[PORTAL-ISLAM.ID] Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja menggelar acara Musyawarah Nasional (Munas) ke-10 di Hotel Sultan, Jakarta, pada 25-27 November 2020. Di mana dalam Munas tersebut, MUI juga turut melakukan pemilihan kepengurusan yang baru.
Dari proses pemilihannya, MUI memutuskan untuk memilih KH Miftachul Akhyar sebagai ketua umum (ketum) baru periode 2020-2025, menggantikan KH Ma’ruf Amin.
1. Lahir di lingkungan pondok pesantren
KH Miftachul Akhyar atau akrab disapa Kiai Miftah lahir di Surabaya, Jawa Timur, 1 Januari 1953. Ia merupakan anak ke-9 dari 13 bersaudara. Sejak kecil, ia tinggal di lingkungan pondok pesantren. Di mana sang ayah yakni KH Abdul Ghoni, adalah seorang pengasuh di Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq, Rangkah, Surabaya.
2. Jadi kader NU sejak muda
Sejak masih muda, Kiai Miftah diketahui sudah mengabdi sebagai kader Nahdlatul Ulama (NU). Terlebih lagi, ia juga sempat menempuh pendidikan di sejumlah pondok pesantren. Seperti di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri di Jawa Timur, hingga Pondok Pesantren Lasem di Jawa Tengah.
3. Jabat Rais Aam NU
Seiring berjalannya waktu, Kiai Miftah menjadi tokoh yang terkenal dalam NU. Puncaknya, ia dipercaya menjadi Rais Aam atau ketua umum NU, pada periode 2018-2020. Sebelumnya, ia juga pernah menduduki posisi lainnya di NU. Salah satunya adalah Wakil Rais Aam PBNU pada tahun 2015.
4. Dirikan pondok pesantren
Di Surabaya, Kiai Miftah mendirikan sebuah pesantren bernama Pondok Miftachus Sunnah. Diketahui, berdirinya pondok tersebut berawal saat Kiai Miftah mengadakan pengajian di sekitar rumahnya. Karena jumlah santri yang berminat untuk belajar semakin meningkat, ia kemudian memutuskan untuk membangun sebuah pondok pesantren.
5. Dukung FPI
Kiai Miftah termasuk ulama yang mendukung keberadaan FPI.
Dalam pandangan Kiai Miftah, di tengah masyarakat yang semakin permisif dan apatis terhadap lingkungan sekarang ini, manfaat keberadaan FPI sangat jelas dalam memberantas kemunkaran. Sekaligus, dia (FPI) telah mengambil alih tugas-tugas NU dalam penanganan nahi munkar.
Sebab selama ini pelaksanaan amar maruf nahi munkar masih terasa jomplang. Belum berimbang. Semua melakukan amr maruf, sementara yang nahi munkar hampir tidak ada, di situlah FPI mengisi kekosongan peran penting tersebut, dan itu menguntungkan umat Islam sekaligus pemerintah.
“Tinggal disinergikan dengan aparat keamanan saja,” tutur Kiai Miftah.
6. Jadi Saksi Sidang Kasus Ahok
Kiai Miftah jadi saksi di sidang ke-11 kasus penistaan agama (21/2/2017). Dia bersaksi dimintai jaksa penuntut umum di persidangan dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dalam kesaksiannya, dia mengatakan ada indikasi penyesatan terhadap umat Islam di pidato Ahok di Kepulauan Seribu tanggal 26 September 2016 lalu.
“Jadi itu ada arti penyesatan terhadap umat. Orang yang sudah percaya, diajak jangan percaya terhadap ayat ini. Semula yang beriman menjadi tidak beriman dan meyakini,” kata dia di Auditorium Kementan, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Ia juga menilai, perkataan Ahok juga menyebabkan pelaksanaan pilkada di Jakarta bergejolak. Ia berkata, selain Ahok, tidak ada calon kepala daerah lain yang menggunakan isu agama untuk menjatuhkan pesaing.
“Andaikan tidak ada kejadian ini, pilkada DKI akan sama saja dengan pilkada lainnya. Tidak ada konflik,” ujarnya.
(Sumber: Akurat)