
[Direktur Eksekutif Inter-CAFE LPPM IPB, Ekonom INDEF, Mantan Kandidat Gubernur BI]
------------
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, ada empat sahabat yang layak untuk dijadikan pemimpin umat Islam pada waktu itu, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Jiwa kepemimpinan mereka sudah teruji di medan perang, dakwah, dan kehidupan sehari-hari.
Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang ‘'berambisi'‘ menggantikan Nabi dan mereka saling mendorong yang lainnya untuk jadi pemimpin. Mereka tahu dengan pasti bahwa memimpin sebuah negara bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah sedikit bisa buat celaka seisi negeri sehingga terbukalah pintu lebar ke neraka buat dirinya. Bagi para sahabat itu, menjadi pemimpin adalah sebuah hal yang sangat menakutkan dan bukan untuk dinikmati.
Kesadaran bahwa tanggung jawab pemimpin sangat berat, tampaknya kurang disadari oleh para ‘'elite'‘ kita saat ini.
Malahan, media kita sedang dipenuhi oleh kegenitan mereka yang ingin jadi presiden, gubernur, dan bupati. Pasang iklan di TV seolah-olah menjadi salah satu syarat untuk dinilai layak sebagai calon pemimpin.
Ada anak kemarin sore yang tak jelas asal usulnya tiba-tiba menyatakan siap untuk jadi pemimpin. Ada yang di masa lalunya punya hobi membobol kekayaan negara tiba-tiba merasa memenuhi syarat menjadi presiden. Ada yang menjadi "agen" asing tiba-tiba merasa bisa memahami amanat hati nurani rakyat. Ada yang jiwanya dipenuhi dengan kebencian tiba-tiba merasa bisa menyayangi rakyat.
Mungkin, mereka pikir kita adalah sebuah negeri dongeng yang tak kenal masalah. Di negeri dongeng, pemimpinnya gagah, santun, dihormati, berpakaian perlente, dan tak perlu memerhatikan nasib rakyat. Semuanya sudah gemah ripah loh jinawi.
Tapi, kita bukanlah negeri dongeng. Terlalu banyak orang yang miskin dan menganggur.
Terlalu banyak kekayaan negara yang digerogoti oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, terutama korporasi asing. Terlalu banyak anggaran yang disiasiakan, dikorupsi, dan dihambur-hamburkan untuk keperluan yang tidak jelas juntrungannya. Terlalu banyak kebijakan ekonomi yang dirancang untuk memakmurkan kepentingan asing dan bukannya untuk kepentingan rakyat.
Kita tidak hanya memerlukan pemimpin baru, tapi jauh lebih penting lagi adalah cara berpikir dan bertindak baru. Kawan saya, Rizal Ramli, mengistilahkannya sebagai jalan baru. Roosevelt menyebutnya sebagai new deal. Gus Dur, Amien Rais, dan Hidayat Nur Wahid menyikapinya dengan mendirikan Komite Penyelamatan Kekayaan Negara yang bisa jadi merupakan langkah awal bagi penyelamatan negara secara keseluruhan.
Kalau saja sebagian dari kekayaan alam bisa kita selamatkan untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, kita akan dengan leluasa membiayai program antikemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Sahabat saya dari serikat pekerja Pertamina, Abdullah Sodik, memperkirakan kerugian negara akibat salah urus pengelolaan minyak bumi yang bisa mencapai lebih dari empat ratus triliun rupiah.
Belum lagi, kita memperhitungkan potensi kerugian negara di bidang gas, batu bara, mineral, dan kehutanan.
Kerugian negara terjadi bukan hanya karena pejabat kita korup dan lalai dalam mengelola aset negara. Tetapi, lebih parah lagi, kebocoran memang sudah didesain melalui peraturan dan perundang-undangan. Dalam kontrak production sharing migas, misalnya, tidak ada batasan yang jelas mengenai jenis biaya apa saja yang bisa diklaim ke dalam ongkos pro duksi. Kontrak juga tidak memaksa para kontraktor untuk melakukan penghematan. Akibatnya, biaya lifting minyak menggelembung sampai 24 dolar AS per barel.
Sementara itu, di negara lain, ongkos lifting hanya dua sampai enam dolar AS saja.
Kita harus secara serius menangani carut-marut di sektor migas karena akan menjadi basis bagi perbaikan ekonomi secara keseluruhan.
Reformasi di sektor ini di beberapa negara telah terbukti manjur dalam membangkitkan perekonomian.
Sebagai gambaran, Putin berhasil menyelamatkan perekonomian Rusia yang hampir bangkrut dililit utang dengan cara ‘'membereskan'' sektor migas. Pengusaha migas yang curang dan tak bayar pajak, ia jebloskan ke penjara dan perusahaannya dinasionalisasi. Dengan uang dari migas, utang dilunasi lebih cepat dan pertumbuhan ekonomi dipacu.
Pertanyaannya, adakah di antara para pemimpin kita yang sanggup meniru langkah Putin? Di Amerika Latin, ada Chavez, Morales, dan Lula. Di Indonesia siapa? Biarlah Gusti Allah memilihkan yang tepat untuk kita. Amin.
sumber: Republika (4/8/2008)
Terlalu banyak kekayaan negara yang digerogoti oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, terutama korporasi asing. Terlalu banyak anggaran yang disiasiakan, dikorupsi, dan dihambur-hamburkan untuk keperluan yang tidak jelas juntrungannya. Terlalu banyak kebijakan ekonomi yang dirancang untuk memakmurkan kepentingan asing dan bukannya untuk kepentingan rakyat.
Kita tidak hanya memerlukan pemimpin baru, tapi jauh lebih penting lagi adalah cara berpikir dan bertindak baru. Kawan saya, Rizal Ramli, mengistilahkannya sebagai jalan baru. Roosevelt menyebutnya sebagai new deal. Gus Dur, Amien Rais, dan Hidayat Nur Wahid menyikapinya dengan mendirikan Komite Penyelamatan Kekayaan Negara yang bisa jadi merupakan langkah awal bagi penyelamatan negara secara keseluruhan.
Kalau saja sebagian dari kekayaan alam bisa kita selamatkan untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, kita akan dengan leluasa membiayai program antikemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Sahabat saya dari serikat pekerja Pertamina, Abdullah Sodik, memperkirakan kerugian negara akibat salah urus pengelolaan minyak bumi yang bisa mencapai lebih dari empat ratus triliun rupiah.
Belum lagi, kita memperhitungkan potensi kerugian negara di bidang gas, batu bara, mineral, dan kehutanan.
Kerugian negara terjadi bukan hanya karena pejabat kita korup dan lalai dalam mengelola aset negara. Tetapi, lebih parah lagi, kebocoran memang sudah didesain melalui peraturan dan perundang-undangan. Dalam kontrak production sharing migas, misalnya, tidak ada batasan yang jelas mengenai jenis biaya apa saja yang bisa diklaim ke dalam ongkos pro duksi. Kontrak juga tidak memaksa para kontraktor untuk melakukan penghematan. Akibatnya, biaya lifting minyak menggelembung sampai 24 dolar AS per barel.
Sementara itu, di negara lain, ongkos lifting hanya dua sampai enam dolar AS saja.
Kita harus secara serius menangani carut-marut di sektor migas karena akan menjadi basis bagi perbaikan ekonomi secara keseluruhan.
Reformasi di sektor ini di beberapa negara telah terbukti manjur dalam membangkitkan perekonomian.
Sebagai gambaran, Putin berhasil menyelamatkan perekonomian Rusia yang hampir bangkrut dililit utang dengan cara ‘'membereskan'' sektor migas. Pengusaha migas yang curang dan tak bayar pajak, ia jebloskan ke penjara dan perusahaannya dinasionalisasi. Dengan uang dari migas, utang dilunasi lebih cepat dan pertumbuhan ekonomi dipacu.
Pertanyaannya, adakah di antara para pemimpin kita yang sanggup meniru langkah Putin? Di Amerika Latin, ada Chavez, Morales, dan Lula. Di Indonesia siapa? Biarlah Gusti Allah memilihkan yang tepat untuk kita. Amin.
sumber: Republika (4/8/2008)