[PORTAL-ISLAM.ID] Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020 telah memakan banyak korban. Sebanyak 70 orang calon kepala daerah dinyatakan positif COVID-19, empat di antaranya meninggal dunia.
Pertama, petahana Kabupaten Berau Muharram yang meninggal pada Selasa 22 September. Kedua, calon Wali Kota Bontang Adi Darma pada Kamis 1 Oktober--enam hari setelah dinyatakan positif COVID-19. Ketiga, Bupati Bangka Tengah petahana Ibnu Soleh pada Minggu 4 Oktober.
Terakhir, calon Wali Kota Dumai asal Partai Demokrat, Eko Suharjo, yang meninggal Rabu 25 November kemarin pukul 03.00 WIB. "[Meninggal] positif COVID-19 dalam masa isolasi," kata koleganya di Partai Demokrat, Imelda Sari, kepada reporter Tirto, Rabu (25/11/2020).
Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada masa pendaftaran September lalu, terdapat 63 orang bakal pasangan calon yang positif COVID-19 setelah melakukan tes swab. Setelah pendaftaran, ditemukan lagi tujuh calon kepala daerah yang positif. Pada September 2 orang, Oktober 1 orang, dan November 4 orang.
Tak cukup hanya kontestan, COVID-19 juga menyerang lebih dari 100 penyelenggara. Ini termasuk Ketua KPU Arief Budiman, Komisioner KPU Evi Novinta Ginting dan Pramono Ubaid Tanthowi, serta anggota KPU daerah hingga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI.
Ribuan Pelanggaran
Orang-orang yang disebutkan di atas memang belum tentu terpapar COVID-19 ketika mengikuti tahapan pilkada. Namun demikian, toh pelanggaran protokol kesehatan, yang meningkatkan kemungkinan penularan, terus terjadi.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan hingga 24 November, ditemukan 2.126 pelanggaran protokol kesehatan pada masa kampanye dari total 91.640 kegiatan tatap muka. Sebanyak 1.618 pelanggar diberikan surat peringatan dan 197 kegiatan dibubarkan. "Pembubaran dilakukan oleh Bawaslu saja atau bekerja sama dengan Satpol PP maupun kepolisian," klaim Fritz kepada reporter Tirto, Rabu.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD menuturkan ditemukan 1.510 pelanggaran protokol kesehatan dari 73.500 kegiatan atau sebesar 2,2 persen hingga hari ke-59 masa kampanye. "Yang diproses pindana khusus untuk pilkada ada 16, sekarang dalam proses penyidikan dan juga sudah dalam proses peradilan," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Senin (23/11/2020) lalu.
Di antara para pelanggar ini ada nama anak dan menantu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, yang maju di Solo dan Medan.
Saat proses pendaftaran, Gibran Rakabuming dan Teguh Prakosa diantar ribuan pendukung alias membuat kerumunan. Sementara Bobby Nasution-Aulia Rachman telah melakukan pelanggaran sebanyak 14 kali.
Digugat
Pandu Riono, dosen yang mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, menegaskan pelanggaran-pelanggaran ini dapat memperpanjang masalah pandemi. "Dampaknya sebagian mengalami nasib yang kurang baik, ada yang terinfeksi sampai meninggal dunia," kata Pandu kepada reporter Tirto, Rabu.
Ia juga mengatakan pelanggaran-pelanggaran ini adalah bukti bahwa pemerintah ngotot dan "merasa paling benar" karena asumsi mereka dapat melaksanakan pilkada dengan protokol kesehatan tak terealisasi. "Kenyataan penerapan protokol kesehatan tidak terimplementasi dengan baik."
Pandu, seorang epidemiolog, menyarankan apabila pemerintah bersikeras melanjutkan kompetisi, sebaiknya hanya dilaksanakan di beberapa daerah saja. Daerah itu harus tidak memiliki kasus tinggi, KPU-Bawaslu daerah itu dan aparat sudah siap menerapkan dan menindak tegas protokol kesehatan, dan lain sebagainya.
Hal serupa pernah dikatakan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito pada 10 September lalu. "Kalau mau, di beberapa yang bermasalah, KPU tidak siap, petugas KPU kena [COVID-19], kasus COVID-19 tinggi, ditunda sampai situasi kondusif," katanya.
Jika kriterianya sekadar jumlah kasus, maka yang dapat melakukan hanya sepertiga daerah. Wiku mengatakan sebanyak 63,75 persen kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilu masuk zona rawan.
Tak hanya Pandu yang mengkritik. Tak terhitung banyaknya pihak yang meminta pilkada ditunda. Sayangnya, menurut epidemiologi FKM UI Tri Yunis Miko, pemerintah-DPR terlalu keras kepala dengan saran yang telah diberikan organisasi masyarakat, ahli, dan sejumlah pihak lain.
"Kami sudah mengingatkan sejak awal, tapi mereka masih saja ngotot dan bebal untuk tetap meneruskan pilkada. Ya sekarang sudah merasakan toh risikonya," kata Miko kepada reporter Tirto, Rabu.
Selain kritik, beberapa pihak melangkah lebih jauh dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menggagalkan pilkada. Mereka di antaranya adalah wartawan senior dan aktivis HAM Ati Nurbaiti; aktivis HAM dan Direktur Yayasan Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro; Ketua PP Muhammadiyah Muhammad Busyro Muqoddas; Pegiat hak atas kesehatan Irma Hidayana; dan aktivis HAM Elisa Sutanudjaja.
"Meminta pemerintah dan KPU untuk menunda proses pilkada selama pandemi masih belum tertanggulangi dengan baik," kata kuasa hukum para penggugat dari Lokataru, Nurcholis Hidayat, kepada reporter Tirto, Kamis (19/11/2020). [tirto]