Darah Muhammadiyah Anis Matta [2]

[pkspiyunganonline] Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Makasar mempunyai implikasi pada hidup saya sendiri. Dari situ Muhammdiyah memutuskan untuk membuat pusat¬-pusat pengkaderan di beberapa wilayah, di Garut, Yogya, dan Makasar, semuanya bernama pesantren Darul Arqam dan saya adalah alumni darinya. Saya masuk di pesantren itu tahun 1980 awal, masih hutan,tidak ada akses jalan umum ke jalan raya. Untuk ke jalan yang dilewati mobil harus berjalan kaki beberapa kilometer.

Saya masuk tahun 1980 pada usia sebelas tahun, dan selesai pada tahun 1987. Dan saya masih ingat bahwa pesantren tersebut adalah pesantren pengkaderan. Di pesantren trersebut orang-orang benar-benar dilatih menderita. Pesantren terdiri dari satu asrama putra dan satu asrama putri. Biasanya kalau pagi-pagi kita cuma diberi makan nasi dan kecap.

Waktu pertama kali masuk, saya merasa kaget, karena baru pertama kali makan nasi dengan kecap. Tapi guru¬-guru saya selalu mengatakan begini: "Nanti suatu waktu kamu akan mengenang bahwa nasi kecap inilah yang membesarkan kamu." Kemudian karena air yang kita minum harus diambil sendiri, para siswa secara bergiliran mengambil air untuk disimpan di dapur, untuk dimasak. Pada musim kemarau daerahnya kering sekali. Kami harus berjalan beberapa kilometer untuk mandi sekaligus mengangkut air ke dapur. Dan biasanya yang ada hanya sumur-sumur kecil yang disampingnya ada kubangan kerbau sehingga air itu bau kerbau. Tapi lagi-Iagi guru-guru saya mengatakan bahwa: "Ini Insya Allah akan menjadi sumber kekuatan. "

Waktu saya masuk, teman seangkatan itu ada lima puluh enam orang. Waktu saya tamat tinggal enam orang. Kemudian saya mulai aktif di IPM (Ikatan Pelajar Muhammdiyah) sejak kelas 2 SMP. Tapi saya beruntung, satu minggu setelah masuk pesantren itu saya mimpi dan mengigau dalam bahasa Arab. Tiga bulan kemudian alhamudiIJah saya sudah bisa bahasa Arab.

Waktu kelas dua kami diwajibkan untuk aktif di IPM, dan itu saat pertama kali saya bersentuhan dengan lingkungan Muhammadiyah secara lebih luas. Setelah itu saya ikut training yang kedua kalinya. Ketika kelas dua SMA say a sudah menjadi instruktur dan menjabat sebagai sekretaris cabang. Tapi kemudian pengalaman-pengalaman itu membuat saya sedikit mengalami goncangan. Karena apa yang kita peroleh dalam latihan itu tidak memenuhi kebutuhan kita di alam nyata. Saya mengalami sebuah masa pencarian dan saya tidak menemukan jawabannya.

Waktu kuliah di Jakarta saya lulus di dua tempat, satu di Universitas Hasanudin jurusan jurnalistik dan satu di LlPIA Fakultas Syariah. Saya memilih fakultas syariah karena di situ ada beasisiwa, itu saja.

Dari situ kira-kira dua tahun lamanya saya mengalami goncangan-goncangan yang luar bisa, pencarian yang luar biasa. Pengalaman batin yang berat luar biasa buat saya. Dan saya tidak menemukan jawaban di organisasi di mana saya berada. Begitu dahsyatnya pengalaman batin, membuat saya sering sekali terbangun di tengah malam, jam satu atau jam dua, dan tiba-tiba merasa sedih sekali tapi tidak tahu apa sebabnya, saya sering menangis.

Saya mulai berkenalan dengan pikiran-pikiran dari berbagai negara Islam, mulai membaca. Dan ketika saya sedang mendalami bahasa Arab saya pernah meninggalkan literatur berbahasa Indonesia selama satu tahun, khusus untuk memperdalam bahasa Arab. Saya baca buku-buku yang paling ‘berat’, sekalipun hanya 20 persen yang masuk tapi saya memaksakan diri. Hari-hari itu sangat berat bagi saya, tapi saya mendapatkan hasilnya.

Saya biasa membaca lima jam sehari diluar mata kuliah yag saya pelajari. Dari hasil bacaan-bacaan itulah saya berhasil merangkum satu hal dan dari situlah awal mula saya berkenalan dengan aktivis-aktivis yang disebut dengan aktivis tarbiyah. [Walaupun sebenarnya istilah-istilah itu perlu diclear-kan. 'Tarbiyah itu artinya pendidikan atau pembinaan, usrah itu keluarga, halaqah itu artinya lingkaran. Jadi pada zaman dahulu itu ulama-ulama di masjid suka dikelilingi oleh orang-orang yang mau belajar, membentuk sebuah lingkaran. Jadilah istilah Halaqah]
Baca juga :