Seminar PKS: Nasionalisme untuk Menyejahterakan

Memaknai 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 63 Tahun Kemerdekaan RI, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengadakan acara dialog kebangsaan di Jakarta, Selasa (26/8).
Dialog bertema "Spirit Nasionalisme dalam Pewarisan Generasi" dan "Spirit Nasionalisme Menghadapi Tantangan Global" dihadiri berbagai tokoh sekaligus pembicara dalam dialog tersebut (dari kiri ke kanan) Taufik Kiemas dari PDI-P, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Ketua Majelis Syuro PKS KH Hilmi Aminuddin, mantan Gubernur Lemhannas Sayidiman Suryohadiprojo, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama.
-------------
Jakarta, Kompas - Nasionalisme harus bisa memberi makna aktual dan relevan pada faham dan sikap bangsa, selain harus bisa menyejahterakan. Artinya, nasionalisme menjadi refleksi kerangka pemikiran falsafah yang sudah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Hal ini disampaikan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama pada sesi pertama Dialog Kebangsaan, Nasionalisme di Tengah Arus Perubahan, Selasa (26/8) di Jakarta. Selain Jakob, sesi ini juga menghadirkan mantan Gubernur Lemhannas Sayidiman Suryohadiprojo, Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Taufik Kiemas dari PDI-P, dan Ketua Majelis Syuro PKS KH Hilmi Aminuddin sebagai pembicara.

Menurut Jakob, nasionalisme selalu diasosiasikan pada perjuangan membebaskan rakyat, kebebasan bertanggung jawab, dan mengusahakan keadilan serta kesejahteraan rakyat. Nasionalisme juga diasosiasikan sebagai faham dan sikap yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.

”Itu sebabnya nasionalisme harus dikaitkan dengan kondisi bangsa dan negara saat ini. Kita bersyukur sudah ada prestasi perubahan dari otokrasi ke demokrasi,” ujarnya.

Namun, menurut Jakob, demokrasi masih membutuhkan pendewasaan dan pertanggungjawaban. Selain itu, juga membutuhkan pengorbanan untuk rakyat.

”Kita saat ini masih tertinggal dalam banyak hal, seperti kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kita masih tertinggal dari Malaysia dan Vietnam meski Tuhan sudah memberikan alam yang memiliki keunggulan komparatif dan selektif. Bangsa ini juga memiliki tradisi kebajikan yang bisa dijadikan pegangan bersama dan sekaligus masih memiliki kemauan bersama untuk maju,” ujarnya.

Sultan menambahkan, pemahaman nasionalisme itu selalu bergeser, bergantung pada jiwa, situasi, dan posisi seseorang.

”Bagi pemahaman saya, nasionalisme itu adalah bagaimana usaha untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi,” ujarnya.

Hilmi mengingatkan, bangsa ini jangan mau terjebak pada beragam dikotomi yang merugikan, seperti kelompok nasionalis yang ingin berjuang untuk rakyat, sedangkan yang agama ingin berjuang untuk umat. (MAM)

Baca juga :