Golput, Sikap yang Kritis?

Oleh Widodo (widodo@nhm.co.id)
INILAH.COM: Banyak peneliti ataupun lembaga survei yang telah mempublikasikan hasil riset tentang golput dengan beragam alasan yang dikemukakan. Sikap pro dan kontra pun bermunculan seiring benturan kepentingan masing-masing.

Megawati pernah mengemukakan bahwa golput bukan WNI dan tak layak tinggal di Indonesia sedang Gus Dur mengkampanyekan Golput setelah partainya 'kalah' di depan hukum.

Sejak era reformasi bergulir tahun 1998, Indonesia menerapkan sistem multi partai dalam pemilu. Tercatat ratusan parpol ikut proses verifikasi oleh KPU selama sepuluh tahun terakhir. Kemudian 'verifikasi' selajutnya dilakukan oleh warga pemilih sendiri saat pemilu berlangsung yakni lolos dan tidaknya partai tSb. dalam electoral/parliamentary treshold yang diterapkan.

Hal ini tak lepas dari suara mayoritas yang menjadi pemenang sebagai efek sistem demokrasi.

Mengklaim golput sebagai pemenang memang masuk akal bila hanya ditinjau dari segi persentase suara. Tetapi, Menjadi tidak masuk akal karena golput (dengan alasan apapun) tidak bias mewakilkan anggotanya baik di eksekutif maupun legislatif. Apalagi, bila mereka mengklaim bahwa pemerintahan yang terbentuk menjadi unlegitimate. Jadi layakkah golput disebut pemenang?

Tingginya angka golput yang diperkirakan akan meningkat pada tahun depan memang cukup mengkhawatirkan. Beberapa pihak berupaya mencoba meminimalisirnya. Di antaranya, merasa perlu dan mendorong untuk dimunculkannya ‘fatwa haram’.

Trend Golput menjadi menarik untuk diikuti perkembangannya. Apalagi golput merupakan indikator yang bagus, dimana menandakan pemilih di Indonesia sudah mulai kritis. Begitu kesimpulan yang ditulis beberapa pengamat.

Benarkah mereka pemilih kritis/cerdas? Sayangnya, analisa dari kesimpulan itu tidak berlanjut. Golput karena merasa kepentingan pribadinya 'dirampas', kritiskah mereka? Golput karena 'menganggap' semua partai jelek, kritiskah mereka? Golput karena ikut-ikutan 'biar' dianggap sebagai orang kritis, kritiskah mereka? Atau bahkan karena 'saya kan gak berdosa kalo nantinya negara makin hancur, karena saya gak milih mereka alias golput!'

Dan, ternyata kebanyakan dari mereka (hanya) 'menganggap' semua partai jelek bahkan mungkin tak tahu sama sekali (karena memang tak mau tahu) dengan partai yang ada.

Berharap ada kelanjutan analisa dari para professional untuk memetakan mana yang golput karena ambisi pribadinya, masa bodoh, No Action Talk Only (NATO), bahkan ikut-ikutan biar dianggap kritis. Serta yang terpenting, berapa persen yang memang betul-betul critical voter?

Pemilih yang kritis (seharusnya) adalah pemilih yang sadar, akan eksistensi dan kedaulatan negera menjadi bagian kewajibannya sebagai warga.

Bahwa negara harus ada pemerintah yang didukung penuh rakyatnya. Bahwa setiap warga negara mempunyai rasa optimisme, nasionalisme dan andil membangun negara, tidak berputus asa karena harapan itu masih ada.

Mereka memilih yang terbaik dari yang baik buruk setelah membuat ranking penilaian terlebih dahulu.

Hal ini bisa ditandai dengan prosentase masa mengambang yang tinggi pada pemilu selajutnya. Dan, begitulah (seharusnya) cara memberi shock therapy pada partai yang tak sungguh-sungguh memperjuangkan rakyat melalui program dan kinerjanya.

Kritis dan tidak masa bodoh terhadap masa depan bangsa menuju negara berdaulat dan bermartabat tempat dirinya 'bernaung' suka ataupun tidak, meskipun di seberang lautan selalu terlihat ada kuman.
-------------
sumber: inilah.com
Baca juga :