MENCERITAKAN NIKMAT; SYUKUR ATAU PAMER?

๐— ๐—˜๐—ก๐—–๐—˜๐—ฅ๐—œ๐—ง๐—”๐—ž๐—”๐—ก ๐—ก๐—œ๐—ž๐— ๐—”๐—ง; ๐—ฆ๐—ฌ๐—จ๐—ž๐—จ๐—ฅ ๐—”๐—ง๐—”๐—จ ๐—ฃ๐—”๐— ๐—˜๐—ฅ ?

Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq 

Allah taโ€™ala telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk senantiasa bersyukur dan mengagungkan nikmat-nikmat yang telah Ia karuniakan. Dan diantara bentuk syukur dan pengagungan nikmat adalah dengan banyak menyebut-nyebutnya. Sebagaimana firman Allah taโ€™ala :

ูˆูŽุฃูŽู…ู‘ูŽุง ุจูู†ูุนู’ู…ูŽุฉู ุฑูŽุจู‘ููƒูŽ ููŽุญูŽุฏู‘ูุซู’

โ€œDan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.โ€ (QS. Adh Dhuha :11)

๐—ฃ๐—ฒ๐—ป๐—ท๐—ฒ๐—น๐—ฎ๐˜€๐—ฎ๐—ป ๐—ฝ๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—บ๐˜‚๐—ณ๐—ฎ๐˜€๐—ถ๐—ฟ๐—ถ๐—ป

Para ulama tafsir ketika menjelaskan makna ayat ini memiliki penjelasan yang berbeda-beda, tapi intinya sama, yakni : menyebut, menceritakan dan menyiarkan nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya.

Al imam Qurthubi rahimahullah berkata :

ุฃูŠ โ€Œุงู†ุดุฑ โ€Œู…ุง โ€Œุฃู†ุนู… โ€Œุงู„ู„ู‡ โ€Œุนู„ูŠูƒ โ€Œุจุงู„ุดูƒุฑ โ€Œูˆุงู„ุซู†ุงุก. ูˆุงู„ุชุญุฏุซ ุจู†ุนู… ุงู„ู„ู‡ุŒ ูˆุงู„ุงุนุชุฑุงู ุจู‡ุง ุดูƒุฑ

โ€œYaitu maksudnya menyebarkan nikmat yang telah diberikan oleh Allah atas dirimu dengan bersyukur dan memuji-mujinya. Dan menunjukkan/menampakkan nikmat adalah termasuk bentuk syukur.โ€[1]

Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

โ€Œูˆูƒู…ุง โ€Œูƒู†ุช โ€Œุนุงุฆู„ุง โ€Œูู‚ูŠุฑุง โ€Œูุฃุบู†ุงูƒ โ€Œุงู„ู„ู‡ุŒ ูุญุฏุซ ุจู†ุนู…ุฉ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠูƒุŒ ูƒู…ุง ุฌุงุก ููŠ ุงู„ุฏุนุงุก ุงู„ู…ุฃุซูˆุฑ ุงู„ู†ุจูˆูŠ: "ูˆุงุฌุนู„ู†ุง ุดุงูƒุฑูŠู† ู„ู†ุนู…ุชูƒ ู…ุซู†ูŠู† ุจู‡ุงุŒ ู‚ุงุจู„ูŠู‡ุงุŒ ูˆุฃุชู…ู‡ุง ุนู„ูŠู†ุง

 โ€œDan sebagaimana engkau yang tadinya dari keluarga miskin kemudian Allah berikan kekayaan, maka nikmat Allah atas dirimu itu ceritakanlah. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam doa Nabi yang terkenal : "Jadikan kami orang-orang yang bersyukur pada nikmat-Mu, pemuji nikmat-Mu, penerima nikmat-Mu, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami."[2]

Ibnu Nadzrah rahimahullah berkata :

ูƒุงู† ุงู„ู…ุณู„ู…ูˆู† ูŠุฑูˆู† ุฃู† โ€Œู…ู† โ€Œุดูƒุฑ โ€Œุงู„ู†ุนู…ุฉ โ€Œุฃู† โ€ŒูŠุญุฏู‘ุซ โ€Œุจู‡ุง

โ€œDahulu kaum muslimin memandang bahwa diantara bentuk bersyukur atas sebuah nikmat adalah menceritakan / menyebut-nyebut nikmat tersebut.โ€[3]

Al Imam Alusiy rahimahullah berkata :

โ€Œูุฅู† โ€Œุงู„ุชุญุฏุซ โ€Œุจู‡ุง โ€Œุดูƒุฑ โ€Œู„ู‡ุง ูƒู…ุง ู‚ุงู„ ุนู…ุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุนุฒูŠุฒ ูˆุงู„ุญุณู† ูˆู‚ุชุงุฏุฉ ูˆุงู„ูุถูŠู„ ุจู† ุนูŠุงุถ

โ€œKarena sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat itu adalah bentuk syukur atasnya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, Hasan al Bashri, Qatadah dan Fudhail bin Iyadh.โ€[4]

Al imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata :

โ€Œุฅุฐุง โ€Œุฃุตุจุช โ€ŒุฎูŠุฑุง โ€Œูุญุฏุซ โ€Œุฅุฎูˆุงู†ูƒ

 โ€œJika kamu mendapatkan suatu kebaikan, maka ceritakanlah kepada  saudara-saudaramu.โ€[5]

๐—ง๐—ฎ๐—ต๐—ฎ๐—ฑ๐˜‚๐˜๐˜€ ๐—ฏ๐—ถ ๐—ป๐—ถโ€™๐—บ๐—ฎ๐˜๐—ถ๐—น๐—น๐—ฎ๐—ต

Menceritakan, mengkhabarkan dan menyebut-nyebut nikmat yang didapatkan, yang dikenal dengan istilah tahaduts bi niโ€™matillah adalah bagian dari bentuk syukur kepada Allah. Al Imam Ibnu Asyur rahimahullah berkata :

ูˆุงู„ุชุญุฏูŠุซ: ุงู„ุฅุฎุจุงุฑุŒ ุฃูŠ ุฃุฎุจุฑ ุจู…ุง ุฃู†ุนู… ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠูƒ ุงุนุชุฑุงูุง ุจูุถู„ู‡ุŒ ูˆุฐู„ูƒ ู…ู† ุงู„ุดูƒุฑ

โ€œTahaduts yakni mengkhabarkan, yaitu menceritakan apa-apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu dan mengakui akan karuniaNya, itu adalah bentuk dari rasa syukur.โ€[6]

๐— ๐—ฒ๐—ป๐—ฐ๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐˜๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ป๐—ถ๐—ธ๐—บ๐—ฎ๐˜ ๐—”๐—น๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ฏ๐—ฒ๐—ป๐˜๐˜‚๐—ธ ๐—ถ๐—ฏ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ๐—ต

Dalam sebuah hadits disebutkan :

ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ูƒูŽุชูŽู…ูŽู‡ู ููŽู‚ูŽุฏู’ ูƒูŽููŽุฑูŽู‡ู

โ€œSiapa yang menyembunyikan nikmat, sungguh dia telah mengkufuri nikmat tersebut.โ€ (HR. Abu Daud)

Maka jelas menampakkan nikmat baik dalam urusan dunia maupun akhirat yang telah Allah berikan dengan menyebut dan menceritakannya, hukumnya bukan hanya boleh, tapi sebuah kesunnahan yang bernilai ibadah. 

Jika menceritakan nikmat dunia saja boleh, lalu bagaimana dengan amal shalih yang merupakan nikmat yang paling agung bagi orang beriman ?

Itu mengapa sebagian ulama, mereka akan menceritakan kepada orang lain dari kerabat atau teman dekatnya atas nikmat-nikmat yang mereka dapatkan dalam urusan ibadah atau akhirat.

Disebutkan bahwa Abu Faras bin Abdullah bin Ghalib rahimahullah pernah berkata :

โ€Œู„ู‚ุฏ โ€Œุฑุฒู‚ู†ูŠ โ€Œุงู„ู„ู‡ โ€Œุงู„ุจุงุฑุญุฉ โ€ŒูƒุฐุงุŒ โ€Œู‚ุฑุฃุช โ€ŒูƒุฐุงุŒ โ€Œูˆุตู„ูŠุช ูƒุฐุงุŒ ูˆุฐูƒุฑุช ุงู„ู„ู‡ ูƒุฐุงุŒ ูˆูุนู„ุช ูƒุฐุง

 โ€œAllah tadi malam telah memberikan rezeki kepadaku. Aku telah shalat sekian rakaโ€™at, berdzikir dalam jumlah sekian dan aku telah melakukan ini dan itu.โ€

Maka sebagian sahabatnya ada yang berkata :

ูŠุง ุฃุจุง ูุฑุงุณุŒ ุฅู† ู…ุซู„ูƒ ู„ุง ูŠู‚ูˆู„ ู‡ุฐุง

โ€œWahai Abu Faras, orang yang seperti anda tidak pantas mengatakan demikian.โ€

Maka beliau menjawab :

ูŠู‚ูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰: ูˆุฃู…ุง ุจู†ุนู…ุฉ ุฑุจูƒ ูุญุฏุซ ูˆุชู‚ูˆู„ูˆู† ุฃู†ุชู…: ู„ุง ุชุญุฏุซ ุจู†ุนู…ุฉ ุงู„ู„ู‡

โ€œAllah taโ€™ala telah berkata : โ€˜Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau selalu menceritakannyaโ€™, sedangkan kalian berkata :  โ€˜Jangan kalian menceritakan nikmatnya Allah.โ€[7]

Disebutkan dalam sebuah riwayat, orang-orang berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahuโ€™anhu : โ€œCeritakan tentang siapa dirimu.โ€

Sayidina Ali menjawab : โ€œAllah melarang kita untuk mensucikan diri sendiri.โ€

Mereka kembali berkata, โ€œBukankah Allah juga berfirman,โ€˜Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau menceritakannya ?โ€

Sayidina Ali akhirnya menjawab :

ูุฅู†ูŠ ุฃุญุฏุซ ูƒู†ุช ุฅุฐุง ุณุฆู„ุช ุฃุนุทูŠุช. ูˆุฅุฐุง ุณูƒุช ุงุจุชุฏูŠุช

โ€œAku adalah orang yang jika engkau meminta kepadaku aku akan memberimu, dan jika engkau diam (tidak meminta) aku akan memikirkan (apa yang sebaiknya aku berikan).โ€[8]

Al Imam Nawawi rahimahullah  berkata :

โ€Œุฃู†ุง โ€Œุงู„ู†ุจูŠ โ€Œู„ุง โ€Œูƒุฐุจ โ€ŒุฃูŠ โ€Œุฃู†ุง โ€Œุงู„ู†ุจูŠ โ€Œุญู‚ุง โ€Œูู„ุง โ€Œุฃูุฑ โ€Œูˆู„ุง ุฃุฒูˆู„ ูˆููŠ ู‡ุฐุง ุฏู„ูŠู„ ุนู„ู‰ ุฌูˆุงุฒ ู‚ูˆู„ ุงู„ุฅู†ุณุงู† ููŠ ุงู„ุญุฑุจ ุฃู†ุง ูู„ุงู† ูˆุฃู†ุง ุจู† ... ูˆู‚ุฏ ุตุฑุญ ุจุฌูˆุงุฒู‡ ุนู„ู…ุงุก ... ูˆุฅู†ู…ุง ูŠูƒุฑู‡ ู‚ูˆู„ ุฐู„ูƒ ุนู„ู‰ ูˆุฌู‡ ุงู„ุงูุชุฎุงุฑ ูƒูุนู„ ุงู„ุฌุงู‡ู„ูŠุฉ
โ€œNabi ๏ทบ pernah juga berkata โ€˜Aku adalah seorang Nabi yang benar dan aku tidak sedang berbangga maka aku tidak akan lari dan tidak akan mundurโ€™  maka ini menjadi dalil bolehnya seseorang berkata di dalam peperangan โ€˜aku adalah fulanโ€™ atau โ€˜aku adalah anaknya fulanโ€™.

Para ulama klasik terdahulu telah menyatakan bahwa hal yang seperti itu diperbolehkan... Dan menyebut seperti itu dibenci bila tujuannya untuk berbangga-bangga seperti halnya perilaku orang-orang jahiliyah.โ€[9]

๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐˜†๐—ฒ๐—ฏ๐˜‚๐˜-๐—ป๐˜†๐—ฒ๐—ฏ๐˜‚๐˜ ๐—ป๐—ถ๐—ธ๐—บ๐—ฎ๐˜ ๐—”๐—น๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ฑ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐—ฎ๐—ป ๐—ฝ๐—ฎ๐—บ๐—ฒ๐—ฟ

Jelas bahwa menyebut-nyebut nikmat atau menceritakannya adalah hal yang diperintahkan dalam syariat. Namun yang harus diingat, jangan sampai hal itu salah niat, sehingga tujuannya adalah untuk membanggakan diri terhadap orang lain. 

Jika yang kita banggakan adalah nikmat akhirat atau ibadah, maka ini bisa berpotensi membuat amal shalih kita sia-sia karena hilangnya keikhlasan sebab senang dengan pujian orang lain.

Dan jika yang kita banggakan nikmat dunia, akan mengundang hasad atau iri dengki dari pihak lain, bahkan keinginan orang-orang jahat untuk merebut nikmat tersebut, dan ini semua tentu sangat memudharatkan kita.

Lalu bagaimana caranya agar โ€œtahaduts biniโ€™matillahโ€ tidak sampai merusak amal kita dan tidak mengundang hasad dari orang lain ?

๐Ÿญ. ๐—–๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐˜๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ต๐—ฎ๐—ป๐˜†๐—ฎ ๐—ธ๐—ฒ๐—ฝ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ ๐—ผ๐—ฟ๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—ฑ๐—ฒ๐—ธ๐—ฎ๐˜ ๐˜†๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐˜๐—ฒ๐—ฟ๐—ฝ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฐ๐—ฎ๐˜†๐—ฎ

Al imam Ibnu al โ€˜Arabi rahimahullah berkata :

โ€Œุฅุฐุง โ€Œุฃุตุจุช โ€ŒุฎูŠุฑุง โ€Œุฃูˆ โ€Œุนู…ู„ุช โ€ŒุฎูŠุฑุง โ€Œูุญุฏุซ โ€Œุจู‡ โ€Œุงู„ุซู‚ุฉ ู…ู† ุฅุฎูˆุงู†ูƒ

โ€œJika engkau mendapatkan nikmat kebaikan, atau engkau mengerjakan sebuah amal shalih, ceritakanlah itu kepada orang-orang yang terpercaya dari saudara-saudaramu (teman-temanmu).โ€[10]

Al Imam Ibnu Asyur rahimahullah berkata :

ูˆุนู† ุจุนุถ ุงู„ุณู„ู ุฃู† ุงู„ุชุญุฏุซ ุจุงู„ู†ุนู…ุฉ ุชูƒูˆู† ู„ู„ุซู‚ุฉ ู…ู† ุงู„ุฅุฎูˆุงู† ู…ู…ู† ูŠุซู‚ ุจู‡

 โ€œDari sebagian ulama klasik terdahulu bahwa menceritakan nikmat itu hendaknya kepada orang-orang yang dipercayai dari saudara/teman-teman yang kita miliki.โ€[11]

Dengan menceritakan nikmat hanya kepada orang dekat, pertama akan mencegah orang-orang untuk hasad. Karena mereka yang mendapatkan cerita tersebut justru akan senang mendengarnya. Orang tua misalnya sebagai contoh yang paling nyata, pasti akan sangat bahagia ketika mendengar cerita dari anaknya bahwa ia telah mendapatkan sebuah nikmat.

Kedua, dengan menceritakan kepada orang-orang dekat seperti ini, akan meminimalisir niat riya atau pamer. Masa iya mau pamer ke orang-orang yang seharusnya mereka kita perlakukan dengan baik. Hal ini akan sedikit berbeda bila dishare ke khalayak ramai, agak sulit menjaga niat tidak pamer.

Meskipun kita tidak boleh menjudge mereka yang menshare nikmat yang dia dapatkan ke orang banyak berarti pamer. Karena bisa jadi ia memang niatnya untuk โ€œtahaduts biniโ€™matillahโ€. Jangan mengukur orang lain dengan ukuran kita.

Terlebih jika nikmat itu memang tidak bisa untuk disembunyikan, seperti nikmat dapat rumah baru, beli kendaraan baru dll. Lalu ia menyelenggarakan syukuran dengan mengadakan acara makan-makan misalnya. Justru ini yang nampaknya lebih tepat. 

Sudahlah bersyukur, dapat pula pahala sedekah terbaik yakni memberi makan. Dari pada dapat nikmat diem-diem bae, giliran dapat musibah seluruh penjuru negeri tahu semua beritanya....

๐Ÿฎ. ๐—๐—ฎ๐—ด๐—ฎ ๐—ป๐—ถ๐—ฎ๐˜ ๐˜€๐—ฎ๐—ฎ๐˜ ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐—ฐ๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐˜๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ป๐—ถ๐—ธ๐—บ๐—ฎ๐˜

Berkata al Imam Ibnul โ€˜Arabi rahimahullah :

ุฅู† ุงู„ุชุญุฏุซ ุจุงู„ุนู…ู„ ูŠูƒูˆู† ุจุฅุฎู„ุงุต ู…ู† ุงู„ู†ูŠุฉ ุนู†ุฏ ุฃู‡ู„ ุงู„ุซู‚ุฉ ูุฅู†ู‡ ุฑุจู…ุง ุฎุฑุฌ ุฅู„ู‰ ุงู„ุฑูŠุงุก ูˆุฅุณุงุกุฉ ุงู„ุธู† ุจุตุงุญุจู‡

โ€œKetika menceritakan sebuah nikmat berupa amal shalih hendaknya dengan niat ikhlas dan menceritakannya kepada orang-orang yang dipercayai. Karena hal seperti ini secara umum bisa menjaga dari riyaโ€™ dan prasangka buruk terhadap orang yang mendengar cerita nikmat tersebut.โ€[12]

 Peranan niat dalam setiap aktivitas sangatlah penting. Niat inilah yang akan menentukan kadar suatu pekerjaan bernilai pahala atau sebaliknya justru mendapatkan dosa. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang Masyhur "Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

๐Ÿฏ. ๐— ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐—ถ๐—ป๐—ด๐—ฎ๐˜ ๐—ฏ๐—ฎ๐—ต๐˜„๐—ฎ ๐—ฝ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐—ต๐—ฎ๐—ป๐—ฐ๐˜‚๐—ฟ ๐—ป๐—ถ๐—ธ๐—บ๐—ฎ๐˜ ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ฑ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐—ฎ๐—ป ๐—บ๐—ฒ๐—บ๐—ฒ๐—ฟ๐—ธ๐—ฎ๐—ป๐—ป๐˜†๐—ฎ

Sebagaimana kufur nikmat adalah hal yang bisa menghancurkan atau menghilangkan nikmat, kita juga harus mengetahui, bahwa nikmat juga bisa hancur ketika diceritakan dengan niat untuk memerkannya.

Berkata Nuโ€™man bin Basyir radhiyallahuโ€™anhu :  โ€œSetan memiliki banyak perangkap dan jebakkan, dan di antara perangkap dan jebakannya adalah menghancurkan atas  nikmat-nikmat Allah, menyombongkan diri melebihi hamba-hamba Allah, dan membanggakan diri melebihi  pemberian Allah pada selain Dzat Allah.โ€[13]

Dan sebagian ulama mengatakan ada perbedaan mendasar antara orang yang niatnya lurus untuk menceritakan nikmat Allah dengan yang tujuannya untuk pamer. 

Diantaranya : Bila kesan yang didapatkan ketika menceritakannya semakin membuat orang yang mendengarnya mengetahui kemurahan Allah, kasih sayang Allah dan luasnya karuniaNya, juga memotivasi untuk beramal kebaikan agar mendapatkan nikmat yang sama, maka itu diantara tanda bahwa niat orang yang menceritakan nikmat tersebut adalah tahaduts biniโ€™matillah.

Tapi jika cerita yang disampaikan menampakkan kesan kelebihannya dari orang lain, membuat orang lain terkagum-kagum kepadanya, bertujuan menjadikan hati orang banyak tunduk kepadanya, maka ini adalah tanda bahwa niatnya adalah untuk riya atau pamer. [14]

๐—ž๐—ฒ๐˜€๐—ถ๐—บ๐—ฝ๐˜‚๐—น๐—ฎ๐—ป

Menceritakan nikmat kepada orang lain dengan tujuan yang benar adalah disyariatkan. Karena itu bentuk dari rasa syukur kepada Allah sebagai Dzat yang telah menganugerahkan nikmat tersebut kepadanya. 

Dan diantara caranya adalah dengan niat yang baik, bukan untuk pamer dan ditujukan secara umum kepada orang-orang terpercaya di sekelilingnya, yakni mereka yang mencintai atau menghormatinya. Kecuali jika nikmat itu sifatnya diketahui oleh orang banyak, maka mensyukurinya dengan dinampakkan ke banyak orang.

Wallahu aโ€™lam.
_____
[1] Tafsir al Qurthubi (20/102)
[2] Tafsir Ibnu Katsir (8/414)
[3] Tafsir al Kabir (1/155)
[4] Ruhul Maโ€™ani (15/383)
[5] Tafsir Ibnu Abi Hatim (10/3444)
[6] Tahrir wa Tanwir (30/403)
[7] Tafsir al Qurthubi (20/102)
[8] Tahrir wa at Tanwir (30/404)
[9] Syarah Shahih Muslim (12/120)
[10] Ahkamul Qurโ€™an li Ibn Arabi (4/410)
[11] Tahrir wa Tanwir (30/405)
[12] Tahrir wa at Tanwir (30/405)
[13] Ar Ruh fi Kalami Arwah hal. 247
[14] Ar Ruh fi Kalami Arwah hal. 247

Baca juga :