Analisis Politik: GERBONG SEJARAH

SUKARDI RINAKIT
[Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate]

Hanya kepada tokoh yang sadar bahwa dirinya mendapatkan ”wahyu” bhinneka, yaitu kesadaran utuh bahwa tugas hidupnya adalah untuk menjaga keindonesiaan kita, multikulturalisme bangsa dan menjadi jembatan kaum muda, saya akan memberikan dukungan tanpa reserve.

Hanya kepada partai politik yang sadar bahwa eksistensinya adalah menjadi gerbong sejarah bangsa, membawa demokrasi menjadi semakin terkonsolidasi, dan bukan sekadar alat untuk perebutan kekuasaan, saya akan bersetia.

Sikap seperti itu perlu penulis tegaskan karena akhir-akhir ini banyak tokoh yang mendadak merasa terpanggil dan meyakini bahwa dirinyalah yang paling pantas menjadi presiden mendatang dan mampu mengatasi segala keruwetan bangsa. Sampai-sampai dua wartawan senior, Daud Sinjal dan Kristanto Hartadi, menyebut fenomena tersebut sebagai ”mendadak mesias”. Itu karena terlalu banyaknya figur yang gede rasa (ge-er). Tiba-tiba merasa menjadi yang terpilih.

Gerbong sejarah

Menguatnya gejala ”mendadak mesias” tersebut berkaitan dengan realitas Indonesia masa kini. Kehidupan yang sulit, ketiadaan figur panutan, hukum yang miring, keamanan yang rentan—untuk menyebut beberapa contoh—menjadikan banyak orang masuk dalam pusaran imajinasi kekuasaan. Di situ, mereka mendapatkan cermin yang memantulkan diri sendiri sebagai figur yang terpilih.

Padahal, tubuh asli yang berdiri di depan cermin itu sejatinya mempunyai alasan pribadi dengan spektrum luas. Ada yang sekadar tidak suka dengan kepemimpinan nasional sekarang karena alasan pribadi sampai dengan yang sepenuh hati ingin mengangkat derajat hidup rakyat, tetapi mereka membungkus alasan yang sebenarnya tersebut dalam kerangkeng mesianisme. Akibatnya, mereka meyakini diri sendiri sebagai mesias.
Perkembangan seperti itu selayaknya dicermati oleh semua partai politik yang ada, terutama partai-partai baru. Sekitar 20 partai baru akan lolos verifikasi faktual yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaiknya mereka tidak gegabah ketika menjaring figur yang beredar dalam orbit mesianisme. Sekali salah pilih, bukan kemenangan yang diraih, tetapi rasa malu karena mengusung figur yang hanya berhalusinasi.

Sementara itu, partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen dan secara otomatis menjadi peserta pemilu juga tidak bisa bersandar begitu saja pada figur ketua umum mereka. Keberanian untuk memunculkan tokoh alternatif, yang berani mati demi menegakkan keindonesiaan kita, merupakan tuntutan sejarah.

Tanpa keberanian seperti itu, bayangan kekalahan dalam pemilu ada di depan mata. Hal itu disebabkan dalam karakter melodramatik kita, sifat mudah bosan sedang menguat saat ini. Masyarakat sedang bosan dengan wajah-wajah lama dan menginginkan wajah alternatif seperti ditunjukkan oleh hasil- hasil pemilihan kepala daerah.

Apabila suatu partai politik, termasuk partai besar sekalipun, salah mengambil inisiatif sehingga kalah dalam pemilu nanti, akan diperlukan waktu lama untuk bisa bangkit kembali. Hal itu disebabkan demokrasi telah lebih terkonsolidasi sehingga secara alamiah orang akan lebih menyukai keteraturan politik ketimbang kejutan-kejutan yang tak terduga. Partai yang sudah tersingkir, apalagi kalau itu partai menengah-kecil, mungkin akan mati dengan sendirinya.

Oleh karena itu, baik partai lama maupun partai baru yang lolos verifikasi sebaiknya tidak hanya buang-buang energi untuk menatap ke dalam diri sendiri (inward looking). Ia juga harus berani menatap ke luar untuk menjajaki segala kemungkinan.

Karena fungsi partai, selain fungsi-fungsi yang sudah dikenal seperti perekrutan kepemimpinan, dan penyambung aspirasi rakyat, sebenarnya juga sebagai gerbong sejarah. Jika partai diam karena terbelenggu karakter paternalistik dan oligarki para elitenya, sejarah juga tidak akan bergerak. Sebaliknya, jika partai dinamis, sejarah juga akan bergerak cepat.

Suhu politik

Sebagai gerbong sejarah, partai politik akan segera dihadapkan pada eskalasi suhu politik. Titik eskalasi dimulai minggu ini saat partai-partai baru yang lolos verifikasi faktual diumumkan. Partai-partai politik yang gagal tentu akan kecewa. Jika situasi ini dimanfaatkan para petualang politik, masa awal kampanye yang akan dimulai tanggal 12 Juli ini akan diwarnai oleh letupan-letupan konflik horizontal meskipun masih berskala kecil.

Jika perkembangan seperti itu tidak diantisipasi, akhir Agustus dan awal September secara prediktif eskalasi politik bisa tak terduga. Kegagalan panen (meskipun pemerintah menjamin stok pangan cukup), akumulasi kesulitan hidup, dan kuatnya tekanan perasaan belum merdeka dari kemiskinan akan menjadi pemicu utama ledakan konflik.

Jika hal itu terjadi, partai akan semakin dihindari publik dan gerbong sejarah bisa jadi akan berhenti. Anda mau? Saya tidak! [kompas] [pkspiyungan.blogpsot.com]

Baca juga :