PERISTIWA BERAT YANG DIALAMI NABI - Belajar Dari Peristiwa Thaif
Pasca Abu Thalib meninggal dunia, Rasul ﷺ menghadapi tekanan yang semakin keras dari orang- orang kafir Quraisy. Beliau mencoba membuka lahan dakwah baru di luar kota Mekkah. Beliau bertolak menuju Thaif dengan secercah harapan akan ada di antara mereka yang beriman kepada Allah swt.
Tatkala Nabi ﷺ di Thaif, dengan segala rintangan dan tantangan untuk sampai sana, mereka menolak mentah-mentah dakwah beliau. Bahkan, segala niat baik beliau ﷺ serta mengajak mereka pada jalan kebaikan, mereka balas dengan kekerasan.
Kurang lebih selama sepuluh hari beliau ﷺ berada di tengah mereka. Beliau temui tokoh- tokoh yang ada di sana. Jawaban mereka sama; tidak mau beriman dan bahkan membalas dengan ejekan, cemoohan dan lemparan batu.
Aisyah ra pernah bertanya kepada beliau ﷺ, adakah saat yang lebih berat bagi beliau ﷺ daripada situasi setelah Perang Uhud? Beliau menjawab bahwa saat- saat yang paling berat adalah saat beliau berdakwah kepada Ibn 'Abd Yalail. Yaitu peristiwa Thaif. Beliau pulang dalam keadaan sedih. Saat itulah Allah mengutus malaikat penangungjawab gunung yang siap menerima komando. Bila beliau perintahkan sang malaikat untuk meruntuhkan dua gunung kepada mereka, malaikat itu akan lakukan. Akan tetapi, beliau ﷺ justru mengatakan, "Saya berharap Allah akan lahirkan dari mereka orang-orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya."
Nabi ﷺ akhirnya kembali lagi ke Mekkah.
Namun setelah keluar dari kota Mekkah, untuk masuk lagi bukan perkara mudah. Itulah yang terjadi dengan beliau ﷺ. Para pemuka Quraisy pasti tidak akan membiarkan beliau masuk kembalk ke kota Mekkah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ mengutus seseorang untuk menemui beberapa pemuka untuk memberikan jaminan keamanan.
Satu persatu menolak dengan berbagai alasan. Hingga utusan beliau ﷺ menemui Muth'im ibn 'Adi. Seketika itu, Muth'im mengatakan, "Ya". Ia panggil anak dan rekan rekannya untuk membawa pedang dan mengawal Rasul ﷺ memasuki kota Mekkah. Beliau ﷺ thawaf dan shalat hingga masuk rumah kembali dengan pengawalan Muth'im bin 'Adi dan anak-anaknya.
Abu Jahal, tatkala menyaksikan Muth'im nin 'Adi mengawal Rasul ﷺ, sempat bertanya penuh tanda tanya, "Engkau ini sebatas sebagai pemberi jaminan ataukah sebagai pengikutnya (masuk Islam)?" Muth'im bin 'Adi menjawab, "Sebagai penjamin keamanan."
Muth'im bin 'Adi, hingga meninggal dunia, tidak pernah beriman kepada Allah swt dan tidak mengikuti ajaran Rasulillah saw. Akan tetapi, juga tidak termasuk yang memusuhi beliau ﷺ.
Peristiwa ini sangat berkesan pada diri Rasul ﷺ. Hingga pada saat usai perang Badar, tatkala beliau ﷺ melihat para tawanan perang, beliau ﷺ berkata, "Seandainya Muth'im bin 'Adi masih hidup, lalu memintaku untuk melepaskan mereka niscaya akan kulakukan."
Keagungan akhlak Rasul ﷺ bagaikan mata air yang tidak pernah kering untuk memberikan inspirasi. Banyak pelajaran berharga dari masa ke masa yang bisa menjadi panduan kita.
Salah satu hal penting yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa Thaif adalah: tidak putus harapan dan selalu optimis. Penolakan mereka tidak menjadi penghalang untuk berharap akan lahir generasi baru yang beriman.
Pelajaran lainnya adalah al wafā'. Al wafa ini kurang lebih maknanya membalas kebaikan orang lain dan tidak melupakannya. Meski Muth'im bin 'Adi tidak masuk Islam, beliau ﷺ tidak melupakan kebaikannya.
Untuk konteks kehidupan kita yang terdekat, jangan sampai perbedaan pilihan politik, organisasi, madzhab dan sejenisnya menghapus kebaikan yang pernah ada. Bekerjasama dalam kebaikan, berkolaborasi untuk kemaslahatan bersama bukan perkara yang tidak mungkin, meski ada perbedaan pilihan dan kecenderungan pribadi.
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
(Oleh: Ustadz Abdul Rochim)