
Ketika ngaji pada waktu kecil di bawah kelap-kelip lampu minyak, saya dan temanteman sekampung pernah mendengar cerita tentang seekor lalat dan setitik tinta. Guru ngaji kami bilang, suatu hari, seorang yang sangat alim bernama Imam Ghazali sedang menulis kitab dengan kalam dan tinta. Pada saat yang sama, hinggap seekor lalat di atas kertas yang sedang ditulisi oleh Sang Alim.
Rupanya, serangga itu sedang kehausan, maka dia menjilati tapak kalam yang belum kering. Imam Ghazali membiarkan lalat itu minum sampai puas.
Guru ngaji kami meneruskan ceritanya, kelak Imam Ghazali akan masuk surga. Namun, diterangkan oleh malaikat, Al Ghazali masuk surga bukan karena ilmu yang telah ditulis dalam kitab-kitabnya. Beliau masuk karena kerelaannya membiarkan setitik tinta diminum oleh seekor lalat.
Setelah jadi manula dengan tiga cucu, cerita guru ngaji itu muncul kembali dalam layar kesadaran. Itu pasti cerita rekaan yang telah menjadi tutur tinular selama berabadabad. Seorang bijak bestari yang hidup di masa lalu telah menyisipkan pemikiran ilmu kalam ke dalam cerita sederhana yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Namun, agaknya selama ini cerita yang sarat muatan makna tadi kurang mendapat penghayatan yang memadai.
Sarat makna. Bandingkan nilai setitik tinta dengan ilmu yang diwariskan oleh Al Ghazali kepada umat di belakang beliau; amat tidak sepadan. Namun, bukan ilmu itu yang mengantarkan Sang Alim itu ke gerbang surga, melainkan kerelaan beliau atas setitik air tinta. Nalar cerita ini menyampaikan pesan bahwa pintu surga hanya bisa dibuka dengan kebaikan berupa amal nyata. Penguasaan atas ilmu dan kesalehan-kesalehan ritual baru merupakan kebaikan simbolis, sedangkan merelakan setitik tinta bagi makhluk kecil yang berwujud lalat adalah amal nyata.
Inilah agaknya yang dimaksud oleh orang Jawa: Ngelmu iku ketemune kanthi laku; bahwa ilmu baru punya makna bila sudah menjadi perilaku.
Memang, tentang lalat dan setitik tinta tadi sangat mungkin hanya merupakan cerita rekaan. Namun, kita tentu masih ingat akan beberapa riwayat sahih yang punya roh senada, bahkan mungkin menjadi rujukan cerita itu. Satu riwayat menjelaskan, seorang perempuan dikatakan oleh Kanjeng Nabi bakal menjadi penghuni surga karena dia merelakan satu-satu roti yang dimiliki untuk seekor anjing yang kelaparan. Padahal, perempuan itu bukan seorang ahli ibadah.
Sebaliknya. Suatu saat ada perempuan lewat dan para sahabat mengatakan dialah calon penghuni surga. Perempuan itu suka shalat malam. Tapi, Kanjeng Nabi mengatakan sebaliknya. Perempuan itu meski rajin beribadah, bakal masuk neraka karena dia tidak bersikap baik kepada para tetangga. Kedua riwayat ini juga membawa pesan bahwa ibadah baru merupakan kebaikan simbolis yang belum bisa membuka pintu surga atau menutup pintu neraka. Dan, kedua hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui amal nyata.
Bila benar demikian, maka muara keberagamaan dan iman kita haruslah berupa amal saleh nyata--akhlak yang mulia--dan bukan pada amal saleh yang bersifat ritualsimbolis. Namun, dalam kenyataan kehidupan beragama, kita berada dalam kondisi kurang proporsional. Kegiatan ritual-simbolis amat disuburkan bahkan menjadi orientasi dan muara keberagamaan. Sedangkan, kesalehan sosial berupa amal kebaikan nyata yang seharusnya menjadi terminal tujuan keberagamaan kurang dikembangkan.
Mungkin, karena kita sudah lupa akan kisah lalat dan setetes tinta. Lupa juga akan riwayat perempuan yang memberikan roti satu-satunya untuk anjing lapar atau perempuan ahli ibadah yang tidak bisa membuka pintu surga dengan ibadahnya karena dia tidak bisa menyambung silaturahim dengan para tetangga. Atau, kita bisa fasih membaca surat Alma'un, mengimani kandungannya, namun belum sampai pada kesadaran psikomotorik sehingga kita belum melakukan tindakan nyata apa pun. Atau lagi, kita tenggelam dalam ritus-ritus simbolis dan kurang mengamalkan kesalehan nyata. Padahal, kesalehan nyata, meskipun tampak kurang berarti, bisa menjadi kunci surga yang ternyata dekat. Wallahu a'lam.
sumber: republika (01.09.08)
Inilah agaknya yang dimaksud oleh orang Jawa: Ngelmu iku ketemune kanthi laku; bahwa ilmu baru punya makna bila sudah menjadi perilaku.
Memang, tentang lalat dan setitik tinta tadi sangat mungkin hanya merupakan cerita rekaan. Namun, kita tentu masih ingat akan beberapa riwayat sahih yang punya roh senada, bahkan mungkin menjadi rujukan cerita itu. Satu riwayat menjelaskan, seorang perempuan dikatakan oleh Kanjeng Nabi bakal menjadi penghuni surga karena dia merelakan satu-satu roti yang dimiliki untuk seekor anjing yang kelaparan. Padahal, perempuan itu bukan seorang ahli ibadah.
Sebaliknya. Suatu saat ada perempuan lewat dan para sahabat mengatakan dialah calon penghuni surga. Perempuan itu suka shalat malam. Tapi, Kanjeng Nabi mengatakan sebaliknya. Perempuan itu meski rajin beribadah, bakal masuk neraka karena dia tidak bersikap baik kepada para tetangga. Kedua riwayat ini juga membawa pesan bahwa ibadah baru merupakan kebaikan simbolis yang belum bisa membuka pintu surga atau menutup pintu neraka. Dan, kedua hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui amal nyata.
Bila benar demikian, maka muara keberagamaan dan iman kita haruslah berupa amal saleh nyata--akhlak yang mulia--dan bukan pada amal saleh yang bersifat ritualsimbolis. Namun, dalam kenyataan kehidupan beragama, kita berada dalam kondisi kurang proporsional. Kegiatan ritual-simbolis amat disuburkan bahkan menjadi orientasi dan muara keberagamaan. Sedangkan, kesalehan sosial berupa amal kebaikan nyata yang seharusnya menjadi terminal tujuan keberagamaan kurang dikembangkan.
Mungkin, karena kita sudah lupa akan kisah lalat dan setetes tinta. Lupa juga akan riwayat perempuan yang memberikan roti satu-satunya untuk anjing lapar atau perempuan ahli ibadah yang tidak bisa membuka pintu surga dengan ibadahnya karena dia tidak bisa menyambung silaturahim dengan para tetangga. Atau, kita bisa fasih membaca surat Alma'un, mengimani kandungannya, namun belum sampai pada kesadaran psikomotorik sehingga kita belum melakukan tindakan nyata apa pun. Atau lagi, kita tenggelam dalam ritus-ritus simbolis dan kurang mengamalkan kesalehan nyata. Padahal, kesalehan nyata, meskipun tampak kurang berarti, bisa menjadi kunci surga yang ternyata dekat. Wallahu a'lam.
sumber: republika (01.09.08)