Seabad Kelahiran M. Natsir [17-7-1908 - 17-7-2008]

Oleh Mustofa Liem*

Teladan tentang Keragaman Berbangsa
Bangsa ini sedang memperingati 100 tahun kelahiran Mohammad Natsir. Dalam peringtan di aula MK, 15 Juli 2008, Wapres Jusuf Kalla mengungkapkan, figur Natsir patut menjadi panutan para pemimpin Indonesia. Lalu, dia menunjuk enam presiden dalam sejarah republik ini yang tidak saling berbicara satu sama lain. (Jawa Pos, 16 Juli 2008).

Bahkan, Natsir layak menjadi panutan bagi segenap anak bangsa. Sebab, dalam kontak sosial atau relasi antarmanusia, persoalan perbedaan ideologi atau politik, agama atau suku, tidak pernah menjadi pertimbangan bagi sosok yang sebenarnya lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, tersebut. Natsir amat menonjol dengan penghargaan pada egalitarianisme atau kesetaraan, sebagaimana hal itu diajarkan dalam Islam.

Sosok Sederhana

Sejak masa kanak-kanak, Natsir akrab dengan Islam. Mulai madrasah diniah di Solok pada sore dan belajar mengaji Alquran pada malam di surau. Dia belajar pada H Agus Salim, HOS Cokroaminoto, hingga Mohammad Abduh, tokoh pembaru Islam asal Mesir. Sampai hari tuanya, Islam menjadi pegangan hidupnya. Pada 1987, Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.

Pengetahuannya yang mendalam tentang Islam sebagai agama perdamaian sungguh terimplementasi dalam hidupnya yang amat sederhana. Tidak heran, anak juru tulis yang pernah ditolak masuk sekolah dasar Belanda itu layak dijadikan suri teladan dalam hal kesederhanaan.

Sebagaimana diketahui, Natsir bersama Sukiman dan Roem dikenal sebagai pendiri partai Islam Masyumi pada November 1945. Dalam Kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam Kabinet Hatta 1948, Natsir ditunjuk sebagai menteri penerangan.

Prof George Kahin, ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika, pernah diterima oleh Menpen Natsir pada 1948 yang mengenakan pakaian compang-camping. Menurut catatan guru besar Cornell University itu, beberapa minggu kemudian, staf yang bekerja di kantor Menpen Natsir berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas.
Kesederhanaan itulah yang tidak menjerumuskan dirinya dalam ketamakan atau hasrat untuk mengorupsi uang rakyat sebagaimana marak ditunjukkan para pejabat akhir-akhir ini.

Sosok Multikultural

Bukan kesederhanaan itu saja yang menonjol. Sikap santunnya sungguh menyentuh hati siapa saja. Tidak heran, Natsir dikenal sebagai politikus dengan 1001 teman yang beragam.

Misalnya, pasca kembali ke negara kesatuan RI pada 17 Agustus 1950, Natsir ditunjuk sebagai perdana menteri oleh Soekarno pada September 1950. Dia tak sungkan melibatkan unsur-unsur nonmuslim dan nasionalis. Herman Johannes, tokoh Kristen dari Partai Indonesia Raya, ditunjuk memimpin Departemen Pekerjaan Umum.

Natsir juga akrab dengan I.J. Kasimo dari Partai Katolik yang menjadi pendukungnya saat mengajukan mosi kembali ke bentuk NKRI pada 3 April 1950. Dengan Dipa Nusantara Aidit, Komite Comite Central Partai Komunis Indonesia, Natsir bisa berdebat sangat panas di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi, di luar sidang, Natsir bisa akrab bahkan ''menyeruput'' kopi hasil traktiran Aidit.

Bahkan apa yang ditunjukkan Natsir juga menjadi model bagi tokoh Masyumi yang lain. Kia Isa Ansari misalnya, biasa makan sate bersama Aidit dan Njoto setelah terlibat dalam perbedatan politik yang panas. Lalu, Mohammad Roem dengan Oei Tjoe Tat, tokoh Tionghoa dan mantan menteri Kabinet Dwikora. Menurut Amien Rais, tidak ada halangan bagi Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi untuk bergaul dengan kalangan nonmuslim (Tempo, 20 Juli 2008, hal 88).

Kemudian, meski selama lima tahun (1950-1955) dominasi parpol Islam merajai perpolitikan nasional, Natsir tegas mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, dia membela Pancasila yang dinilai selaras dengan prinsip-prinsip Islam.

Merenungkan Natsir yang, antara lain, ikut menandatangani Petisi 50 pada 1980, memang banyak hal yang bisa kita timba. Maklum, dia punya banyak peran, mulai politikus, pendidik, pendakwah, dan sebagainya.

Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi, Natsir tidak alergi pada kemajemukan atau perbedaan. Manusia bisa berbeda agama, suku, atau partai. Namun, semua punya derajat sama di mata Sang Pencipta. Perbedaan pada lawan politik Natsir bukan kendala. Perbedaan justru rahmat yang bisa dipakai untuk membangun bangsa ini.

Apalagi, karakter utama bangsa ini adalah keberagaman atau kemajemukan. Saat para pemimpin bangsa ini memberikan teladan buruk dengan tidak saling menyapa, Natsir menjadi inspirasi segar bahwa perbedaan bukan barang haram. Bahkan, kita harus belajar mengelola perbedaan itu untuk memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kemajuan bangsa. Perbedaan bukan alasan untuk memecah belah bangsa.

Jasad Natsir memang sudah dikebumikan pada 6 Februari 1993 di Tanah Kusir, Jakarta. Namun, teladan dan nilai-nilai yang diyakini akan terus hidup dalam hati para pengagumnya. Meski belum dianugerahi gelar pahlawan nasional, Natsir adalah pahlawan sejati bangsa ini.

*Mustofa Liem, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan, WNI asal Jatim, saat ini bekerja di Singapura
[jawapos]

*pkspiyungan.blogspot.com

Baca juga :