Angka Covid Melonjak Siapa yang Salah?
Oleh: Teguh Firmansyah*
Angka kasus Covid-19 melonjak. Di beberapa daerah peningkatan jumlah pasien membuat ketersediaan ruang isolasi di rumah sakit semakin berkurang beberapa hari ini.
Di RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, misalnya, pasien terpaksa dirujuk ke rumah sakit lain karena sudah penuh. Begitu pula yang terjadi di Malang, sebagian rumah sakit rujukan seperti di RSUD Saiful Anwar kewalahan menampung pasien.
Di beberapa daerah seperti di Jakarta, Yogyakarta, hingga Jember, tingkat keterisian juga terus naik akibat peningkatan jumlah kasus Covid-19.
Kenaikan drastis tingkat keterisian ini adalah sinyal keras bagi semua pihak di tanah air bahwa Covid-19 belumlah usai. Jika tidak disikapi dengan tepat maka korban pertama adalah ambruknya sistem kesehatan kita.
Dokter, perawat, dan tenaga penunjang kesehatan akan kewalahan menghadapi jumlah pasien yang tak terbendung. Permintaan suplai obat-obatan juga akan semakin meningkat, dan di daerah-daerah terpencil kondisi itu jauh sangat tidak menguntungkan.
Harus diakui salah satu penyebab melonjaknya kasus Covid-19 di tanah air adalah libur atau cuti bersama. Bulan lalu, cuti bersama ditetapkan pada 28-30 Oktober. Banyak warga yang berliburan ke tempat wisata dan menciptakan kerumunan.
Belum lagi demonstrasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang memicu banyak keramaian di berbagai wilayah Indonesia pada bulan sama. Dan peningkatan kasus baru terasa pada November ini. Pasien Covid-19 sudah lebih dari 6.000 kasus per hari.
Peningkatan lebih tinggi akan sangat mungkin terjadi pada Desember. Ada setidaknya tiga momentum. Pertama yakni pemilihan kepala daerah yang digelar 9 Desember. Kedua, libur semesteran anak sekolah. Ketiga, yakni libur perayaan natal, tahun baru dan cuti bersama pengganti Idul Fitri jika akhirnya ditetapkan.
Bila ini dijalankan semua, maka lonjakan drastis mungkin akan tercatat pada Januari. Kita tak akan tahu, apakah fasilitas dan tenaga kesehatan mampu mengatasi lonjakan itu semua?
Di luar dari itu, baru-baru ini, publik di tanah air disibukkan dengan keributan soal kedatangan Habib Rizieq Shihab (HRS) serta kegiatan kerumunan yang mengikutinya. Tak tanggung-tanggung dua kapolda dicopot, dua gubernur diperiksa, dan TNI diterjunkan untuk memberikan sinyal keras kepada kelompok Front Pembela Islam (FPI). Warga Petamburan pun banyak yang dites apakah terpapar virus ataukah tidak. Di media, muncul istilah klaster Petamburan.
Drama ini masih akan terus berlanjut. Polisi akan memeriksa HRS, dan bukan tak mungkin melakukan uji usap (swab) untuk melihat apakah ia terpapar virus Covid. Selama ini HRS, tak mau mengungkapkan hasil uji usap karena merupakan hak privasi dan dilindungi oleh undang-undang. Baik positif atau tidak, hasilnya tetap akan memicu gejolak politik.
Di Banten, ribuan orang menghadiri acara haul Syekh Abdul Qadir Jaelani di Ponpes Al-Istiqlaliyyah, Kampung Cilongok, Desa Sukamantri, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang. Satgas menemukan adanya pelanggaran protokol kesehatan.
Namun yang justru tak kalah ramai adalah isu politiknya dengan membandingkan kasus HRS di Petamburan. "Apakah Kapolda Dicopot? Apakah Gubernur Banten diperiksa?" begitulah kira pertanyaan dari netizen.
Isunya tidak lagi seputar Covid-19, namun persoalan keadilan. Poinnya serupa ketika sejumlah pihak mempertanyakan, mengapa kerumunan Pilkada tidak ikut ditindak?
Berkaca dari persoalan di atas, maka sudah sejatinya semua pihak sadar bahwa kasus Covid-19 masih menjadi ancaman nyata. Pemerintah tidak bisa lepas tangan begitu saja dengan menyalahkan kerumunan yang tidak menjalankan protokol kesehatan.
Karena pemerintah secara tidak langsung juga mempunyai andil untuk menciptakan kerumunan itu lewat kebijakan-kebijakannya. Cuti atau libur bersama menjadi salah satu contoh kebijakan yang menciptakan kerumunan. Pengesahan UU Omnibus Law yang dilakukan pemerintah juga memicu keramaian demonstran.
Kemudian pelaksanaan pilkada juga menciptakan kerumunan yang bisa memicu penyebaran Covid-19. Dari mulai proses hingga pelaksanaannya. Seperti apa yang terjadi di Bali, Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra mengonfirmasi Pilkada penyumbang terbesar kasus terkonfirmasi positif. Dari KPPS banyak ditemukan kasus Covid-19.
Pemuka agama juga mempunyai andil untuk tidak menciptakan kerumunan. Kegiatan atau aktivitas yang mengumpulkan jamaah dalam jumlah besar dari berbagai daerah hendaknya ditiadakan. Meski disebut menjalankan protokol kesehatan, tapi pada faktanya di lapangan akan sangat susah jika bertemu massa besar.
Sekarang saatnya bagi kita semua untuk berintrospeksi, bahwa masalah Covid-19 adalah tanggung jawab bersama. Kesehatan adalah fokus utama yang harus dikedepankan. Singkirkan semua intrik-intrik politik menjatuhkan lawan.
Pemerintah mesti menunjukkan keberpihakan dengan kebijakan-kebijakannya. Ulama dan tokoh masyakarat menjadi suri taulan, Sementara rakyat, patuh dan menjalankan aturan.[]
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id
(Sumber: ROL)
Kebijakan cuti bersama mendorong mobilitas penduduk yg masif sehingga terjadi peningkatan kasus yg masif. Situasi penanganan pandemi di Indonesia semakin tak jelas, karena tak ada perencanaan secara nasional yg terukur, objektifnya jelas. Tidak perlu saling menyalahkan. @jokowi pic.twitter.com/6EIcBSXwla
— Juru Wabah (@drpriono1) November 30, 2020