Memposisikan "HABIB SINGA" dan "HABIB KIJANG"
Oleh: Abbas Rahbini Mawardi
Habib atau Ulama' yang lahan dakwahnya pada komunitas orang baik-baik, pada orang yang nunut, orang yang mudah diajak untuk berdzikir dan beribadah, hatinya mudah tersentuh oleh kalam-kalam Ulama' atau nasehat.
Maka metode dakwah yang patut ditempuh adalah dengan cara lemah lembut, menyejukkan, karena orentasi dakwah Ulama' yang seperti ini adalah mengajak, bukan mencegah. Ulama' atau habib ini kami sebut sebagai Ulama atau habib kijang.
Habib atau Ulama' yang lahan dakwah nya berhadap-hadapan dengan komunitas para bajingan, para bedebah, para perampok, pemabok, penjudi, pemerkosa, pembunuh, pelacur, maka sikap lemah lembut tidak efektif pada komunitas seperti ini,
melainkan butuh Ulama' atau pendakwah yang pemberani, tegas, keras tahan banting, bermental baja, yang paling penting tak dapat dibeli. Sebab orentasi dakwah dari Ulama' ini adalah mencegah, (nahi mungkar) terlebih menyangkut kepentingan para pelaku maksiat, Ulama' atau habib ini kami sebut sebagai Ulama' atau Habib singa.
Sebuah kaidah mengatakan
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ
Untuk setiap keadaan ada tutur kata yang sesuai.
Jika keadaan nya pada situasi dizalimi, ditekan dan diancam, oleh para bajingan misalnya, maka tutur kata yang sesuai adalah dengan memakai kata-kata bangsat, bajingan. Dll sebagai bentuk perlawanan, dan agar tidak dipandang lemah dan tidak diremehkan
Apakah kalimat-kalimat tersebut dianggap tercela untuk diucapkan? Pada situasi tertentu tidak dianggap tercela dan tidak dianggap sebagai pencaci.
Allah berfirman.
لا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS An-Nisa Ayat 148)
Ayat tersebut memberikan petunjuk kepada kita bahwa, Allah tidak menyukai ucapan buruk yang disiarkan secara terbuka, bahkan Dia membencinya dan mengancam pelakunya.
Akan tetapi orang yang berada pada posisi dizalimi boleh mengucapkan kata-kata yang buruk secara terbuka untuk mengadukan orang yang menzaliminya, atau mengutuknya, atau membalasnya dengan ucapan yang serupa.
Dan Allah Maha Mendengar ucapan kalian lagi Maha Mengetahui niat kalian.
Apabila kita jumpai Ulama' melontarkan kata-kata seperti diatas atau berupa kutukan dan kata-kata buruk lain nya, maka jangan langsung kita menilai dia adalah ulama' pencaci, karena itu bagian persangka'an buruk.
Bersikaplah proporsional Perhatikan situasi dan keadaannya lalu berbaik sangkalah, sebab bisa jadi Ulama' tersebut dalam situasai terdzalimi, atau tengah konfrontasi secara face to face dengan para bajingan dan para bedebah, sehingga ia mengeluarkan kata-kata serupa sebagai bentuk perlawanan agar tidak dianggap remeh dan tidak dianggap lemah.
Sering kali kita mendengar sebuah narasi yang seakan baik dan mendamaikan hati, sebuah ungkapan berupa ajakan yang menyatakan "Berdakwah itu harus lemah lembut dan menjauhkan dari kekerasan",
Sepintas kalimat ini sangat baik karena mengajak orang pada kelembutan sikap dan menjauhkan dari perbuatan yang jauh dari kebaikan.
Namun tunggu dulu, Agar tidak terjadi klaim kebenaran secara sepihak maka hal ini perlu dianalisa lebih bijak.
Tudingan bahwa seseorang atau suatu kelompok termasuk golongan yang keras dalam berdakwah hingga mendapatkan label radikal dan ekstrim hanya sebab pemahaman yang kurang komprehensif dan penggunaan istilah yang kurang bijak.
Bahkan dalam beberapa kesempatan anjuran kalimat tersebut disandingkan atau dimaksudkan untuk menghadap-hadapkan dengan gerakan dakwah yang berfokus pada penolakan atas kemungkaran atau nahi mungkar,
Maka kalimat tersebut terkesan menjadi sangat tendensius untuk menyudutkan sebuah pola gerakan tertentu dan menjadikan kalimat ajakan tersebut kurang tepat penggunaannya.
Jangan sampai kita melabelkan buruk sebab faktor framing media yang sengaja ingin melabelkan hal itu pada suatu kelompok tertentu.
Sebenarnya persoalan "sejuk dan keras" dalam berdakwah bermula dari dua pola pendekatan dalam melakukan dakwah, amar ma'ruf di satu sisi dan nahi mungkar di sisi yang lain.
Dalam dakwah yang berfokus pada amar ma'ruf maka pada hal ini tentu haruslah mengedepankan kelemahlembutan dan menjauhkan dari kekerasan sikap.
Sementara penegakan nahi mungkar (hisbah) membutuhkan ketegasan dalam bersikap. Tidaklah mungkin hal yang bersikap menolak dilakukan dengan cara lembut.
Kedua diksi ini haruslah diletakkan dalam konteksnya yang berbeda pula jangan sampai salah melabelkan kedua kalimat yang berbeda pada satu perilaku khususnya dalam dakwah yang memang membutuhkan kehadiran sikap tegas yang dilakukan para ulama atau para dai yang mengambil jalan penolakan atas kemungkaran (nahi mungkar)
Wallahu A'lam wa Ahkam.