Khutbah Idul Adha KJRI JOHOR: Meneladani Siti Hajar

Oleh: Abdul Wahid Surhim, MT*
Perasaan yang muncul tatkala kita melihat prosesi ibadah haji adalah perasaan bersatu, suasana kebersamaan, juga perasaan bahwa kita adalah ummatan waahidah (ummat yang satu). Tidak mempedulikan perbedaan kecil yang ada. Yang ada adalah rasa toleran terhadap perbedaaan itu.

Tatkala kita memperhatikan prosesi wukuf, maka muncul kesadaran bahwa kelak kita semua akan dikumpulkan di padang mahsyar. Semua manusia sama. Umurnya sama. Sama telanjang. Yang berbeda adalah amalnya saja.

Tatkala kita memperhatikan prosesi sa’i, maka kita teringat sosok wanita yang telah mengukir sejarah, wanita pertama yang membuka Mekkah al-Mukarramah sebelum manusia lainnya; dialah Siti Hajar. Menyongsong 80 tahun Hari Ibu, marilah kita mengambil tauladan dari perempuan mulia ini, istri Nabi Ibrahim as.

Paling tidak ada lima sifat Siti Hajar yang patut kita teladani. Tentu saja, kelima sifat tersebut bukan hanya patut diteladani oleh kaum perempuan saja, tetapi juga oleh kita semua termasuk yang laki-laki.

1. Peduli
kepedulian Siti Hajar ini meliputi kepedulian secara batin maupun lahir. Kepedulian secara batin maksudnya adalah menjaga perasaan orang lain. Hal ini terlihat tatkala beliau diperistri oleh Nabi Ibrahim as sebagai istri kedua beliau, kemudian Allah memberikan kepadanya keturunan. Siti Sarah sebagai istri pertama Nabi Ibrahim sudah sangat lama tidak mendapatkan keturunan. Tentu kondisi ini bisa membuat Siti Sarah tergoncang. Itulah kenapa Siti Hajar kemudian mengenakan stagen untuk menutupi kehamilannya di antaranya adalah demi menjaga perasaan Siti Sarah. Rasulullah SAW bersabda,

أَوَّلَ مَا اتَّخَذَ النِّسَاءُ الْمِنْطَقَ مِنْ قِبَلِ أُمِّ إِسْمَاعِيلَ اتَّخَذَتْ مِنْطَقًا لَتُعَفِّيَ أَثَرَهَا عَلَى سَارَةَ

“Wanita pertama yang mengenakan stagen adalah Ummu Ismail (Siti Hajar). Dia mengenakan stagen untuk menutupi kehamilannya di hadapan Siti Sarah” (HR Bukhari)

Jika Siti Hajar tidak peduli terhadap derita Siti Sarah, tentu tidak perlu ia menutupi kebahagiaannya itu. Mungkin bagi kita, kita malah memperlihatkannya tanpa memperdulikan kesedihan orang lain.

Kepedulian secara lahir dari Siti Hajar nampak tatkala Allah mengaruniakan air zam-zam, kemudian rombongan bangsa Jurhum menemuinya untuk meminta air, maka beliau mempersilakannya. Beliau tidak memonopoli karunia Allah untuk diri sendiri, tapi berbagi dengan yang lainnya.

Itulah kenapa setiap tahun Islam mewajibkan zakat fitrah dan zakat lainnya. Ibadah qurban juga merupakan salah satu bentuk kepedulian kita kepada sesama. Sesungguhnya secara global, makanan yang ada di dunia ini cukup untuk memberi makan DUA kali lipat penduduk bumi ini, tapi akibat tidak ada pemerataan dan kepedulian, ditambah lagi daya beli masyarakat yang rendah, akhirnya sebagian penduduk dunia mati kelaparan.

2. Ridha
Imam Ibnu Rajab mengatakan bahwa ridha adalah tingkatan keimanan yang paling tinggi. Ridha adalah kelapangan jiwa terhadap ketentuan Allah dan tidak menginginkan penderitaan dari ketentuan Allah itu hilang. Kendati penderitaan itu ada, tapi ridha meringankannya karena hati bersentuhan dengan semangat keyakinan dan ma’rifah (pengenalan yang dalam) kepada Allah.

Setelah melahirkan putranya yang bernama Ismail, Siti Hajar dibawa oleh Nabi Ibrahim ke Mekkah. Allah menyebutkan peristiwa ini:

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)

Semula Siti Hajar terus mendesak kepada Nabi Ibrahim dengan pertanyaan yang bernada gugatan:

يَا إِبْرَاهِيمُ أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ

“Wahai Ibrahim, kemana engkau akan pergi, sedangkan kami engkau tinggalkan di lembah ini, yang tiada manusia dan apapun jua?” (HR Bukhari)

Siti Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban dari Nabi Ibrahim as. Tapi ma’rifahnya kepada Allah membuatnya menanyakan hal lain:

أَاللَّهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَتْ إِذَنْ لَا يُضَيِّعُنَا

“Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Siti Hajar berkata, “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (HR Bukhari)

Lihatlah apa yang Siti Hajar katakan saat mengetahui bahwa perlakuan suaminya adalah perintah Allah: إِذَنْ لَا يُضَيِّعُنَا “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami”

Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari Siti Hajar berkata:

يَا إِبْرَاهِيمُ إِلَى مَنْ تَتْرُكُنَا قَالَ إِلَى اللَّهِ قَالَتْ رَضِيتُ بِاللَّهِ

“Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau tinggalkan kami?” Nabi Ibrahim menjawab, “Kepada Allah.” Siti Hajar berkata, “Aku ridha kepada Allah”. (HR Bukhari)

Sebuah sikap ridha yang luar biasa terhadap ketentuan Allah. Sikap ridha Siti Hajar juga terlihat ketika putranya semata wayang, Ismail, harus disembelih karena itu merupakan perintah Allah. Padahal kita tahu bagaimana perjuangan beliau menyelamatkan Ismail dari kelaparan kemudian membesarkannya sendirian, tanpa bantuan dari sang suami, Nabi Ibrahim as.

Jika kita memiliki sikap ini, maka Allah pun akan ridha kepada kita. Rasulullah SAW bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ إِنْسَانٍ أَوْ عَبْدٍ يَقُولُ حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidak ada seorang Muslim atau manusia atau hamba yang berkata ketika petang dan pagi, ‘Aku ridha Allah robbku, Islam agamaku, dan Muhammad nabiku’, kecuali Allah pasti ridha kepadanya pada hari kiamat” (HR Ibnu Majah)

3. Yakin
Keridhaan Siti Hajar dengan ungkapan yang sangat meyakinkan tersebut, memang lahir dari keyakinannya yang sangat tinggi terhadap Allah SWT. Keyakinan bahwa semua perintah Allah pasti baik, meskipun secara lahir nampak buruk. Mata kita memang kadang tertipu dengan yang nampak, padahal hakikatnya tidak seperti yang kita lihat. Allah SWT berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

4. Tegar
Setelah ridha dan yakin terhadap ketentuan Allah, Siti Hajar tidak berpangku tangan tatkala makanan dan minuman yang tersedia sudah habis. Bahkan air susunya juga sudah tidak menetes. Ia bangkit. Tangis Ismail memberinya energi lain untuk lebih bersemangat mencari air di tengah gurun gersang itu. Fatamorgana di bukit Shafa memberinya harapan akan adanya air. Tapi ternyata nihil. Kembali bangkit harapannya tatkala melihat ke bukit Marwa. Ia telah berupaya dengan semestinya bahkan dengan bersemangat. Rasulullah SAW menggambarkan semangat Siti Hajar ini dalam sabdanya:

ثُمَّ سَعَتْ سَعْيَ الْإِنْسَانِ الْمَجْهُودِ

“Kemudian Siti Hajar bersa’i (berlari kecil) dengan sa’inya orang yang bersemangat” (HR Bukhari)

Akan tetapi, sesungguhnya Allah telah mempersiapkan karuniaNya yang tak terduga. Karunia yang akan menambah ridha dan keyakinannya kepada segala ketentuan Allah. Allah telah mengirim malaikat untuk mengibaskan sayapnya demi membuka mata air terbaik yang ada di dunia ini: air zam-zam.

5. Sederhana
Tatkala air zam-zam itu memancar dengan derasnya, maka Siti Hajar hanya mencawuk air itu untuk diisikan kedalam kantong air. Dalam kondisi yang tragis begitu, biasanya orang akan berlebihan dalam mengkonsumsi air, tapi tidak begitu Siti Hajar. Beliau tidak tamak, tapi memanfaatkan sesuai dengan keperluannya, tidak berlebih-lebihan. Rasulullah SAW sampai memuji sikap sederhana Siti Hajar ini dalam sabdanya:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْحَمُ اللَّهُ أُمَّ إِسْمَاعِيلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ أَوْ قَالَ لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنْ الْمَاءِ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِينًا

“Rasulullah SAW bersabda, ‘Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada Ibunya Ismail. Seandainya dia meninggalkan zam-zam atau seandainya dia tidak mencawuk air zam-zam maka niscaya zam-zam menjadi sumber mata air yang mengalir deras”. (HR Bukhari)

Begitulah di antara keteladanan Siti Hajar yang bisa kita contoh. Apalagi dalam suasana serba tidak menentu seperti sekarang dan bulan-bulan mendatang. Tahun depan yang hampir tiba, dunia termasuk Indonesia dibayang-bayangi oleh dampak krisis global. Ancaman PHK akibat bangkrutnya perusahaan-perusahaan, kekurangan pangan, kenaikan harga, dsb. diperkirakan terjadi pada tahun 2009. Lima sifat yang dimiliki oleh Siti Hajar tersebut patut menjadi bagian dari diri kita saat menghadapi suasana sulit. Kita mesti tetap peduli, ridha, yakin, tegar dan sederhana dalam hidup kita. Semoga Allah memberi jalan terbaik kepada umat Islam di Indonesia khususnya dan umat Islam di seluruh dunia pada umumnya.***
---------------

* Abdul Wahis Surhim, mahasiswa program doktoral UTM
* Dibacakan dalam Shalat Idul Adhha 1429 H di Wisma Negara KJRI Johor - Malaysia
* download teks khutbah lengkap: klik disini!
Baca juga :