kemajuan yang dapat dicapai dengan diam. Dalam sudut ini, diam jelas bukan emas. Yang emas adalah bergerak dan bergerak.
Yang kemudian menjadi tantangan adalah: Ke arah mana kita harus bergerak? Buah kemajuan apa yang bakal kita peroleh dari berbagai gerak selama ini? Itu pertanyaan sederhana, tapi penting buat dicermati. Kumpulan gerak tak selalu menghasilkan kumpulan buah. Tanpa kesesuaian arah, tanpa keserempakan, antargerak dapat saling melemahkan. Bila demikian, jangan harap ada buah yang dapat diperoleh. Karena itu, kesesuaian arah adalah penting. Keserempakan gerak merupakan kesemestian. Kesesuaian arah dan keserempakan gerak terus akan terbangun bila ada ketulusan bersama dan kesatuan hati. Itu yang perlu untuk terus kita tumbuhkan, terutama di hari-hari kompetisi politik saat ini. Dengan ketulusan bersama dan kesatuan hati, bangsa ini akan bergerak secara indah hingga mampu berbuat seperti Pandu yang menaklukkan bintang terjauh, gunung tertinggi, dan samudra terluas itu. [Republika, 27/3/09]
-----
posted by: pkspiyungan.blogspot.com