Anda barangkali sudah mendengarnya atau bahkan mengikuti dari dekat apa yang terjadi di Desa Wadas. Ini adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Purworejo, Jawa Tengah. Kalau bukan karena batu andesit, ia tidak akan pernah menjadi pembicaraan nasional.
Mengapa batu andesit? Ya, hanya bongkahan batuan itu yang terkandung jumlah besar di perut bumi Wadas. Ini seperti cerita klasik wilayah dengan "kekayaan" sumber daya alam. Batu andesit lebih menjadi kutukan ketimbang berkah untuk penduduk Desa Wadas.
Batu-batu Andesit tersebut diperlukan untuk membangun Waduk Bener, yang juga terletak di Purworejo. Waduk ini adalah bagian dari proyek strategis nasional yang dicanangkan oleh administrasi pemerintahan Presiden Jokowi.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengeluarkan surat keputusan No. 509/41/2018 yang menetapkan Desa Wadas menjadi bagian lokasi penambangan batuan andesit ini. Penambangan ini akan dilakukan di tanah seluas 145 hektar, dan masih ditambah 8,64 hektar untuk jalan menuju tambang.
Penambangan dilakukan dengan meledakkan batu-batuan tersebut menjadi serpihan-serpihan kecil sehingga mudah diangkut.
Warga Desa Wadas menolak penambangan tersebut. Mereka kuatir bahwa penambangan tersebut akan mematikan 27 sumber mata air yang ada. Lahan pertanian dan hidup mereka sangat tergantung pada sumber-sumber air tersebut.
Proyek Waduk Bener yang menelan beaya 2,06 trilyun ini rencananya akan selesai dan diresmikan tahun depan. Ini tentu akan menjadi catatan keberhasulan dan warisan (legacy) dari Presiden Jokowi.
Menurut sumber pemerintah, bendungan ini akan menjamin aliran air untuk 13.589 hektar sawah yang sudah ada. Selain itu, 1,110 hektar sawah baru bisa dicetak.
Tidak itu saja, bendungan ini akan menjadi sumber air baku untuk masyarakat dengan kapasitas 1,500 lt/detik. Tidak lupa pula bahwa akan ada 6 Mega Watt listrik yang akan dihasilkan oleh Bendungan Bener ini. Dan kabarnya, Bendungan Bener akan mengurangi potensi banjir untuk Purworejo dan Kulonprogo dengan nilai reduksi banjir 8,73 juta m3.
Di atas kertas, semua indah dan optimistik.
Hari ini, aparat keamanan dalam jumlah besar menyerbu Desa Wadas. Mereka "mengamankan" pengukuran untuk proyek penambangan batu tersebut. Mereka menangkapi warga dan para aktivis masyarakat sipil yang membantu warga untuk mempertahankan tanahnya.
Pengerahan aparat keamanan ini mengingatkan saya pada kejadian pada tahun 1989 ketika pemerintah Orde Baru membangun Waduk Kedungombo di Boyolali. Waduk ini menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di tiga kabupaten. 5.268 keluarga harus hengkang dari lokasi pembangunan waduk itu.
Sebagian melawan. Pembangkangan dan protes meledak di kalangan masyarakat dan dibantu oleh para aktivis. Militer dan polisi diterjunkan untuk memadamkan perlawanan itu. Penangkapan dan penyiksaan pun terjadi.
Suharto, presiden Orde Baru ketika itu, menjustifikasi pembangunan bendungan itu dengan pepatah Jawa, "jer basuki mawa beya." Maksudnya, untuk menjadi sejahtera memerlukan beaya.
Rm. YB Mangunwijaya adalah yang ikut serta mendampingi masyarakat melawan penggusuran sewenang-wenang itu. Dia mempertanyakan justifikasi Suharto tersebut. Menurut Rm. Mangun, persoalannya adalah siapa yang menanggung harus beaya tersebut? Apakah justifikasi moral dari mendapat manfaat untuk banyak orang tetapi dengan keharusan mengorbankan manusia lainnya, khususnya yang lebih lemah dan miskin?
Rm. Mangun mengatakan bahwa pembangunan tidak bisa dijustifikasi dengan 'tumbal' warga negara sendiri. Tumbal ini menjadi sebuah 'counter-argument' yang sangat kuat untuk melawan dominasi diskurs pembangunan ketika itu.
Setelah sekian lama berlalu, jelas terlihat bahwa Waduk Kedungombo dibangun tergesa-gesa lewat crash-program. Tidak ada perencanaan untuk masyarakat. Tidak ada perkenalan untuk mengubah kebudyaan agriculture ke aquaculture, dari kebudayaan agraris ke kebudayaan air.
Saya melihat sejarah yang berulang. Tidak saja di Wadas dan Bendungan Bener. Tetapi juga di tempat-tempat lain. Proyek Ibu Kota Negara, misalnya, dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa. Imajinasi yang diproyeksikan selalu adalah sesuatu yang agung (grandeur). Pokoknya, pada 2024, Presiden Jokowi harus memimpin upacara kemerdekaan dari ibu kota negara baru.
Hari ini saya membaca sebuah teaser buku dari seorang jurnalis investigative, Jessie Singer, yang berjudul: There Are No Accidents: The Deadly Rise of Injury and Disaster ā Who Profits and Who Pays the Price.
Dalam wawancara, Jessie Singer mengatakan bahwa sebagian besar yang kita sebut kecelakaan itu sesungguhnya bukan kecelakaan. Ia melihat kecelakaan itu sebagai sesuatu yang terjadi secara random dan tidak terduga. Data-data statistik menunjukkan bahwa apa yang disebut kecelakaan itu sesungguhnya tidak random dan bisa diduga.
Dalam kasus Amerika, kecelakaan itu terjadi menurut garis kelas dan rasial. Artinya, kelas sosial dan rasial ini bersambung kepada kemiskinan lalu dengan kecelakaan. Kalau Anda berkulit berwarna, asosiasinya adalah Anda kelas bawah (miskin) dan semakin besar kemungkinan Anda mengalami "kecelakaan."
Argumen Jessie Singer ini juga mengarahkan ketimpangan ini pada analisis terhadap siapa yang diuntungkan pada kecelakaan-kecelakaan. Kebakaran apartemen di Brooklyn, New York, yang terjadi baru-baru ini, misalnya, memakan korban besar karena tidak tersedianya fasilitas-fasilitas keamanan seperti tangga, jendela, dan lain sebagainya.