
Dengan kekuatan delapan ribu pasukan, Abdur Rahman Al Chafiki (wali Negeri Andalusia) bersiap-siap menaklukkan Tanah Ghalia (sekarang Perancis). Tahap pertama, Abdur Rahman dan pasukannya memasuki daerah Perancis Selatan, lalu menaklukkan wilayah (Hertogdom) Aquitania.
Hertog Aquitania berhasil meloloskan diri dan meminta bantuan raja Frank, yaitu Karel Martel the Groot atau Charlemagne untuk mengusir tentara Islam dari wilayahnya. Permintaan ini dikabulkan Karel Martel, ia pun bersiap dengan menyusun pasukan yang sangat besar jumlahnya. Akhirnya, di dekat Poitiers, berhadapanlah pasukan Nasrani di bawah pimpinan Karel Martel dengan tentara Islam di bawah pimpinan Abdur Rahman Al Chafiki. Terjadilah pertempuran yang dahsyat antara kedua belah pihak, yang dalam sejarah terkenal sebagai “Perang Tours”, perang dekat Poiters.
Tentara Islam ketika itu sangat banyak membawa harta rampasan perang yang diperolehnya dari Aquitania. Harta benda yang sangat banyak itu telah memberati dan menyusahkan pergerakan mereka.
Pertempuran dahsyat telah berlangsung selama delapan hari, dan pada hari kesembilan tentara Islam hampir saja memperoleh kemenangan besar. Tetapi pada saat yang sangat kritis itu, terjadi suara riuh dan gaduh yang menyorakkan bahwa harta rampasan perang mereka telah dirampas musuh. Mendengar itu, sebagian tentara Islam berpaling ke belakang hendak melindungi harta tersebut, sehingga barisan yang tadinya kokoh menjadi kacau balau. Kemenangan yang telah di depan mata pun menjadi sirna, bahkan Abdur Rahman tewas dalam pertempuran tersebut.
Perang yang terjadi pada tahun 112 H atau 731 M ini, dipandang sebagai pertempuran yang sangat hebat dalam sejarah Eropa, karena seandainya tentara Islam menang, niscaya Eropa akan jatuh ke tangan mereka dan meratalah Islam di Benua Putih tersebut (Latief Osman, 1961: 12-13).
------
Kisah di atas menggambarkan kepada kita, betapa kecintaan yang terlalu berlebihan terhadap harta duniawi dapat melalaikan manusia dari mengingat Allah, dan akhirnya membawa manusia pada kerugian.
Sejarah pun telah membuktikan bahwa hancurnya peradaban-peradaban besar dunia, seperti peradaban Yunani, Romawi, bahkan peradaban Islam sendiri, diawali oleh sikap yang terlalu menyanjung kenikmatan duniawi. Kecintaan yang terlalu berlebihan tersebut pada akhirnya merembet pada kerusakan moral, dilanggarnya prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, serta dihalalkannya segala macam cara untuk meraih dan mempertahankannya.
Pantaslah kalau Rasulullah memperingatkan umatnya tentang hal itu. Beliau bersabda :
“Demi Allah, bukan kefakiran yang aku takutkan atas kamu. Namun aku khawatir harta dunia ini melimpah, sebagaimana hal itu terjadi kepada umat sebelum kamu. Maka kamu berlomba-lomba untuk mendapatkannya, sebagaimana mereka juga demikian, sehingga kamu pun rusak karenanya sebagaimana harta itu telah merusak keberadaan mereka.” (H.R. Bukhari).
Pertempuran dahsyat telah berlangsung selama delapan hari, dan pada hari kesembilan tentara Islam hampir saja memperoleh kemenangan besar. Tetapi pada saat yang sangat kritis itu, terjadi suara riuh dan gaduh yang menyorakkan bahwa harta rampasan perang mereka telah dirampas musuh. Mendengar itu, sebagian tentara Islam berpaling ke belakang hendak melindungi harta tersebut, sehingga barisan yang tadinya kokoh menjadi kacau balau. Kemenangan yang telah di depan mata pun menjadi sirna, bahkan Abdur Rahman tewas dalam pertempuran tersebut.
Perang yang terjadi pada tahun 112 H atau 731 M ini, dipandang sebagai pertempuran yang sangat hebat dalam sejarah Eropa, karena seandainya tentara Islam menang, niscaya Eropa akan jatuh ke tangan mereka dan meratalah Islam di Benua Putih tersebut (Latief Osman, 1961: 12-13).
------
Kisah di atas menggambarkan kepada kita, betapa kecintaan yang terlalu berlebihan terhadap harta duniawi dapat melalaikan manusia dari mengingat Allah, dan akhirnya membawa manusia pada kerugian.
Sejarah pun telah membuktikan bahwa hancurnya peradaban-peradaban besar dunia, seperti peradaban Yunani, Romawi, bahkan peradaban Islam sendiri, diawali oleh sikap yang terlalu menyanjung kenikmatan duniawi. Kecintaan yang terlalu berlebihan tersebut pada akhirnya merembet pada kerusakan moral, dilanggarnya prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, serta dihalalkannya segala macam cara untuk meraih dan mempertahankannya.
Pantaslah kalau Rasulullah memperingatkan umatnya tentang hal itu. Beliau bersabda :
“Demi Allah, bukan kefakiran yang aku takutkan atas kamu. Namun aku khawatir harta dunia ini melimpah, sebagaimana hal itu terjadi kepada umat sebelum kamu. Maka kamu berlomba-lomba untuk mendapatkannya, sebagaimana mereka juga demikian, sehingga kamu pun rusak karenanya sebagaimana harta itu telah merusak keberadaan mereka.” (H.R. Bukhari).