[pkspiyunganonline] Kebanyakan studi tentang Israel hanya berkonsentrasi kepada konfliknya, perundingannya dengan Palestina dan soal aksi terorismenya terhadap warga sipil. Masalah-masalah yang dihadapi Israel dari dalam hampir dilupakan. Terutama masalah yang timbul di Israel yang membantah pendapat orang yang mengklaim bahwa perlawanan terhadap Israel tidak ada gunanya. Ada tiga bukti dan dokumen yang belakangan berhembus soal masa depan Israel.
Bukti pertama; buku terakhir yang ditulis oleh aktifis intelijen Matew Staningberg dengan judul "Mereka berhenti di depan nasib mereka". Pengarang adalah mantan penasehat empat kepala intelijen keamanan Israel Shabak. Ia bekerja dengan Shabak sejak tahun 1991.
Penulis buku ini membicarakan managemen Israel terhadap perundingan damai dengan Palestina dan Arab. Ia berangkat dari gagasan utama bahwa Israel – agar memperoleh hasil yang menjamin kepentingannya jangka panjang – harus menarik diri dari perbatasan wilayah jajahan Juni 1997. Matew mengkritik keras gagasan Ehud Barack yang ditawarkan kepada mendiang Yaser Arafat dalam perundingan Cam Daivd 2000 dan mengkritik keras penolak Israel terhadap perundingan damai Arab yang dideklarasikan di KTT Beirut.
Penulis berbicara soal perundingan Barack dan Arafat;"Barack mendasarkan perundingannya dengan prinsip penarikan dari perbaasan jajahan tahun 1967. Namun ia mengecualikan hal-hal yang dianggap prinsipil seperti masalah Al-Quds dan lembaga suci. Penulis pernah mengatakan kepada Barack saat itu; Arab tidak akan kompromi dari kewenangan sesungguhnya Arafat tidak akan kompromi dari wilayah lembah suci dan akan menolak pengibaran bendera Israel di sana. Ia mengatakan, Arafat khawatir Al-Quds diubah menjadi model kota Hebron. Sebab Israel membagi masjid Al-Ibrahimi dan menguasai segala sesuatu di sana. Ia mengatakan kepada Barack pada saat itu; gap-gap itu telah membuyarkan perundingan. Ia mengingatkan agar Barack jangan meletakkan Arafat di depan dua pilihan; menerima dikte Israel atau meledakkan perundingan. Namun inilah yang dilakukan oleh Barack.
Catatan ini dijadikan keyakinan oleh penulis buku, bukan nasehat semata. Ia yakin bahwa penolakan Israel untuk membayar perundingan dengan menarik diri dari perbatasan jajahan 1967 akan mengancam keberadaan Israel sebagai negara demokrasi Yahudi. Risiko bahayanya lebih tinggi dari penarikan dari wilayah lain. Karenanya, ia mendukung prakarsa perdamaian Arab. Ia mengingatkan bahwa Israel jangan melewatkan peluang solusi "pendirian dua negara" sehingga konflik akan beralih ke wilayah lain; yakni tuntutan Palestina terhadap hak-hak warga negara. Tuntutan ini akan semakin berkembang dan akan mendapatkan dukungn internasional. Jika diterapkan, Israel akan berakhir beserta negaranya.
Bukti kedua; studi dari Universitas Heva dengan tajuk "Negara Tel Aviv mengancam Israel" yang digarap oleh Prof. Arnon Saver. Studi ini memberikan gambaran bahaya-bahaya politik salah dan faktor kehancuran diri sendiri. Studi menegaskan adanya fenomena alami dengan berkembangnya kota-kota besar secara demografi dan ekonomi akibat eksodus. Terutama kota Tel Aviv yang penduduk di dalamnya adalah Yahudi sementara di sekelilingnya adalah penduduk Palestina. Studi menegaskan bahwa Israel berkurang penduduknya hari demi hari dan terkonsentrasi di Tel Aviv. Hal ini akan mengancam langsung Israel. Jika Israel terus seperti ini maka akan diputuskan pembangian seperti di tahun 1947 dan akan terkonsentrasi sepanjang Heva, Askalan melalui Tel Aviv. Jika demikian Israel tidak akan berumur panjang. Dan tahun 2020 adalah awal mulanya.
Studi ini menegaskan bahwa warga Palestina di dalam negeri Israel meyakini Israel adalah musuh mereka. mereka meyakini Israellah yan mengubah mereka menjadi minoritas, merampas haknya. Studi kemudian menyimpulkan bahwa warga Palestina di dalam Israel sedang mengalami perkembangan fase ekstrimisme kebangsaan dan agama yang pesat. Ini menjadi menjadi ancaman paling membahaya atas Israel.
Bukti ketiga; studi dari Pusat Edva dengan tajuk "Beban konflik Israel – Palestina" yang digarap oleh Prof. Shalomo Sereky. Ia menilai konflik itu telah menciptakan 11 beban dalam bidang ekonomi, sosial dan militer. Beban-beban itu diperkuat dengan data-data ril dan angka.
Studi ini menegaskan bahwa Israel harus membayar konflik dengan Palestina dengan harga yang sangat mahal.
Anggaran pertahanan Israel meningkat menjadi 37 milyar US dolar dari 1989 hingga 2008 melampau beban anggaran pendidikan dalam setahun. Anggaran penarikan Israel dari Gaza dengan memberikan ganti rugi kepada warganya adalah 9 milyar Syekal, pembangunan tembok pemisah sebesar 13 Syekal melebihi anggaran kesehatan di tahun 2008.
Di sisi lain, studi ini menegaskan bahwa konflik Israel dan Palestina telah menciptakan permusuhan negara-negara Barat terhadap Israel dalam bidang HAM, akademi dan budaya. Pembunuhan terhadap Yitshak Rabin adalah bukti awalanya di tahun 1995.
Itulah tiga studi yang merekam bahwa masa depan Israel akan terancam jika melanjutkan konfliknya dengan Arab dan terus menolak penarikan atau menolak mengakui hak rakyat. Semua studi di atas adalah bukti dan saksi atas kehebatan perjuangan Palestina melawan penjajah.
Tapi siapa yang sudah membaca studi-studi di atas untuk lebih mengambil sikap benar dalam perundingan dan peperangan dengan Israel??? (bn-bsyr)[infopalestina.com]