Anies Baswedan Bukan Temanku
Oleh: Sirikit Syah*
Banyak teman mengira aku pendukung AB (Anies Baswedan), entah dalam konteks apa. Tapi aku memang mengagumi sosok satu ini jauh sejak dia masih “belum apa-apa”. Waktu itu, tahun 2007, saya masih di Brunei Darussalam. Saya membaca berita bahwa di salah satu majalah luar negeri, namanya disebutkan sebagai salah satu dari 100 tokoh muda berpengaruh di dunia.
Ketika dia menjadi Rektor Universitas Paramadina, saya hampir selesai kontrak dengan The Brunei Times. Saya menghubungi orang yang tidak saya kenal itu, dan dia menyambut dengan sangat ramah. Saya ajukan kemungkinan saya melamar sebagai wakil rektor di Paramadina, dia menyambut baik dan memberi petunjuk apa yang harus saya lakukan. Alhasil, pada suatu hari di Jakarta, saya berhadapan dengan AB dan jajarannya, diwawancarai untuk kemungkinan jabatan Warek I (kalau saya tidak salah ingat). Modal saya cuma pengalaman menjadi Warek di Stikosa 2003-2007 (pengalaman wartawan belasan tahun tidak signifikan di sini). Ternyata pada hari yang sama ada beberapa kandidat lainnya yang diwawancarai. Saya tidak berhasil, kandidat lain lebih memenuhi syarat dan standar Paramadina. Itulah pertamakalinya saya bertemu dengan AB.
Tahun 2008, merasa sudah kenal, saya mengundangnya untuk menjadi keynote speaker pada acara yang kami selenggarakan (LKM Media Watch – Klub Guru) untuk memeringati Hari Pendidikan Nasional. Fasilitas tempat dan snack disponsori Fakultas Kedokteran Unair. Biaya mendatangkan AB akan kami tanggung. AB bersedia hadir, di hadapan para guru dan dokter-dosen FK Unair, kira-kira 100 audience, dan berbicara dengan sangat mengesankan tentang pendidikan, toleransi, dan kebangsaan. Waktu mau ke bandara, asisten menyampaikan amplop biaya kehadirannya, dia menolak. Dia kembalikan. Jadi, dia datang memenuhi undangan orang yang baru dikenalnya, mengeluarkan biaya sendiri. Itulah Anies Baswedan, karakternya terbaca sejak sebelum dia jadi tokoh besar.
Tahun 2010 saya bertemu lagi di forum budaya ASEAN di Jakarta, AB sebagai salah satu pembicara, dan topiknya out of the box: perlunya pendidikan bagi para orangtua, sebelum mikir pendidikan generasi muda.
Tahun yang sama, atau 2011, AB diundang ke kampus UNESA Ketintang. Ketika mobilnya putar-putar cari lokasi acara, saya yang sudah kontak-kontak dengannya, mencegatnya dan mengajaknya mampir di warkop kampus yang dipenuhi rekan alumni dan mahasiswa. AB bersedia masuk, duduk, ngobrol bersama kami, ngopi. Sesaat kemudian, dia menuju lokasi dengan audience memenuhi hall berkapasitas 1000-an orang, dan melakoni tugas sebagai main speaker (pembicara utama) dengan topik pendidikan dan masa depan bangsa.
Sampai di sini, saya berstatus hanya kenal dengan AB. Bukan teman. Tahun 2011 kalau tidak salah, AB mendirikan Indonesia Mengajar. Sungguh sebuah gerakan yang sangat diperlukan di Indonesia. Saya tidak tahu darimana fundingnya (pendanaannya), tapi bagi para pengajar (umumnya mahasiswa tingkat akhir atau fresh graduates) diberikan honorarium yang layak. Mereka disebar ke pelosok-pelosok terjauh dan terpencil di seluruh Indonesia untuk mengajar anak-anak yang tak punya akses pendidikan formal, selama beberapa bulan atau satu tahun. Waktu itu saya berpikir: “Donaturnya pasti banyak ya, membiayai ratusan volunteer seperti itu, dan pasti nama AB ini sangat mudah menyerap dana alias punya nilai jual.”
Meskipun bukan teman, AB tiap tahun mengirimi saya kartu lebaran bergambar foto mutakhir keluarganya. Melihat foto anak gadisnya yang berambut ikal tanpa hijab, saya berkesimpulan bahwa mereka keluarga Islam moderat. Dia kemudian makin meningkat karirnya dengan ditunjuk sebagai Mendikbud di era awal Presiden Jokowi. Di era Presiden SBY, dia menduduki posisi tertinggi bersama Dahlan Iskan sebagai capres yang akan diusung oleh Konvensi Capres Partai Demokrat 2013-2014 (namun malah tidak jadi diusung). Sekali pernah dia kirim WA, mengomentari sebuah tulisanku di koran. “Tulisannya bagus, mbak,” tulisnya.
Tahun 2018, dalam sebuah perhelatan PWI Pusat, dimana saya merupakan salah satu pengurusnya, di gedung LKBN Antara di Jakarta, AB yang sudah menjadi Gubernur DKI menjadi pembicara. Ketika turun panggung, tentu dia dikerubuti wartawan dan panitia-pengurus PWI. Tapi begitu melihat saya, dia berhenti berjalan dan menyapa: “Mbak Sirikit, kok ada di sini. Bagaimana? Sehat ya?” Di hadapan begitu banyak orang, disapa tokoh semacam AB, rasanya sesuatu banget. Saya sendiri terkesan bahwa setelah sekian tahun tak bertemu, dia masih hafal wajah dan nama saya. Padahal kami tidak berteman akrab.
Itulah AB yang saya kenal. Baru-baru ini dia Kirim WA: “Assalamu alaikum Mba Sirikit. Mendoakan semoga Allah terus melimpahkan rahmah, barokah, dan perlindungan utk Mba Sirikit. Alhamdulillah masa kritis telah terlewati. Insya Allah makin sehat Mba. Kita bisa berdiskusi lagi, ngobrol lagi, dan sama-sama bekerja untuk kemajuan Indonesia.” Darimana dia tahu saya sakit? Tentu bukan dari saya. Fakta bahwa dia tahu, dan mengirimkan simpati serta doa, lagi-lagi meninggalkan kesan mendalam bagi saya.
Jadi, kalau ada yang menuduh saya pro/pendukung AB –dalam konteks politik- ya, apa boleh buat. Pengalaman nyata saya dan pengamatan selama ini sebagai pengamat media, tak bisa tidak, menyimpulkan bahwa dia orang yang baik. Terlepas dia pintar dalam berbagai hal, tidak terlalu penting. Yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah orang dengan pribadi/karakter yang baik, tak goyah oleh jabatan, kekuasaan, dipuji tidak terbang, dibully tidak tumbang.
28 November 2020
___
*Mbak Sirikit Syah, tokoh media di Surabaya, istri Cak Anam (Choirul Anam, PWNU Jatim, mantan jurnalis senior Tempo)