RUWETNYA RANTAI KOMANDO PANDEMI
Presiden dan jajarannya ribut soal tak efektifnya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Keributan itu sebenarnya tidak perlu ada jika Pemerintah taat pada protokol penanganan pandemi yang sudah diatur dalam UU Karantina Kesehatan dan PP No. 21/2020 tentang PSBB. Sayangnya, alih-alih setia dengan protokol yang sudah ditetapkan, Pemerintah malah berakrobat dengan kebijakan PPKM yang tidak pernah ada panduannya dalam undang-undang itu.
Ada tiga persoalan kenapa kebijakan ini sejak awal tak akan berdampak serius pada pengurangan kasus Covid-19.
Pertama, perlu dicatat, PSBB sendiri, ketika pertama kali dipilih sebagai kebijakan, sudah dikritik sebagai "protokol karantina yang dilonggarkan". Anda bisa bayangkan, apa yang bisa diharapkan dari PPKM yang level regulasinya jauh lebih rendah dari PSBB? Kedisiplinan macam apa yang bisa diraih oleh kebijakan tanggung semacam itu?
Kedua, kebijakan ini tak setia pada rantai komando yang sudah berjalan sejak awal pandemi. Ketika PSBB dipilih sebagai kebijakan oleh Pemerintah pusat, inisiatif PSBB diserahkan kepada kepala daerah dengan otorisasi dari Menteri Kesehatan. Meski tidak ideal, karena penanganan pandemi mestinya dikomando secara nasional, namun kebijakan yang tidak ideal ini setidaknya telah memberi rantai komando yang jelas. Sementara, kebijakan PPKM ini malah menciptakan rantai komando baru lagi, yaitu Kementerian Dalam Negeri. Perlu diketahui, kebijakan PPKM memang dirilis oleh Kemendagri, bukan oleh Kemenkes, atau Satgas.
Bayangkan, betapa ruwetnya rantai penanganan pandemi di negeri kita. Di bawah Presiden ada Komite, di bawah Komite ada Satgas, dan di bawah Satgas ada Tim Pelaksana. Anda bisa bayangkan sendiri, belum sampai ke struktur di daerah saja, rantai komando di pusat sudah ruwet seperti itu. Padahal, hampir semua personalia struktur tadi adalah anggota kabinet. Kerumitan ini belum ditambah oleh mandat khusus penanganan pandemi sebagaimana yang, misalnya, diterima oleh Menteri Luhut. Sebagai catatan, Menteri Luhut dan Mendagri adalah anggota Komite. Bisa Anda bayangkan sendiri apa jadinya jika anggota Komite bikin kebijakan sendiri-sendiri terkait pandemi?
Dan ketiga, sesat logika. Kalau kita runut logika rantai kebijakannya, jika sudah menerapkan PSBB, Pemerintah sebenarnya tidak perlu lagi menerapkan PPKM. Sama seperti halnya jika sudah menerapkan karantina wilayah, maka tidak perlu lagi ada PSBB, karena sudah otomatis tercakup. Jadi, kalau Pemerintah saat ini mengeluh PPKM tidak efektif, maka wacana pengetatan PPKM bagi saya sangatlah lucu. Sebab, PPKM yang diketatkan sebenarnya kurang lebih sama dengan PSBB, dan PSBB yang diketatkan akan sama dengan karantina wilayah.
Sekarang, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Pemerintah: PPKM, PSBB, atau karantina?
Menurut saya, sebelum bermimpi keluar dari pandemi, Pemerintah sebaiknya berusaha untuk keluar dari sesat logika kebijakan dan keluar dari rantai komando yang ruwet tak karuan tadi.
(By Tarli Nugroho)
*fb penulis