Analisis Politik: Rakyat Menuntut Perubahan

Oleh: J Kristiadi
[Pengamat Politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS)]

Pandangan dikotomi politik yang didasarkan teori politik aliran oleh Clifford Gerrtz, dimana partai politik dibagi dalam 'partai nasionalis' dan 'partai agama', adalah teori yang sudah ketinggalan zaman. Persepsi itu sama kelirunya dengan pendapat teoretikus Barat yang menganggap negara berpenduduk mayoritas Islam tak dapat berdemokrasi. Perpolitikan Indonesia jauh lebih kompleks dan plural sehingga tak dapat dipahami secara simplistik melalui teori itu.

Sejarah politik Indonesia modern membuktikan, Islam dan nasionalis bukan dua hal yang berhadap-hadapan, apalagi berlawanan. Ia membaur menjadi entitas politik yang sangat cair dan pragmatis. Hal itu bisa jelas dilihat dari pencalonan kepala daerah. Tak ada benang merah yang bisa membuktikan teori dikotomi Islam dan nasionalis.

Bahkan, PKS , yang dikenal sebagai partai yang kental islamnya, bisa bekerja sama dengan Partai Damai Sejahtera mencalonkan seorang Kristen dalam Pilkada Papua beberapa saat lalu. Dikotomi juga kian tak relevan dengan penegasan PKS sebagai partai bernuansa nasionalis, yang menyatakan tak setuju dengan negara Islam dan negara sekuler, sebagaimana terangkum dalam buku berjudul Memperjuangkan Masyarakat Madani, yang diluncurkan beberapa waktu yang lalu.

Dinamika politik dewasa ini justru menjadi momentum untuk lebih memperkuat bangunan nation Indonesia mengingat pilihan rakyat tak lagi primordialistik. Pilihan rakyat dewasa ini lebih menuntut legitimasi politik yang didasarkan atas kinerja daripada pidato dan janji atau sikap yang mengundang iba.

Siapa pun pemimpin yang dinilai dapat melakukan perubahan ke arah perbaikan hidup, ia akan mendapatkan dukungan rakyat. Menyikapi kemenangan para calon itu, yang lebih dapat diterima adalah manifestasi dari suasana kebatinan rakyat yang menuntut perubahan. Rakyat ingin perubahan agar kehidupannya yang semakin sulit menjadi lebih baik. Kandidat dari parpol yang mapan, terutama Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, secara deterministik dianggap tak mungkin melakukan perubahan.

Masyarakat mungkin merasa telah memberikan cukup kesempatan pada mereka mandat kekuasaan, bahkan mandat sebagai presiden dan wakil presiden. Namun, kesempatan itu tidak digunakan dengan semestinya. Bahkan, PDI-P, yang pernah mendapatkan dukungan rakyat lebih dari 30 persen dalam pemilu legislatif, dihukum oleh pemilihnya dengan hanya memperoleh sekitar 20 persen pada Pemilu 2004, yang notabene pada saat ketua umumnya menjadi presiden.

Mungkin hal yang sama akan dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Empat tahun kurun waktu pemerintahannya belum bisa mewujudkan janji yang pernah ditebarkan saat kampanye. Dukungan 60 persen dari rakyat tak bisa dimanfaatkan untuk menjadi kekuatan penyeimbang menghadapi DPR yang sering rewel dalam merespons kebijakan pemerintah. Pemerintahan SBY-JK yang merupakan bagian dari 10 tahun usia reformasi belum beranjak dari kesan mengobral janji, tebar pesona, perilaku teatrikal dan melankolis, tetapi lemah dalam manajemen pemerintahan.

Fenomena suara rakyat yang menuntut perubahan tak mustahil akan memengaruhi hasil Pemilu 2009, dalam pemilu legislatif dan presiden. Partai Golkar dewasa ini menjadi tulang punggung pemerintah akan menerima beban yang paling berat, meski pemerintah didukung hampir semua partai yang mempunyai perwakilan di DPR.

Partai Golkar dan Yudhoyono tak mudah menjelaskan kepada rakyat bahwa kemiskinan dan pengangguran bukan hanya semata masalah Indonesia, tetapi juga disebabkan krisis pangan dunia, bencana alam, perubahan iklim, dan perekonomian dunia yang kacau. Selain itu, rakyat yang tertindih beban berat tak mudah memahami kompleksitas serta kerumitan proses pengambilan kebijakan.

Selama ini rakyat dijejali retorika politik yang hanya memberikan persepsi keliru mengenai hidup berbangsa dan bernegara. Elite tidak memberikan pendidikan dan pemahaman berpolitik yang benar agar rakyat mengerti betapa berat dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi bangsa dewasa ini. Bila parpol yang mapan tak mengubah strategi, sejalan dengan tuntutan masyarakat, tidak mustahil mereka akan mengalami kemunduran dalam perolehan suara pada Pemilu 2009.

Akhirnya, perlu disadari bersama, siapa pun yang menjadi pemimpin di Indonesia dewasa ini akan menghadapi tantangan dan kesulitan yang berat. Selain masalah yang berkaitan dengan perkembangan dan persaingan global yang kian sengit, tetapi yang jauh lebih penting adalah tantangan domestik yang mendesak untuk diselesaikan: pertama, sistem pemerintahan yang rancu, dan kedua, birokrasi yang sangat korup dan bobrok.

Tanpa perbaikan mendasar terhadap dua masalah itu, tidak ada pemimpin yang bisa mengubah kesengsaraan itu. Masyarakat boleh berharap terjadi perubahan dengan memilih calon pemimpin yang dinilai ideal. [kompas]

Baca juga :