Oleh: Eep Saefullah Fatah
Dalam beragam publikasi, kita juga mudah menemukan perbandingan dua fakta yang membikin miris. Pertama, berkaitan dengan tokoh yang muncul dan memainkan peranan selama periode awal pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa modern. Pada masa itu, kita dipimpin tokoh yang berusia muda.
Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun. Mohammad Hatta menjadi wakil presiden dalam usia 43 tahun. Sejumlah perdana menteri yang pernah memimpin pemerintahan selama eksperimen demokrasi parlementer tahun 1940-an dan 1950-an juga berusia muda saat mulai memimpin. Di antaranya adalah Sutan Sjahrir (36 tahun), Burhanuddin Harahap (38), Abdul Halim (39), Amir Syarifuddin (40), Muhammad Natsir (42), dan Djuanda (46).
Fakta kedua berkenaan dengan tokoh yang bermain di panggung utama politik sekarang ini. Bursa kandidat presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2009, berdasarkan ramalan media massa dan lembaga survei, hanya diramaikan tokoh yang sudah berumur.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginjak usia 60 tahun saat Pemilu 2009 diadakan. Wapres M Jusuf Kalla akan berusia 67 tahun. Kandidat lain juga setali tiga uang, Megawati Soekarnoputri (62 tahun), Abdurrahman Wahid (69), Wiranto (62), Amien Rais (65), Sultan Hamengku Buwono X (63), Akbar Tandjung (64), dan Sutiyoso (65). Hanya Hidayat Nur Wahid yang belum sepuh (48 tahun).
Ternyata, rata-rata usia pemimpin nasional kita pada masa sekarang lebih tua dua dasawarsa dibandingkan pemimpin nasional pada masa awal pembentukan Republik. Perbandingan itu sekaligus menggarisbawahi betapa selama ini kita termanjakan oleh gerontokrasi, yakni tatanan kehidupan yang dikendalikan kaum sepuh. Kalangan muda tak menjadi subyek, melainkan obyek dan bahkan korban.
Dalam konteks perlawanan terhadap gerontokrasi itulah kehadiran ”presiden baru dan muda” diharapkan. Kehadiran pemimpin dari kalangan muda juga dibayangkan akan mengakselerasikan perubahan sosial- ekonomi, yang selama 10 tahun terakhir dipandang tersendat.
Paradoks reformasi
Absennya pemimpin nasional dari kaum muda tidak mengonfirmasikan terbatas atau tiadanya kaum muda yang kompeten dan layak memimpin. Kaum muda tidak dikalahkan oleh ketiadaan kualifikasi, melainkan oleh tak cukup terbuka dan luasnya akses ke gelanggang perebutan kepemimpinan nasional. Kaum muda tidak mengalami kekalahan dalam gelanggang, melainkan tak punya akses untuk memasuki gelanggang itu.
Pada titik inilah kita bertemu dengan sebuah paradoks reformasi. Di satu sisi, reformasi berhasil memfasilitasi mekanisme ”eleksi”, yakni pemilihan pemimpin yang melibatkan warga negara atau orang per orang secara langsung.
Akibat kemajuan mekanisme eleksi ini, seorang warga negara punya kemungkinan terlibat dalam sepuluh kegiatan pencoblosan: pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD, presiden putaran pertama dan kedua, gubernur putaran pertama dan kedua, dan bupati/wali kota putaran pertama dan kedua. Mereka yang tinggal di desa dan bukan kelurahan juga memilih kepala desa.
Reformasi membuat kita sangat sibuk dengan pemilu demi pemilu yang seolah tak ada akhirnya. Dalam tiga tahun terakhir ini, sebagai ilustrasi, Indonesia menyelenggarakan lebih dari 360 kali pemilihan kepala daerah (pilkada). Artinya, ada 120 pilkada setiap tahun, atau 10 pilkada setiap bulan, atau satu pilkada setiap tiga hari!
Namun, di sisi lain, sistem politik kita masih terbelakang dalam mekanisme ”seleksi”, yakni prosedur penyeleksian calon pemimpin melalui partai politik atau di luar partai. Setelah sekitar satu dasawarsa menjalani demokratisasi, ternyata kita masih tergagap-gagap, kikuk, dan cenderung gagal dalam mempraktikkan regenerasi kepemimpinan, pengaderan, dan penyeleksian kandidat terbaik untuk pos kepemimpinan nasional.
Mekanisme seleksi masih kerap tersumbat oleh berbagai kemungkinan kombinasi praktik personalisme. feodalisme, dan oligarki dalam pengelolaan partai politik. Partai cenderung dikendalikan oleh kepemimpinan personal, hierarki bersumberkan aspek-aspek penghormatan dan kultus yang feodal, dan pemusatan proses dan kenikmatan di tangan segelintir orang di pucuk-pucuk pimpinannya.
Kegagalan mekanisme seleksi dan sukses mekanisme eleksi adalah paradoks yang berbahaya. Mekanisme seleksi yang kisruh membuat kerusakan dan pencemaran di tingkat hulu. Konsekuensinya, hulu yang rusak dan tercemar secara serta-merta mencederai kualitas hilir.
Paradoks itu pulalah yang berpotensi melanggengkan dan memperkuat gerontokrasi dalam demokrasi kita. Kalangan muda yang memiliki kualitas dan kompetensi memadai untuk memperebutkan kepemimpinan nasional terhambat oleh mekanisme seleksi sehingga tak pernah bisa menjangkau gelanggang eleksi.
EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Jakarta
[sumber: Kompas]
[pkspiyungan online]
Dalam berbagai diskusi dan publikasi belakangan ini, kerinduan akan hadirnya tokoh alternatif dari kalangan muda makin kerap mengemuka. Dalam diskusi yang saya ikuti di sejumlah daerah, misalnya, selalu ada orang yang mengeluhkan belum juga munculnya tokoh segar yang menawarkan diri sebagai alternatif menjanjikan dibandingkan tokoh dari generasi pertama politisi reformasi.
Dalam berbagai diskusi dan publikasi belakangan ini, kerinduan akan hadirnya tokoh alternatif dari kalangan muda makin kerap mengemuka. Dalam diskusi yang saya ikuti di sejumlah daerah, misalnya, selalu ada orang yang mengeluhkan belum juga munculnya tokoh segar yang menawarkan diri sebagai alternatif menjanjikan dibandingkan tokoh dari generasi pertama politisi reformasi.
Dalam beragam publikasi, kita juga mudah menemukan perbandingan dua fakta yang membikin miris. Pertama, berkaitan dengan tokoh yang muncul dan memainkan peranan selama periode awal pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa modern. Pada masa itu, kita dipimpin tokoh yang berusia muda.
Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun. Mohammad Hatta menjadi wakil presiden dalam usia 43 tahun. Sejumlah perdana menteri yang pernah memimpin pemerintahan selama eksperimen demokrasi parlementer tahun 1940-an dan 1950-an juga berusia muda saat mulai memimpin. Di antaranya adalah Sutan Sjahrir (36 tahun), Burhanuddin Harahap (38), Abdul Halim (39), Amir Syarifuddin (40), Muhammad Natsir (42), dan Djuanda (46).
Fakta kedua berkenaan dengan tokoh yang bermain di panggung utama politik sekarang ini. Bursa kandidat presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2009, berdasarkan ramalan media massa dan lembaga survei, hanya diramaikan tokoh yang sudah berumur.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginjak usia 60 tahun saat Pemilu 2009 diadakan. Wapres M Jusuf Kalla akan berusia 67 tahun. Kandidat lain juga setali tiga uang, Megawati Soekarnoputri (62 tahun), Abdurrahman Wahid (69), Wiranto (62), Amien Rais (65), Sultan Hamengku Buwono X (63), Akbar Tandjung (64), dan Sutiyoso (65). Hanya Hidayat Nur Wahid yang belum sepuh (48 tahun).
Ternyata, rata-rata usia pemimpin nasional kita pada masa sekarang lebih tua dua dasawarsa dibandingkan pemimpin nasional pada masa awal pembentukan Republik. Perbandingan itu sekaligus menggarisbawahi betapa selama ini kita termanjakan oleh gerontokrasi, yakni tatanan kehidupan yang dikendalikan kaum sepuh. Kalangan muda tak menjadi subyek, melainkan obyek dan bahkan korban.
Dalam konteks perlawanan terhadap gerontokrasi itulah kehadiran ”presiden baru dan muda” diharapkan. Kehadiran pemimpin dari kalangan muda juga dibayangkan akan mengakselerasikan perubahan sosial- ekonomi, yang selama 10 tahun terakhir dipandang tersendat.
Paradoks reformasi
Absennya pemimpin nasional dari kaum muda tidak mengonfirmasikan terbatas atau tiadanya kaum muda yang kompeten dan layak memimpin. Kaum muda tidak dikalahkan oleh ketiadaan kualifikasi, melainkan oleh tak cukup terbuka dan luasnya akses ke gelanggang perebutan kepemimpinan nasional. Kaum muda tidak mengalami kekalahan dalam gelanggang, melainkan tak punya akses untuk memasuki gelanggang itu.
Pada titik inilah kita bertemu dengan sebuah paradoks reformasi. Di satu sisi, reformasi berhasil memfasilitasi mekanisme ”eleksi”, yakni pemilihan pemimpin yang melibatkan warga negara atau orang per orang secara langsung.
Akibat kemajuan mekanisme eleksi ini, seorang warga negara punya kemungkinan terlibat dalam sepuluh kegiatan pencoblosan: pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD, presiden putaran pertama dan kedua, gubernur putaran pertama dan kedua, dan bupati/wali kota putaran pertama dan kedua. Mereka yang tinggal di desa dan bukan kelurahan juga memilih kepala desa.
Reformasi membuat kita sangat sibuk dengan pemilu demi pemilu yang seolah tak ada akhirnya. Dalam tiga tahun terakhir ini, sebagai ilustrasi, Indonesia menyelenggarakan lebih dari 360 kali pemilihan kepala daerah (pilkada). Artinya, ada 120 pilkada setiap tahun, atau 10 pilkada setiap bulan, atau satu pilkada setiap tiga hari!
Namun, di sisi lain, sistem politik kita masih terbelakang dalam mekanisme ”seleksi”, yakni prosedur penyeleksian calon pemimpin melalui partai politik atau di luar partai. Setelah sekitar satu dasawarsa menjalani demokratisasi, ternyata kita masih tergagap-gagap, kikuk, dan cenderung gagal dalam mempraktikkan regenerasi kepemimpinan, pengaderan, dan penyeleksian kandidat terbaik untuk pos kepemimpinan nasional.
Mekanisme seleksi masih kerap tersumbat oleh berbagai kemungkinan kombinasi praktik personalisme. feodalisme, dan oligarki dalam pengelolaan partai politik. Partai cenderung dikendalikan oleh kepemimpinan personal, hierarki bersumberkan aspek-aspek penghormatan dan kultus yang feodal, dan pemusatan proses dan kenikmatan di tangan segelintir orang di pucuk-pucuk pimpinannya.
Kegagalan mekanisme seleksi dan sukses mekanisme eleksi adalah paradoks yang berbahaya. Mekanisme seleksi yang kisruh membuat kerusakan dan pencemaran di tingkat hulu. Konsekuensinya, hulu yang rusak dan tercemar secara serta-merta mencederai kualitas hilir.
Paradoks itu pulalah yang berpotensi melanggengkan dan memperkuat gerontokrasi dalam demokrasi kita. Kalangan muda yang memiliki kualitas dan kompetensi memadai untuk memperebutkan kepemimpinan nasional terhambat oleh mekanisme seleksi sehingga tak pernah bisa menjangkau gelanggang eleksi.
EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Jakarta
[sumber: Kompas]