Film My Flag: Maling Teriak Copet
Oleh: Ustadz Abrar Rifai (Pengasuh Ponpes Babul Khairat, Malang)
Perihal cadar sudah selesai pembahasannya di antara kaum muslimin, terlebih lagi di pesantren yang setiap hari bergumul dengan berbagai literasi.
Saya sudah pernah menulisnya. Tapi secara sederhana saja, bahwa aurat perempuan di luar shalat ada yang menyebutnya sama dengan di dalam shalat, yaitu seluh tubuh kecuali wajah dan tangan (punggung dan telapak tangan). Pendapat lain menyebut, aurat perempuan di luar shalat adalah seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.
Bahkan kalau mau jujur, pendapat kedua (seluruh tubuh tanpa kecuali) yang lebih banyak mendapat kesepakatan di kalangan pengikut Syafi'i. Tapi walau sama-sama Syafi'i, kita di Indonesia banyak yang menganut pendapat pertama. Sedang di Hadramaut Yaman, pendapat kedua yang menjadi pilihan.
Sampai sejauh ini, masing-masing ulama di dua kawasan dengan madzhab yang sama ini selalu bisa saling menghormati. Lebih jelasnya, Indonesia di-representasi oleh kiai-kiai NU, sedang di Hadhramaut digambarkan oleh para Habaib.
Maka, kalau ada yang mencoba membenturkan antara cadar dengan Keindonesiaan, cadar dengan Merah Putih, cadar dengan Pancasila dan seterusnya, sungguh yang bersangkutan itu kurang ngaji!
Kalau ngajinya cukup, tapi tetap membenturkan dua hal di atas, berarti yang bersaangkutan jelas adalah provokator atau pengadu-domba!
Perkara yang sudah selesai dibahas. Suatu hal yang sudah purna disepakati. Tapi, masih terus diulik, tanpa ragu kita menyebut mereka ini adalah sengaja memancing keributan di antara anak Bangsa. Merekalah pengacau NKRI yang sebenarnya. Merekalah pembuat onar yang sesungguhnya. Walau mereka sering kali seperti maling berteriak copet.
Saya sudah melihat film: My Flag. Saya sepakat dengan Gus Alawy Aly Imron, bahwa pembuat film tersebut adalah Liberal Nanggung. Tidak gentle!
Orang-orang yang membuat film My Flag ini mengingkari cadar sebagai ajaran Islam, termasuk juga ajaran yang diterima NU sebagai satu kenyataan di dalam pendapat madzhab Syafi'i. Bahkan menurut Gus Alawy, tak sedikit Nahdliyyat yang bercadar. Semisal KH. Choirul Anam Malang, beliau ini istri-istrinya bercadar, tapi beliau NU deles.
“Wadon maning sing gelut. Wagu tenan!” sergah Gus Alawy dalam statusnya di FB.
Beliau menegaskan bahwa cara-cara seperti yang diperagakan dalam film tersebut tidaklah sesuai dengan ke-NU-an. Sebab sebagai penganut sikap Tawazun, Tawassuth dan Tasamuh, NU tidak suka menyelesaikan perkara khilafiyah dengan cara kekerasan. Terlebih yang dipajang untuk bergelut di film tersebut adalah perempuan.
Berjudul My Flag: Benderaku. Pesan film tersebut sebenarnya bagus, ingin menyampaikan bahwa Merah Putih sebagai identitas keindonesiaan jangan sampai diusik. Kita sepakat dengan itu. Tapi ketika dibuat seolah cadar berhadapan-hadapan dengan Merah Putih, disisnilah saya menyebut film tersebut NORAK, kampungan!
Tidak ada tinjauan ilimiah apapun yang menyebut bahwa cadar itu anti Indonesia, musuh bendera merah putih. Santri-santri putri saya di Pondok Pesantren Babul Khairat, bercadar tapi tak pernah absen mengikuti Upacara Bendera. Mereka junjung Merah Putih. Kami naikkan Merah Putih hingga tiang tertinggi.
Kami adalah anak-anak Bangsa yang begitu mencintai Indonesia. Tanpa perlu berkoar seakan paling mencintai Indonesia. Tapi setiap gerak kami adalah Indonesia. Sikap kami dan keberpihakan kami kepada Indonesia telah menjadi laku keseharian. Sebab lisanul hal afsoh min lisanil maqal.
Maka sekali lagi, mereka yang telah membuat Film My Flag, tak lebih sekedar Liberal kelas coro, pembuat keonaran berdalih menjaga Indonesia. Lebih memuakkan lagi, mereka ini berlindung di bawah kebesaran NU.[]