11 JURUS MAUT KORUPTOR

[pkspiyunganonline] - Ada banyak cara dan upaya para pejabat atau penyelenggara negara pada berbagai lembaga, badan, maupun instansi untuk melakukan penyimpangan sampai menyelewengkan uang negara. Setidaknya, ada sebelas modus yang sudah tercium sebagai praktik korupsi tersebut.

Kesebelas modus itu mulai dari pemberian bantuan partisipasi, perjalanan, hubungan baik, sampai penempatan pegawai.

Ichsanuddin Noorsy, anggota Tim Indonesia Bangkit, menyampaikan analisisnya itu dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang diadakan Koordinatoriat Wartawan DPR, Jumat (4/7).

Hadir juga sebagai pembicara, Wakil Ketua KPK M Yasin, Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq, Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari. ”Penempatan PNS atau BUMN itu juga untuk mendapatkan proyek nantinya,” papar Ichsanuddin.

Dalam kesempatan itu, Ichsanuddin menyerahkan secara resmi dokumen dugaan korupsi yang melibatkan tiga instansi kepada M Yasin.

Korupsi, menurut dia, tidak saja terjadi di DPR, juga di departemen yang dimulai dari penentuan spesifikasi teknis. ”Cuma di eksekutif itu lebih cerdas,” paparnya.

Praktik korupsi di DPR terjadi dalam pembicaraan program maupun dalam rekomendasi rapat. Penyelewengan mudah terjadi di DPR karena lemahnya kontrol publik dan partai politik terhadap anggota DPR.

Eva Kusuma dan Mahfudz Siddiq menekankankan pentingnya transparansi dalam pembahasan anggaran antara pemerintah dan DPR. Keduanya mengaku sudah sejak lama mendorong agar rapat-rapat pembahasan anggaran itu dilakukan terbuka, tetapi selalu ditolak mayoritas anggota dan pemerintah.

Keduanya juga tidak sependapat dengan pandangan yang menyebutkan bahwa DPR tidak perlu lagi mengawasi anggaran sampai pada satuan tiga, rincian program. Hal itu malah akan melemahkan pengawasan legislatif pada eksekutif.

Menurut Mahfudz yang terpenting dalam pembahasan anggaran adalah tidak meninggalkan prinsip dasar, yaitu transparansi. Ketika kewenangan DPR dalam bidang penyusunan anggaran sangat kuat dan tidak ada kontrol maka mudah terjadi negosiasi kemudian ada pemberian konsesi.

Ongkos politik mahal

Faktor yang juga mendorong anggota Dewan korupsi, kata Mahfudz, adalah ongkos politik yang saat ini sangat mahal. Ada anggota DPR yang mengaku menyiapkan uang Rp 2 miliar dalam Pemilu 2004 lalu dan kini sudah menyiapkan Rp 4 miliar untuk menghadapi Pemilu 2009.

Uang yang harus dikeluarkan partai politik untuk menjalankan partai juga sangat besar dan jumlahnya jauh lebih besar dari biaya yang dikumpulkan.

M Yasin menekankan pentingnya penegakan kode etik dan sanksi. Kode Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, mengharuskan semua anggota KPK untuk melapor setiap kali menerima pemberian hadiah. Laporan itu kemudian dicatat dan disimpan baik.

Untuk mencegah konflik kepentingan, anggota KPK juga tidak boleh dijemput saat kunjungan kerja. Semua keperluan, seperti akomodasi ditanggung KPK. ”Ketika diundang sebagai pembicara pun kita tidak boleh menerima honor,” ujarnya.

Tak urusi proyek

Secara terpisah, Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud menyatakan, agar tidak bergiliran masuk ke penjara dan tertangkap KPK, anggota DPR diharapkan tidak lagi berkutat secara teknis mengurusi proyek pemerintah yang dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahunnya disebut pembahasan Satuan 3.

Anggota DPR cukup sebatas membahas sampai mata anggaran keseluruhan setiap departemen. Tidak masuk ke dalam teknis besaran dan spesifikasi proyek di tiap departemen.

Menurut Aksa, sebelum reformasi 1998, pembahasan Satuan 3 proyek pemerintah cukup pada kewenangan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Setelah reformasi, kewenangan itu berubah. "Pekerjaan Bappenas sekarang relatif sepi, sebaliknya DPR menjadi ramai dengan urusan proyek dan anggarannya," ujar Aksa. (kompas-SUT/HAR)

Baca juga :