Kalau Komnas HAM Oleng Menghadapi KM-50, Selesailah Semua
Penyelidikan atas pembunuhan 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh Komnas HAM mulai menampakkan titik terang. Kemarin (28/12/2020), Komnas menjelaskan tentang proyektil dan selongsong peluru yang mereka temukan di lokasi peristiwa. Komnas mengatakan, barang bukti ini didapat pada hari peristiwa pembunuhan itu terjadi. Ini artinya Komnas cukup sigap mengirimkan tim penyelidik ke lokasi.
Barang bukti berupa proyektil dan selongsong tsb sangat penting. Bisa jadi pelor yang lepas dari selongsong yang ditemukan itulah yang menembus tubuh para korban KM-50. Komnas juga mengatakan mereka sudah memiliki berbagai bukti rekaman wawancara dengan orang-orang dari kedua pihak yang terlibat dalam peristiwa ini.
Pembunuhan 6 anggota Front itu menggemparkan publik Indonesia. Bahkan diberitakan oleh media-media besar di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dlsb.
Banyak kontroversi dan kejanggalan di seputar peristiwa pembunuhan itu. Semua sepakat bahwa pembunuhan ini paling rendah masuk kategori “extrajudicial killing” (pembunuhan sewenang-wenang) atau “unlawful killing” (pembunuhan tanpa dasar hukum). Inilah kategori minimal untuk tindakan yang menyebabkan 6 nyawa manak-anak muda itu melayang.
Publik memperhatikan dengan saksama penjelasan awal Komnas HAM. Sebab, pembunuhan 6 anggota Front tsb memiliki semua karakteristik pelanggaran HAM berat. Ada tanda-tanda kesadisan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan. Bahkan, seperti ditulis wartawan senior FNN, Mochamad Toha, investigasi majalah TEMPO tentang pembunuhan itu menyiratkan pesan bahwa pembunuhan ini sangat pantas diduga berlangsung dengan satu perencanaan.
Penyelidikan atas pembunuhan ini merupakan “the moment of truth” bagi Komnas HAM. Inilah momen untuk mengetahui jatidiri Komnas. Ujian penting bagi Komisi tentang kapasitas, kapabilitas, keberanian dan independensi lembaga penting ini. Publik dengan mudah bisa melihat apakah keempat parameter ini ada pada Komnas. Semua itu akan terbaca ketika para komisioner nantinya harus membuat kesimpulan tentang pembunuhan sewenang-wenang itu.
Akankah Komnas berani memaparkan secara transparan dan apa adanya? Atau, akankah Komisi terbawa juga oleh suasana otoritarianisme yang sedang menyungkup bangsa dan negara ini?
Fyi, publik masih sangat berharap pada Komnas HAM. Dan, sebetulnya, di lembaga ini pulalah tersandar harapan pertama dan terakhir untuk mengurai peristiwa pembunuhan 6 anggota Front itu. Kalau Komnas oleng menghadapi tantangan KM-50, selesailah semua. Ambruklah harapan masyarakat. Sebab, penyelidikan oleh kepolisian tidak akan pernah dipercaya oleh publik.
Fyi juga, publik melihat Komnas HAM persis seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dulu, KPK pra-Perppu. Dalam arti, untuk pengungkapan tindak kekerasan dan pembunuhan sewenang-wenang oleh siapa pun juga, rakyat masih sangat berharap pada Komnas. Sebagaimana rakyat berharap kasus-kasus korupsi besar bisa diungkap tuntas oleh KPK.
Para komisioner Komnas HAM pasti memahami harapan rakyat pada mereka. Semua gerak-gerik Komnas dalam proses penyelidikan ini akan selalu dicermati dan dinilai oleh masyarakat.
Terus terang, di balik harapan publik pada Komnas, cukup kuat pula rasa pesimis. Banyak yang apriori.
Tapi, apakah harapan itu akhirnya akan pupus? Bisa saja. Anda bisa buka lagi catatan tentang tindakan Komnas dalam menyelidiki sekian banyak pelanggaran HAM semasa pilpres 2019, mulai periode kampanye hingga penyelesaian sengketa. Ada sejumlah orang yang terbunuh dan mengalami penyiksaan di tangan aparat. Sampai hari ini tidak jelas rimbanya.
Jadi, penyelidikan kasus pembunuhan 6 anggota Front bisa dijadikan platform (pijakan) oleh Komnas HAM untuk segera melepaskan diri dari kungkungan ketakutan, dependensi, intervensi dan intimidasi. Jika tidak, maka kepercayaan publik akan kandas sampai ke dasar tong.
29 Desember 2020
By Asyari Usman (Penulis wartawan senior)