Grabak-grubuk Menangani Pandemi
PEMERINTAH seperti tak pernah belajar dari pandemi yang telah berlangsung hampir sepuluh bulan. Kebijakan yang diambil serba grabak-grubuk, termasuk dalam hal pelarangan warga negara asing masuk Indonesia.
Pemerintah seperti tak pernah belajar dari pandemi yang telah berlangsung hampir sepuluh bulan sejak Covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia. Seperti yang sudah-sudah, kebijakan yang diambil serba grabak-grubuk. Akibatnya, penerapannya di lapangan centang-perenang.
Ratusan warga negara asing yang menumpuk di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, pada Senin malam lalu, merupakan bukti teranyar. Unggahan foto dan video di akun media sosial milik sejumlah penumpang menunjukkan orang asing berdesak-desakan menunggu antrean menuju lokasi karantina. Terhitung sejak 1 Januari hingga 14 Januari 2021, warga negara asing dilarang masuk ke wilayah Indonesia guna mencegah penularan virus corona varian baru. Yang telanjur tiba sebelum itu wajib mengikuti tes ulang RT-PCR dan menjalani karantina selama lima hari.
Kekacauan seperti di Bandara Soekarno-Hatta semestinya tak terjadi jika pemerintah lebih banyak mendengarkan saran para ahli. Jauh-jauh hari, ahli memperingatkan bahaya mutasi virus berpotensi menjadi ancaman baru di masa pandemi. Urusan buka-tutup pintu kedatangan internasional semestinya menjadi hal sepele jika pemerintah sejak dulu menyiapkan berbagai skenario untuk menghadapi situasi terburuk di masa pagebluk.
Untuk sementara ini, penelitian awal menunjukkan virus corona galur baru yang dinamakan B117 itu tidak lebih mematikan dibanding tipe virus corona sebelumnya. Tapi yang bikin waswas adalah ketangkasannya. Virus ini bisa 70 persen lebih cepat menginfeksi manusia. Munculnya B117 juga menjadi pertanyaan baru bagi efektivitas calon vaksin Covid-19.
Membendung B117 memang perlu, tapi tak perlu digembar-gemborkan bahwa Indonesia menerapkan pencegahan dengan ketat. Semestinya pemerintah lebih berfokus menggencarkan pengujian, pelacakan, dan perawatan untuk mengendalikan pandemi. Jika hal tersebut ditegakkan secara konsekuen sejak awal, wabah mungkin tak seganas sekarang.
Sudah saatnya pemerintah membangun sistem penanganan pandemi yang ajek. Dengan sistem itu, kebijakan yang diambil akan lebih matang sejak perencanaan hingga penerapannya. Tapi bagaimana pula membangun sistem, sedangkan serah-terima jabatan Menteri Kesehatan—yang di seluruh dunia berperan sebagai dirigen menghadapi pandemi—tertunda lantaran pejabat lama sedang melakukan kunjungan kerja dan libur Natal. Inilah gambaran mental pejabat yang hanya memandang jabatan sebagai kekuasaan, bukan amanat publik.
Kegagalan membangun sistem dan buruknya mentalitas pengambil keputusan membuat penanganan pandemi mengkhawatirkan. Sebelum B117 datang, data kasus harian Covid-19 sebulan terakhir menunjukkan pandemi terus memburuk di negeri ini. Jika pemerintah tak berubah, korban dari negara yang gagal melindungi rakyatnya bakal terus bertambah.
(Sumber: Koran TEMPO, 30-12-2020)