Dikotomi Islam-Nasionalis Sudah Usang

pkspiyunganonline: JAKARTA (Republika) - Partai Kea dilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menegaskan bahwa tidak ada lagi dikotomi antara nasionalis dan Islam. Sebab, yang harus sekarang dilakukan adalah membangun kebersamaan untuk menyejahterakan rakyat.

Pernyataan ini disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDIP, Taufiq Kiemas, dan Ketua Dewan Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, ketika berbicara dalam dialog kebangsaan bertema, Nasionalisme di Tengah Arus Perubahan, di Jakarta, Selasa (26/8). Selain mereka, hadir pula Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Taufiq Kiemas dalam forum tersebut mengatakan tidak ada perbedaan untuk menyejahterakan masyarakat kecil secara bersama-sama.

Sekalipun dalam tempat yang berbeda. Dijelaskannya, kalau PKS memperjuangkan kaum dhuafa, PDIP memperjuangkan wong cilik atau kaum marhaen.

Namun, keduanya punya makna yang sama. ‘'Tugas kita sama, yakni harus memberdayakan kedua kaum ini,'‘ ungkap Taufik.
Dalam upaya menyejahterakan rakyat, Taufik mengajak agar elemen bangsa selalu bersama-sama berkomunikasi. Hanya dengan silatu rahmi persoalan bangsa akan bisa diselesaikan. ‘'Silaturahim harus dijalin dengan siapa pun, dengan semua anak bangsa. Tidak mungkin membicarakan sesuatu hal di negara ini sendirian.'‘ Tak berbeda dengan Taufik Kiemas, Ketua Dewan Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, juga menegaskan persoalan dikotomi nasionalis dan Islam sudah selesai. ‘'Saya dan Taufik Kiemas sering bertemu, saling ngobrol-ngobrol, hasilnya adalah kita tidak berpandangan dikotomi antara nasionalis dan Islamis,'‘ ungkap Hilmi.

Dalam pembicaraannya dengan Taufik, menurut Hilmi, masyarakat sering kali terjebak dalam paradigma lama.

Kalau ada pihak yang bicara tentang keumatan, mendapat tudingan sebagai ekstrem kanan.

Sementara, yang berbicara tentang persoalan kerakyatan dianggap ekstrem kiri. ‘'Kalau yang moderat baru dikatakan kebangsaan,'‘ ujarnya. Padahal, objek perjuangannya sama, yaitu masyarakat. Sudah selayaknya PKS dan PDIP maupun elemen lainnya bisa bekerja sama dalam memperjuangkan rakyat. Kerja sama yang lintas budaya, sosial, maupun hal lainnya.

Dalam pandangan Hilmi, persoalan rasa cinta Tanah Air adalah fitrah manusia.

‘'Dengan demikian, masalah nasionalisme dan kebangsaan sebenarnya itu sudah selesai karena merupakan fitrah manusia,'‘ ungkap Hilmi.

Modal dasar membangun kebersamaan, menurut dia, adalah selalu berpikir positif.

Dengan membangun semangat, akan bisa melakukan perencanaan yang cerdas.

Sementara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan, ada pergeseran arti nasionalisme. Dulu, kata dia, nasionalisme sangat erat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dalam konteks sekarang, nasionalisme harus diarahkan untuk mengurangi kebodohan dan kemiskinan.

Islam dan Nasionalisme Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman, menyatakan ada perbedaan mendasar dalam formasi nasionalisme di Eropa dan Asia. Dalam pengalaman Eropa, munculnya nasionalisme berbarengan dengan pudarnya pengaruh agama. Sedangkan, di bagian dunia yang lain, seperti Asia, ketika nasionalisme bergerak dan menyelimuti wilayahwilayah ini, isu agama juga bergerak ikut maju.

Di Indonesia, kebangkitan nasionalisme sulit dipisahkan dari peran Islam. Dalam situasi ketika kehidupan masyarakat sipil dalam konteks seperti di Eropa-belum berkembang, kebutuhan akan adanya sebuah komunitas, ajaran moral, dan panduan kehidupan publik dipenuhi, terutama oleh jaringan komunitas keagamaan.

‘'Oleh karena itu, ketika kolonialisme menimbulkan sengsara kehidupan masyarakat, reaksi pribumi untuk melakukan perlawanan difasilitasi, diberi isi dan tujuan oleh komunitas-komunitas keagamaan, seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Hasanuddin, dan lainnya,'‘ tegas Irman. dwo/bin

sumber: republika
Baca juga :