Setelah Kerumunan Jokowi, Penahanan HRS Menjadi Tidak Sah
Setidaknya ada dua laporan tentang kerumunan Jokowi di Maumere, NTT, yang tidak diterbitkan tanda terima laporannya oleh Bareskrim Polri. Tidak jelas penolakannya, tetapi jelas tidak ada pertanda akan dilanjutkan.
Yang pertama adalah laporan pengaduan dari Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan (KMAK) yang mereka sampaikan pada 25 Februari 2021. Yang kedua, pengaduan yang dibawa oleh Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI) pada 26 Februari 2021.
Kurnia dari KMKA menyatakan mereka sangat kecewa. Sedangkan Ferrry Dermawan dari GPI mengatakan dari pihak Bareskrim hanya ada pernyataan untuk diajukan pengaduan itu secara resmi kembali.
Intinya, Bareskrim menolak laporan itu. Meskipun mereka tidak menggunakan kata “menolak”. Petugas Bareskrim hanya bisa berbasa-basi saja ketika tidak mau menerbitkan tanda terima laporan kepada kedua pelapor.
Kalau Kepolisian RI tidak memproses laporan masyarakat tentang kerumunan Presiden Jokowi di Maumere, NTT, maka dampaknya akan sangat serius.
Polisi bisa mengatakan apa saja tentang penolakan itu. Tetapi, penolakan ini berdampak besar terhadap kasus-kasus kerumunan yang telah diproses maupun yang kemungkinan akan terjadi besok-lusa.
Kasus kerumunan ‘high profile’ yang bertautan dengan pembunuhan 6 anggota Front dan penahanan HRS, sekarang kehilangan dasar hukum setelah kerumunan Jokowi tidak diproses. Penahanan HRS menjadi tidak sah setelah ada ‘juris prudensi’ yang tercipta di Maumere.
Polisi wajib menghentikan kasus HRS yang berangkat dari kerumunan Petamburan dan Megamendung. Sirna sudah landasan hukum untuk melanjutkan perkara ini. Apa pun ‘pretext’ (alasan) yang dikarang-karang oleh Istana dan Kepolisian tentang kerumunan Jokowi di Maumere tidak dapat diterima.
Pihak Istana mengatakan kerumunan Jokowi itu spontanitas. Tetapi, pihak pelapor mengatakan bahwa kemurunan Maumere sudah ada sebelum Jokowi tiba. Pelapor menganggap ada pembiaran oleh petugas. Fakta lain adalah bahwa Jokowi melakukan bagi-bagi hadiah kepada warga yang menyambut.
Kalau pihak Istana mengatakan Jokowi, ketika muncul dari atap mobil, langsung berteriak agar pekerumun memakai masker, di Petamburan dan Megamendung pun telah dilakukan imbauan serupa. Bahkan sebagian besar pekerumun memakai masker waktu itu.
Jadi, kerumunan Jokowi dan kerumunan HRS tidak berbeda sama sekali. Bedanya adalah Jokowi seorang presiden yang bisa melakukan apa saja, sedangkan HRS hanya orang biasa yang tidak punya kekuasaan.
Dampak serius lainnya dari penolakan Polisi untuk memproses pengaduan kerumunan Jokowi adalah kesulitan untuk menegakkan protokol kesehatan (prokes) di masa mendatang. Instansi-instansi yang berwenang untuk urusan ini akan kehilangan wibawa untuk membubarkan kerumunan. Polisi tidak bisa lagi menggunakan pasal apa pun tentang kerumunan.
Pelanggaran prokes, khususnya kerumunan, menjadi tidak bisa lagi diproses oleh Kepolisian jika itu terjadi di waktu-waktu mendatang ini. Orang akan dengan enteng mengatakan, “Presiden saja boleh buat kerumunan tanpa ada sanksi hukum apa pun”.
Beberapa hari lalu, saya sarankan agar Pak Jokowi berbesar hati mengakui kesalahan di Maumere. Meminta maaf secara terbuka, dan membayar denda 100 juta. Kalau Pak Jokowi berkenan menempuh cara ini –dan masih bisa dilakukan sebelum berlarut-larut— hampir pasti beliau akan dilihat sebagai Presiden yang rendah hati. Presiden yang bertanggung jawab. Presiden yang “leading by example”. Memimpin dengan keteladanan.
Sebaliknya, jika Pak Jokowi arogan, merasa bisa melakukan apa saja, maka sikap seperti ini akan mengukuhkan labelisasi otoriter, sewenang-wenang, tebang pilih, tajam ke bawah, dlsb. The choice is yours, Pak.
27 Februari 2021
(By Asyari Usman)