Deliar Noer Wafat: Indonesia Kehilangan Doktor Politik Pertama di Negeri Ini

[Bisnis Indonesia] Jakarta- Tokoh pergerakan Islam yang sekaligus sejarawan Prof. Dr. Deliar Noer menghembuskan nafas terakhir di RSCM Rabu [18/6/08] sekitar pukul 10.30 WIB. Jenazah saat ini di rumah duka di Klender, Jakarta Timur.
Sejumlah tokoh hadir ke rumah duka di Jl. Swadaya Raya No 7-9 Duren Sawit Jakarta Timur. Tokoh yang sempat melayat antara lain: Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, pengamat politik Arbi Sanit, Taufik Abdullah (LIPI), Didin Hafiduddin (Bogor), Taufik Ismail (penyair), Arif Rahman (pendidik), Ibu Latuconsina (Ketua Wanita Islam), Judilherry Justam (Komita Waspada Orde Baru).

“Menurut rencana Bapak akan dimakamkan di kuburan Karet Bivak pada Kamis pukul 09:00, mengingat keluarga Deliar Noer tinggal di sekitar situ,” ujar Isneti, sepupu Deliar Noer.

Bagi Isneti, sosok Deliar Noer merupakan sosok yang sangat dikenal dengan tiga sikap mulia: konsisten, disiplin dan jujur. Baginya sulit menemukan orang yang memiliki tiga sikap mulia tersebut.

Deliar Noer lahir di Medan Kota, Sumatera Utara pada 9 Februari 1926. Ia meninggalkan seorang istri bernama Zahara D. Noer yang saat ini juga tengah menderita stroke, serta seorang anak Dian M. Noer (bekerja di Hong Kong Shanghai Bank Ltd.).

Sepak terjang

Statement mantan Rektor IKIP Jakarta yang paling penting adalah mengenai pentingnya penegakan syariat Islam: “Syariat Islam perlu ditegakkan di negeri ini secara resmi, melalui peraturan perundang-undangan. Penegakan syari’at tersebut tidak bisa mengabaikan simbolisme. Substansi memang penting, namun simbol juga perlu. Simbol bisa menggembirakan, menumbuhkan kebangaan dan memudahkan pemahaman pada masyarakat awam.”(Republika, 4 September 2000).

Bersama-sama dengan Prof Miriam Budiardjo, ia juga orang pertama yang meletakkan dasar-dasar pengembangan ilmu politik di Indonesia. Tempat Deliar dalam ilmu politik di Indonesia bisa disejajarkan dengan Sartono Kartodirdjo untuk ilmu sejarah dan Koentjaraningrat untuk antropologi. Sayangnya, berbeda dengan Sartono dan Koentjaraningrat yang terus berkesempatan bergaul di dunia universitas dan mendidik para mahasiswa secara intens, Deliar diasingkan dari dunia itu sebagai akibat sikap vokal dan konsistensinya dalam politik.

Namun justru di situlah letak kelangkaan pendiri Partai Umat Islam itu. Ketika kesempatannya mengajar di universitas terbatasi, ia tetap leluasa meneruskan ”pengajaran” dengan memaksimalkan perannya melalui publikasi karya tulis.

Gerakan Modern Islam di Indonesia, dan Mohammad Hatta: Biografi Politik, barangkali dapat disebut sebagai dua karya Deliar yang paling monumental. Gerakan Modern Islam, diangkat dari disertasi Deliar di Universitas Cornell, telah menjadi kutipan klasik bagi studi-studi politik Indonesia. Sementara biografi politik Hatta adalah studi paling komprehensif tentang Hatta — wajar jika pada 1992 buku ini terpilih sebagai buku terbaik Yayasan Buku Utama.

Selain itu, sejumlah buku Deliar juga cukup dikenal, seperti Adiministrasi Islam di Indonesia; Partai Islam di Pentas Nasional; Ideologi, Politik, dan Pembangunan; Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal; dan Bunga Rampai dari Negeri Kanguru. Ada juga buku teks untuk universitas semacam Pengantar ke Pemikiran Politik dan Pemikiran Politik di Negeri Barat.

Produktivitas dan keseriusan dosen terbang di Universitas Griffith Australia itu dalam dunia publikasi ilmiah, sebetulnya justru menegaskan fakta memprihatinkan ilmuwan politik di sini. Ketika Deliar mencuat — nyaris sendirian — sebagai ilmuwan politik yang aktif memproduksi karya-karya serius dan monumental, kebanyakan akademisi ilmu politik mandeg dalam publikasi ilmiah. Padahal mereka yang disebut terakhir ini berinteraksi setiap waktu dengan kelas-kelas perkuliahan yang sebetulnya menuntut mereka mengembangkan terus disiplin ilmu politik. Bagaimana mungkin itu semua dilakukan tanpa menulis karya-karya ilmiah yang serius? Keseriusan meneliti dan menulis serta konsistensi dan independensi sikap-sikap politik Deliar mebuatnya menjadi ilmuwan politik langka. Almarhum Dr. Alfian pun pernah tanpa malu-malu menunjukkan kekagumannya pada Deliar.

”Adalah sulit mencari ilmuwan politik seperti Deliar Noer yang bukan saja memiliki integritas yang tinggi sebagai seorang intelektual dan pakar, tetapi juga tidak pernah berhenti meneliti dan menulis karya ilmiahnya dalam situasi dan kondisi apa pun yang dihadapinya. Di samping itu dia masih sempat menulis untuk surat kabar dan majalah,” tulis Alfian (1991).

Anggota Tim Ahli Staf Pribadi (Ketua Presidium Kabinet) Presiden RI Kepresidenan (1966-1968) ini pernah mengerjakan Research Fellow Australian National University, Canberra Australia (1975). Selama masa Orde Baru, praktis Deliar Noer menempatkan diri sebagai oposisi paling vocal, ketika saluran politiknya di dalam negeri di bungkam, dia sering memberi ceramah di Australia maupun Singapura.

Kini, Indonesia benar-benar kehilangan tokoh nasionalis agamis, panutan para pengamat dan praktisi politik, dan guru bangsa. Selamat jalan Pak Deliar Noer, jasamu tak mungkin ku lupa…!

Baca juga :