Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Modus korupsi makin canggih, pelakunya makin 'intelek', anggaran negara makin besar karena pandemi, KPK malah ngurusin laporan polisi tentang sorotan laser "Berani Jujur Pecat".
Negara butuh uang banyak buat bantu rakyat yang digebuk pandemi, aset hasil rampasan kasus korupsinya malah turun terus. Tahun 2018 Rp600 miliar, 2019 Rp468,8 miliar, tahun ini (YTD) saya dengar baru Rp170 miliar. Untuk beli Sinovac saja tidak cukup, padahal anggaran KPK Rp1,1 triliun, tahun depan minta Rp1,4 triliun.
Alasannya jumlah aset hasil rampasan bukan ukuran keberhasilan melainkan juga perlu dilihat faktor pencegahan dan pengawasan. Ya, sudah bubar saja, bergabung sana dengan BPKP.
Berbulan-bulan bicara polemik TWK, padahal masyarakat tidak peduli: mau kucingnya warna hitam atau hijau, yang penting jago tangkap tikus. Ibarat tim sepakbola, kita ribut soal desain kostum dan gambar tempel logo klub, tapi kalahan di lapangan hijau.
Negara perlu pikir ulang apa gunanya lembaga ini sekarang. Berguna untuk pemberantasan tikus koruptor atau cuma jadi batu lompatan orang meraih karier. (Saya adalah wartawan generasi pertama yang meliput di KPK sejak dari kantor Veteran, jadi saya tahu peningkatan karier orang-orangnya)
Kejaksaan bisa usut Jiwasraya yang sampai Rp16 triliun dan terbukti di pengadilan, sekarang usut Asabri yang Rp22 triliun. KPK usut korupsi makelar tanah DP 0% saja lama betul. Padahal ada batas 2 tahun keluar SP3. Segera masukkan pengadilan biar ada kepastian hukum.
Negara berbuat terlalu banyak untuk anak emasnya ini. PP 41/2020 bahkan sampai mengatur "Dalam hal terjadi penurunan penghasilan kepada pegawai KPK selain gaji dan tunjangan juga dapat diberikan tunjangan khusus yang ditetapkan dalam Perpres" (Pasal 9 ayat (2)). Ini konsekuensi pengalihan status ASN dan KPK jadi rumpun kekuasaan eksekutif.
Kalau kita penghasilan turun boro-boro negara pikir dan buatkan PP.
Kuningan (KPK -red) 'berjasa' terlalu banyak buat sejumlah orang. Ada ketua tim penyidik pegang satu kasus BUMN, tiba-tiba keluar dan diangkat jadi Direksi di BUMN yang kasusnya dia usut itu.
Ada mantan pimpinan jadi 'mediator' kasus yang menghubungi langsung penyelidik/penyidik.
Deputi KPK jadi 'konsultan' kasus yang diselidiki KPK. Lihat kasus investasi anak usaha Telkom, PINS, di Tiphone yang kasusnya berhenti padahal nilainya Rp1 triliun.
BLBI berhenti.
Harun Masiku tidak ketemu.
Bagaimana mau lawan oligarki aseng!
Bahkan barang bukti emas pun ditimpe, melibatkan Plt. Direktur Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) pula.
Berbekal reputasi sebagai mantan pejabat KPK, melamar kerja di tempat lain dengan gaji dan fasilitas wah. Jadi komisaris BUMN, jadi anggota DPR dari partai berkuasa, jadi konsultan lembaga internasional... Dapat nama, dapat duit. Bahkan aktivis antikorupsinya pun jadi Menteri Koperasi dan UKM tanpa kita dengar apa aksi antikorupsinya yang bersangkutan di pemerintahan.
Pemberantasan korupsi sih jalan di tempat. Kasus big fish mangkrak. Apalagi yang melibatkan oligarki yang sedang berkuasa.
Coba saja Anda lapor ke KPK, Anda yang dikejar suruh membuktikan. Padahal KPK punya wewenang dan bisa melakukan case building.
Ini lembaga apa, tidak karuan begini, jauh dari semangat reformasi yang jadi dasar pembentukan awal.
Saya usul konkret saja. Jika terus loyo, bikin gaduh urusan tidak substantif di masyarakat, memecah-belah soal TWK, tidak sanggup kejar big fish karena berbagai alasan, dan memang passion-nya di pencegahan, disebar saja personel yang ada di empat tempat: BPPT untuk pengawasan proyek hujan buatan, Perum Produksi Film Nasional untuk buat kartun antikorupsi, dan website revolusimental.go.id untuk penyuntingan dan upload konten.
Tempat terakhir adalah Lembaga Pelatihan mitra platform digital Kartu Prakerja.
Mungkin bisa jualan video pelatihan cara membuat brosur antikorupsi atau bikin animasi kisah cicak-buaya.
Anda semua bikin malu orang-orang 'biasa' yang gigih berjuang di awal KPK: (Alm) Vin (wartawan Kompas), Pak Sutrisno (satpam KPK Veteran), (alm) Heri 'Golun' dan para supir pengangkut tahanan, ibu kantin...
Salam Kuningan.
[fb, 26/7/2021]