Anies Pikirkan Konstruksi Martabat Bangsa
By Asyari Usman (wartawan senior)
Ada satu berita menarik yang tercecer. Tak sempat dibahas saking banyaknya rangkaian perstiwa penting di seputar Omnibus Law UU Cilaka (singkatkan saja menjadi OBL).
Kejadian itu sepele sebenarnya. Tapi, peristiwa ini menunjukkan betapa lebarnya jurang intelektualitas antara Gubernur DKI Anies Baswedan dan ketua Fraksi Golkar di DPRD DKI, Basri Baco. Di manakah jurang visioner (visionary gap) yang menganga itu?
Ini kita bahas. Seperti diberitakan media, banyak fasilitas umum (fasum) yang dirusak oleh entah siapa ketika berlangsung unjuk rasa (unras) rakyat yang menentang OBL.
Nah, Basri Baco berpendapat Anies seharusnya marah-marah. Karena, menurut dia, Gubernur berharak marah. Basri tampaknya geram sekali melihat reaksi Anies yang tidak gebrak-gebrak. Barangkali, dia ingin Anies seperti Ahok. Memaki-maki di depan kamera.
Karena tidak marah, Basri malah menduga para perusuh anarkis yang merusak fasum itu adalah pendukung Anies. Yang menyebabkan Gubernur tidak bisa marah.
Beginilah kualitas anggota DPRD DKI. Ketua fraksi Golkar pula. Orang ini kemungkinan nanti bisa masuk ke DPRRI. Bayangkan kalau orang “narrow minded” (berpikiran sempit) seperti ini duduk di lembaga legislatif nasional.
Ada dua “error” cara berpikir Basri Baco. Error pertama, apakah dia bisa memastikan bahwa para perusuh adalah mahasiswa, buruh, atau elemen-elemen peserta unras lainnya? Error kedua, kalau pun para perusuh itu adalah pendemo, apakah reaksi marah kepada rakyat yang melancarkan protes terhadap sesuatu yang mereka yakini akan menghancurkan kehidupan anak-cucu mereka, merupakan cara terbaik untuk membangun masyarakat yang bermartabat?
Di tengah berbagai bukti yang mengungkap cara kotor para penguasa untuk mengacaukan unras damai menjadi rusuh, apakah isi kepala Pak Basri langsung menelan mentah-mentah pernyataan bahwa pelaku kerusuhan adalah para pengunjuk rasa? Tidakkah beliau mempunyai nalar analitik dalam melihat situasi secara menyeluruh?
Seharusnya Basri menunjukkan kaliber sebagai politisi Golkar. Apalagi ketum beliau, Airlangga Hartarto, bangga Golkar sebagai partai senior di Indonesia. Kok malah berkomentar seperti orang-orang yang terbiasa nongkrong di warung kopi di jalan kelas III-C?
Barangkali, Basri melihat demo OBL sebagai sesuatu yang tak perlu dilakukan. Aksi yang sia-sia. Buang-buang tenaga dan waktu. Bisa juga dimaklumi jika dia berpendapat demikian. Tapi, sebagai wakil rakyat di wilayah ibukota, sungguh komentar Basri masuk kategori di bawah garis kemiskinan intelektualitas. Haram hukumnya seorang politisi ibukota negara berada di golongan minus kecendekiaan.
Memang berbeda jauh. Jomplang sekali. Dia dan Anies berlainan kelas. Basir melihat demo dari sudut pandang teknis-materialistis. Tentang berapa miliar kerusakan fasum. Itu pun kalau benar pendemo yang melakukan pengrusakan.
Sebaliknya, Anies melihat demo secara filosofis-psikologis. Dia menatap puing-puing demo dengan renungan tentang nasib rakyat yang selalu menjadi korban kerakusan. Tentang pemegang kekuasaan yang berubah menjadi monster buas dan sadis. Anies menyimak demo dengan visi seorang negarawan. Yang merisaukan ketidakberdayaan rakyat di depan para cukong yang telah menguasai semua lini Indonesia.
Basri lebih senang memegang kalkulator untuk menghitung kerugian material. Sedangkan Anies lebih banyak memikirkan cara untuk melepaskan rakyat dari cengkeraman oligarki cukong. Dia tak perlu kalkulator, tapi setiap saat Anies membuat kalkulasi tentang kedaualatan rakyat di masa depan.
Basri lebih banyak tersita oleh konstruksi fasilitas umum yang rusak. Tentu ini bukan dosa. Tapi, Anies menumpahkan pikirannya tentang konstruksi martabat manusia Indonesia di tengah kebijakan penguasa yang tidak memihak rakyat.
Semoga saja Basri Baco bisa melihat demo OBL dengan nalar yang lebih tajam.
27 Oktober 2020