Di basis NU, paham Sepilis [Sekulerisme-Pluralisme-Liberalisme] terus mendapat perlawanan sengit dari para kiai. Selain mengkonter lewat pemikiran, NU juga berkomitmen mengikis habis paham sesat tersebut.
Sebanyak 40 pengasuh pesantren dari 18 Pondok Pesantren di Kota Blitar berkumpul di Aula PP Tarbiyatul Falah Putri, Jalan Manggar Sukorejo, Blitar, Jawa Timur, Senin (14/4). Tak seperti biasanya, malam itu, para kiai yang kebanyakan sudah berumur tersebut berkumpul justru untuk "mengaji". Tema yang dibahas cukup aktual dan dinilai penting untuk menghadapi fenomena yang berkembang akhir-akhir ini, yakni maraknya aliran dan pemikiran sesat.
Menurut tuan rumah, Pengasuh PP Tarbiyatul Falah KH Abdul Karim Muhaimin, acara itu diselenggarakan sebab ditengarai adanya aliran dan pemikiran yang tidak sepaham dengan NU (Nahdhatul Ulama) dan sudah masuk ke Kota Blitar. ''Di kalangan nahdhiyyin (warga NU, red) Blitar, sudah mulai marak, misalnya, pendapat bahwa al-Quran bersifat diskriminatif, terutama dalam masalah waris, juga melenturnya akidah umat di kalangan NU, bahwa semua agama itu sama benarnya. Pikiran itu muncul dari anak-anak muda, rata-rata santri pesantren yang kemudian melanjutkan ke jenjang kuliah. Dan lebih mengkhawatirkan lagi, mereka ada yang dari kalangan anak-anak kiai pengasuh pesantren," ujarnya.
Dalam sesi penyampaian aliran dan pemikiran sesat, Katib Syuriah PCNU Kota Blitar Drs Abdul Basyid membedah paham Isa Bugis yang menyebutkan bahwa ayat al¬Quran yang tidak bisa ditafsiri dengan akal, harus dibuang dan dimuseumkan. "Sedikit banyak anak-anak JIL (Jaringan Islam Liberal) terilhami, bahwa semua agama adalah sama," ujar Abdul Basyid.
Dalam literatur klasik yang biasa dipelajari di pesantren, Wakil Ketua MUI Kota Blitar itu menegaskan, sebenarnya sudah banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk menangkal paham-paham yang sepertinya baru itu. "Anak-anak JIL itu banyak mengatakan bahwa ayat¬ayat yang mengutuk perbuatan orang Yahudi dan Nasrani, itu tidak berlaku bagi umat Islam. Padahal kaidahnya, kullu ayatin waradat dzamman lil kuffar wal munafiqin, jarrat bidziliha 'ala ushatil mukminin. Setiap ayat yang teksnya mengecam perbuatan orang kafir dan kaum munafik, berlaku juga untuk pelaku maksiat dari kalangan kaum mukminin. Kaidah seperti ini sudah ada di Tafsir Tajul Muslimin yang biasa diajarkan di pesantren," beber Abdul Basyid.
Berbagai respon dari hadirin muncul atas penjelasan Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Dakwah Masjid Agung (LPDMA) Kota Blitar itu. KH Daiman Aziz, Ketua Tanfidzi NU Kota Blitar, mengusulkan agar selanjutnya diadakan pertemuan rutin, dengan cara mensosialisasikan kepada jama'ah dalam setiap acara-acara pengajian, bahwa banyak sekali aliran dan pemikiran sesat seperti liberalisme, pluralisme, dan sekularisme itu. "Poro kiai ketika mengisi pengajian, yasinan, tahlil, dan lain-lain, diharap mensosialisakan masalah-masalah tadi, agar nahdhiyyin ini paham bahwa akidahnya sedang dirongrong pihak lain," pintanya.
Acara yang dimulai pukul 20.00 dan barn berakhir pukul 24.00 itu akhirnya merekomendasikan pembentukan Forum Komunikasi Pondok Pesantren se-Indonesia (FKPI) di Blitar. Programnya adalah mengadakan pengajian rutinan, berpindah-pindah antar pesantren, dan diikuti oleh para kiai. Keputusan kedua adalah program sharing informasi tentang paham-paham yang sekiranya perlu dipecahkan secara bersama.
Penolakan terrhadap paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (sepilis) rupanya kian meluas di kantong-kantong NU. Sebelum gerakan para pengasuh pesantren di Blitar tersebut, Pondok Pesantren (PP) Sidogiri Pasuruan sudah jauh hari telah membuat program-program untuk meng-counter pemikiran liberal ini. Bahkan dalam situs pesantren tua yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman pada tahun 1745 M itu terdapat kolom khusus bertajuk "Islam Kontra Liberal". Di dalamnya berisi artikel-artikel seputar masalah jender, maqashid syari'ah (tujuan-tujuan diturunkannya syariat, red), isu seputar poligami, penjelasan tentang bahaya firqah liberal, "ushul fikih palsu" kaum liberal, kritik atas ide dasar Islam liberal, penjelasan tentang kesalahan tafsir kaum liberal, trik menghadang langkah liberalis, dan sebagainya. Pesantren yang berlokasi di Desa Sidogiri, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur ini juga memiliki program kursus kaderisasi Ahlusunah wal Jamaah (Annajah) dengan menghadirkan para ulama atau cendekiawan Muslim guna memantapkan akidah para santrinya.
Masih dari Pasuruan, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatul Ulum KH Ahmad Subadar juga pernah menyatakan penolakannya terhadap keberadaan orang-orang JIL dalam kepengurusan NU, baik di pusat maupun di daerah. Menurut salah satu kiai sepuh NU itu, pemikiran JIL tidak cocok dengan NU. Bahkan Kiai Mas Subadar menuduh JIL telah melanggar Qanun Asasi Gandasan dasar) NU dan banyak menyimpang dari Ahlussunnah Waljama'ah.
Di Singosari Malang, pemikiran nyeleneh ini rupanya juga telah lama membuat gerah KH Luthfi Bashori, Pengasuh PP Ribath al¬Murtadha al-Islami. Di kalangan pesantren, KH Luthfi Bashori dikenal sebagai ikon perlawanan oorhadap gerakan dan pemikiran liberalisasi. Di tahun 2004, bersama Forum Ulama dan Umat Islam (FUUI) Bandung, ia menjadi penandatangan kedua setelah KH Athian Ali terkait fatwa mati bagi Koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla. Dalam forum fatwa yang menggegerkan itu, alumni Makkah ini menjadi satu-satunya penandatangan dari unsur NU.
Tak hanya menyampaikan lewat ceramah, aktivis berbagai ormas Islam ini gencar meng-counter wacana Islam Liberallewat tulisan dan menyelenggarakan kajian¬kajian. Ia pun menggandeng beberapa aktivis kampus, penulis, akademisi serta para penentang aliran dan pemikiran sesat untuk membentuk forum kajian, diskusi, dan gerakan. Forum yang bermarkas di pesantrennya, di Jalan Tumapel Singosari, Malang itu bernama Assyafi'i Community, dan secara intens mengadakan kajian tiap pekan sekali.
Keanggotaan Assyafi'i Community, bersifat "cair'", alias memiliki profesi dan latar belakang berbeda-beda. "Dengan memberi nama Assyafi'i, komunitas ini lebih luas dari NU. Tapi pengurusnya secara kultur dari NU. Ada yang aktivis kampus, akademisi, ustadz, dan sebagainya, dan yang terpenting, semuanya adalah penulis," jelas Juru Bicara Assyafi'i Community, AR Helmi, (35).
Lebih lanjut Helmi menyebutkan, pengurus Assyafi'i Community secara ruh tidak mengkristal dalam organisasi. "Visi misi kami berjalan di mana¬mana. Metode JIL pun seperti itu, mereka masuk dalam komunitas kampus, tanpa menggunakan nama JIL, namun pemikirannya liberal. Kami masuk dalam berbagai komunitas, Tapi ootap dengan membawa misi Assyafi'i Community yang melawan pemikiran sesat itu. Karena itu, program kami tak sekadar kajian, namun juga gerakan sosial dalam bentuk aksi," jelas mantan aktivis STIE Malang Kucecwara ini. [Al-Mujtama’/Faris Khoirul Anam]