Seperti Bukan Kyai Ma’ruf Saja Wapresnya
Oleh: Ady Amar (Kolumnis, tinggal di Surabaya)
Saat KH Ma’ruf Amin dilamar jadi Cawapres dari petahana Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2019 lalu, tentu hati berbunga-bunga. Sebagai Cawapres dari petahana, Jokowi sebelumnya berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presidennya.
Bagaimana hati tidak berbunga, jika saja lalu ia terpilih sebagai Wapres, itu suatu kebanggaan tersendiri buat umat. Ketua Umum MUI jadi Wapres woii…
Takdir lalu membawa Kyai Ma’ruf Amin menjadi Wakil Presiden RI dalam kabinet Indonesia Maju Jilid 2, dibawah komandan Presiden Jokowi. Sekali lagi, tidak saja kaum nahdliyyin (panggilan untuk mereka yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama) yang senang, tapi seluruh umat merasa suka cita.
Setidaknya, harapan umat, Kyai Ma’ruf sedikit banyak bisa mewarnai jalannya pemerintahan lima tahun ke depan dengan lebih baik. Tercipta hubungan makin harmonis ulama dengan pemerintah. Tidak ada lagi penyebutan ulama radikal, dan seterusnya.
Terpilihnya Kyai Ma’ruf tentu bukan berarti ia lalu jadi bamper umat Islam. Tentu tidak dimaksudkan demikian. Tapi setidaknya ia bisa jadi jembatan yang baik, menjadi orang tua yang bisa hadir di dua “wilayah” berbeda; bisa sebagai bagian dari representasi wakil umat Islam, dan sekaligus wakil dari pemerintah.
Lebih dari setahun setelah Kyai Ma’ruf dilantik menjadi Wapres, belum tampak sikap kebijakannya berdiri sebagai representasi wakil dari umat Islam. Banyak kasus persekusi terhadap umat Islam terjadi, dan ia tidak tampil bersuara, apalagi melakukan pembelaan konstruktif.
Mulai penembakan terhadap 6 laskar eks FPI, penangkapan Habib Rizieq Shihab, meninggalnya Ustad Mahir ath-Thuwailibi, pelabelan radikalisme pada Prof Din Syamsuddin.
Pada berbagai kasus itu Kyai Ma’ruf sunyi senyap tak bersuara, yang mestinya ia “wajib” bersuara dan bahkan bersikap. Sama sekali tidak terdengar ia bersuara prihatin dan lalu memberi pendapat atas peristiwa yang terjadi.
Tidak menjadi jembatan yang sebenarnya bisa dimainkannya sebagai Wapres. Bagaimana mungkin masalah kemanusiaan, dan perlakuan hukum yang tampak sewenang-wenang, itu ia bisa mendiamkannya.
Belum lagi munculnya para buzzer yang acap menghina agama (Islam), tapi belum pernah disikapi Kyai Ma’ruf dengan penyikapan sewajarnya. Aneh jika lalu malah Kyai Ma’ruf menerima Permadi Arya dengan berfoto ria seolah tidak terjadi apa-apa.
Izin Investasi Miras, Kyai Ma’ruf Bersuaralah
“Minuman keras (khamr) adalah induk segala kejahatan. Barang siapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Apabila ia mati, sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliah.“ (HR. Thabrani).
Teranyar dan yang membuat miris, langkah Presiden Joko Widodo memberi izin investasi untuk industri minuman keras/beralkohol dari skala besar hingga eceran di daerah tertentu.
Terpilih daerah yang bebas untuk investasi itu adalah Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara (Sulut), dan Papua.
Namun belum-belum sudah muncul penolakan keras dari Majelis Rakyat Papua (MRP), yang tidak mau daerahnya dijadikan daerah investasi miras. Langkah bijak untuk menyelamatkan generasi muda Papua dari jerat miras dan minuman beralkohol lainnya.
Lagi-lagi umat ingin mendengar suara dari Kyai Ma’ruf Amin, yang tidak saja sebagai Wakil Presiden, dan juga ulama yang pernah sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Dan saat ini tercatat juga sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Tapi ya lagi-lagi suara Kyai Ma’ruf tidak terdengar, itu pertanda ia tidak bersikap. Seolah ia setuju dan mengamini saja dengan kebijakan yang diputuskan presiden.
Ketentuan dibukanya izin investasi itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021, tentang Bidang Usaha Penananam Modal. Diteken presiden pada 2 Februari 2021. Aturan itu merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja.
Karenanya, tidak salahlah jika kelompok kritis dan masyarakat yang memahami arah dari kebijakan itu, lalu menolak keras RUU Cipta Kerja itu di Undang-Undangkan.
Pemerintah ngotot dengan segala upaya mengoalkannya menjadi Undang-Undang. Perpres Investasi Industri Minuman Keras/beralkohol, barulah satu lini usaha, dan nantinya akan diikuti lini-lini usaha lainnya, yang itu bisa jadi diluar pemikiran dari yang sebelumnya terpikir.
Ustad Tengku Zulkarnain, lalu menyentil Kyai Ma’ruf Amin, lewat Twitternya, agar sebagai Wapres dan Kyai, ia sudi berbicara-bersikap. Tidak cuma diam saja melihat kemungkaran di depan mata, dan itu tentang dilegalkannya miras.
“Pak @kh_marufamin Yth, Presiden telah buka izin Investasi Miras dan Jual Miras sampai Kaki Lima dgn Syarat Tertentu. Sebagai Wapres dan Kyai, Bapak bersuaralah. Karena Pak Yai satu paket dan satu tanggung jawab di akhirat kelak. Khawatir nanti akan di buka Pelacuran dan Perjudian,” tulis Ustad Tengku Zul, Jum’at (26/2).
Sambungnya, “Negara ini Gemah Ripah Lohjinawi apa sumber sudah bangkrut, sampai mesti produksi dan Jual Miras buat cari duit? Pak @kh_marufamin tidak malukah? MUI mana suaranya?”
Apa yang dipertanyakan Ustad Tengku Zul di atas, itu mewakili apa yang juga dirasakan umat tentang sikap Kyai Ma’ruf Amin.
Sepertinya yang jadi Wapres itu seolah bukan Pak Yai Ma’ruf. Karena tidak tampak sumbangsinya, yang mestinya diharap bersikap tapi memilih diam. Kenapa ya?!
(Sumber: Hidayatullah)