Melawan logika Andi Arief, Berpengalaman dan Non Pengalaman
Pernah lamar pekerjaan ke sebuah perusahaan? Ada syarat yang dicantumkan oleh perusahaan atas lamaran yang mereka umumkan..
"...lebih disukai yang sudah pengalaman minimal 2 tahun".
Waktu kerja dibalik meja, pernah melakukan wawancara sama pelamar kerja. Rata2 mereka mengatakan berpengalaman dengan menyertakan surat pengalaman kerja. Penilaian saya, jika saat melamar dia masih bekerja diperusahaan lama, mungkin jadi nilai plus. Namun jika ia sudah berhenti kerja 6 bulan sampai 2 tahun, pengalaman yang dibanggakan sudah gak jadi nilai plus lagi. Terlebih jika perusahaan lamanya masih eksis dan beroperasi. Statusnya akan sama dengan pelamar yang belum berpengalaman (fresh graduate).
Bagi sebagaian orang, yang berpengalaman pasti akan mudah memahami pekerjaan yang dilamarnya dibandingkan yang belum berpengalaman. Namun bagi saya, yang berpengalaman belum tentu lebih baik dibandingkan yang tidak punya pengalaman.
Satu yang jadi pembeda, adalah semangat personal pelamar kerja itu sendiri. Yang tidak berpengalaman biasanya menunjukkan semangat kerja dan kemauan untuk terus belajar dan mencapai prestasi. Sedangkan yang berpengalaman, lebih banyak membandingkan dengan pekerjaan lamanya dan disini terkadang mulai banyak tuntutan, ketika ada yang tidak sama dari apa yang pernah ia lakukan di perusahaan lama.
Walau selalu ada manfaat yang berperngalaman dibandingkan yang tidak. Namun meninggikan yang berpengalaman dibandingan yang tidak, itu gak boleh juga.
Perusahaan2 yang tidak mementingkan pengalaman kerja, bagi saya adalah perusahaan yang hebat. Karena memberikan kesempatan yang sama pada seluruh pelamarnya.
Itu mukadimah aja..
Fadli Zon dikritik oleh Andi Arief ketika ada media yang memberitakan ucapan FZ bahwa calon walikota Medan (Akhyar), yang merupakan petahana tidak membawa prestasi membanggakan bagi kota Medan selama 2 tahun ia memimpin. Ucapan FZ ini disambut oleh Andi Arief, dengan menyesalkan penilaian FZ pada Akhyar. Akhyar merupakan Calon walikota yang didukung Demokrat bersama PKS.
"Jika Akhyar dianggap tidak berprestasi dengan pengalamannya memimpin kota Medan, maka sangat tidak karuan jika kota Medan dipimpin oleh orang yang tidak berpengalaman (titipan istana)".
Sasaran "titipan istana" oleh Andi Arief adalah calon walikota Bobby yang merupakan menantu Jokowi. Bobby dianggap tidak berpengalaman memimpin, sehingga sangat riskan apabila dirinya yang terpilih menjadi walikota Medan. Kata lainnya begini..
"Yang berpengalaman aja buruk, gimana yang gak berpengalaman".
Saya gak bahas calonnya, hanya ingin fokus pada penilaian Andi Arief tentang Berpengalaman dan Tidak Berpengalaman.
Jika logika itu yang dijadikan pembenaran oleh Andi Arief, maka saat Jokowi sebagai petahana (berpengalaman jadi Presiden) kembali mencalonkan diri pada Pilpres 2019 lalu, harusnya ia dukung 100%. Karena Jokowi lebih berpengalaman menjadi presiden dibandingkan Prabowo. Namun nyatanya Demokrat malah mendukung Prabowo yang tidak berpengalaman.
Demikian juga dengan Pilkada Tangsel. Seharusnya Andi Arief bersama Demokrat mendukung Benyamin Davnie dan Pilar. Karena Benyamin adalah petahana yang sebelumnya menjabat wakil walikota. Kenapa Demokrat mengusung calon yang belum berpengalaman anak Ma'ruf Amin sebagai walikota? Bukankah anak Ma'ruf Amin juga berasal dari lingkar istana?
Logika Andi Arief sesat ketika pengalaman dijadikan tolak ukur keberhasilan.
SBY saat memenangkan pemilu 2004, dia juga belum berpengalaman memimpin daerah atau negara. Menjadi menteri saja kena pecat oleh Megawati. Namun rakyat memilih SBY kala itu. Menandakan masyarakat tidak menjadikan pengalaman sebagai indikator utama. Yang diinginkan masyarakat adalah perubahan dengan memilih nama SBY yang baru dimunculkan.
Seseorang yang berpengalaman memang dianggap lebih tau dari pada yang tidak berpengalaman. Namun ketika yang berpengalaman prestasinya tidak ada perubahan, bahkan cenderung menurun. Maka perlu ada perubahan yang dilakukan.
Pemilu atau pilkada adalah sistim mengganti pemimpin berdasarkan suara rakyat. Dalam pemilu, rakyat hanya dihadirkan pilihan dari mereka yang telah memenuhi syarat pencalonan. Saat mereka melihat daftar calonnya dan ada petahana (yang berpengalamam), mereka pasti melakukan penilaian sendiri.
"Wah, dia lagi. Kemaren aja gak bener kerjanya, masak mau dipilih lagi.."
Muncul pendapat lain..
"Coba aja nama baru, siapa tau ada perubahan. Dari pada milih yang lama, bakalan kayak gitu-gitu aja hasilnya".
Memilih nama baru, ada gambling 50:50. Ada harapan ia akan bekerja lebih baik, walau ada juga kemungkinan ia akan bekerja lebih buruk. Yang menjadi penilaian masyarakat, memilih nama baru ada harapan perubahan. Harapan 50% ini yang menjadi pemicunya. Dibandingkan memilih yang lama, sudah pasti akan sama hasilnya seperti kemarin.
Memilih yang lama, kuat dugaan hasilnya akan begitu-begitu saja. Bahkan bisa lebih buruk dari periode sebelumnya.
Kita sudah ada contoh yang sahih. Jokowi memimpin di periode pertama. Berpengalaman 5 tahun sebagai presiden. Saat ia terpilih diperiode ke-2, apakah kepemimpinannya lebih baik dari yang pertama?
Baru 1 tahun saja menjabat, sudah banyak kehebohan negeri dibuatnya. Bahkan komodo yang tidak tau apa-apa saja sampai tergusur dari habitatnya (taman nasional komodo), yang telah dikuasai selama 50 tahun oleh binatang purba tersebut.
Untuk pilkada esok, jangan jadikan pengalaman dan tidak pengalaman sebagai indikator melabuhkan pilihan. Mengukur calon petahana, ada baiknya menilai apa prestasi yang telah ia toreh. Jika buruk, gak ada salahnya memilih nama baru sebagai ikhtiar menuju perubahan. Jika ia berprestasi dan membawa banyak perubahan, maka pilihlah ia untuk periode berikutnya.
Semoga saja Andi Arief tidak tergigit lidah kala AHY masuk pencalonan pemilu 2024 esok. Karena AHY pun sejatinya belum ada pengalaman apapun.
(By Iwan Balaoe)