KHILAFAH, HOAX DAN CHAOS
Oleh: Radhar Tribaskoro*
Khilafah adalah negara dalam bahasa Arab. Itu saja. Kalau ada orang omong khilafah anggap dia sedang membicarakan negara. Titik. Tidak usah diputar-putar dan dilebih-lebihkan, pahami orang itu sebagaimana kita memahami profesor kita menjelaskan tentang States Theory. Oh, dia sedang menerangkan teori negara atau teori khilafah.
Khilafah dianggap berkonotasi negatif karena ada maksud politik, yaitu untuk menyudutkan dan melabel orang-orang yang tidak disukai pemerintah. Orang yang dilabeli khilafah dianggap ISIS, mau mendirikan negara Islam. Dia nanti akan memenggali kepala orang-orang.
Tidak berhenti sampai disitu, konsep khilafah kemudian dipergunakan sebagai amunisi dari suatu gerakan rasialis terhadap orang-orang keturunan Arab. Gerakan itu memunculkan istilah rasis itu: kadal gurun atau Kadrun.
Kita ketahui, orang Arab tinggal di gurun pasir. Mereka dihina dianggap sebangsa kadal. Istilah Kadrun ini berkembang. Sekarang istilah Kadrun bukan melekat kepada orang keturunan Arab saja, tetapi kepada semua orang yang beroposisi kepada pemerintah.
Begitulah politik para pendukung pemerintah. Politik yang rasialis dan memecah-belah rakyat.
Di belakang politik rasialis itu terdapat manajemen pemerintahan yang bergerak untuk menyingkirkan aspirasi yang mendukung nilai-nilai Islam di dalam politik kemasyarakatan.
Padahal aspirasi tersebut sah (legitimate dan legal) di dalam negara Pancasila. Bukankah dasar negara yang pertama (dan utama) adalah ketuhanan? Mengapa berhikmat kepada Tuhan dianggap sebagai suatu kesalahan?
Namun melalui narasi khilafah dan kadrun, aspirasi itu dicap sebagai anti-Pancasila. Dengan alasan itu pemerintah bergegas membuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Langkah tersebut secara tidak terduga mengungkap motif sesungguhnya penguasa mengobarkan wacana rasialis, yaitu untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi negara. Ini adalah kudeta ideologi, mengingat kesepakatan di awal kemerdekaan telah tertuang dalam Pancasila 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Artinya label khilafah dan kadrun adalah hoax pendukung pemerintah. Label itu politis demi tujuan politis, yaitu membangun hegemoni suatu kelompok politik terhadap kelompok lain, tetapi dilakukan dengan cara menyebar kebohongan, fitnah dan memperalat aparat hukum.
Sampai di sini urgensi menentang penguasa menjadi semakin tinggi. Kita tidak ingin membikin sistem politik demi politik itu sendiri. Maksudnya, politik itu bekerja bukan untuk menang-menangan. Asal menang, apapun caranya diperbolehkan.
Politik kita harus didasarkan kepada moral. Moral apa? Orang yang sinis menyanggah, buat apa moral kalau kalah?
Pertanyaan itu bisa dibalik, buat apa menang kalau curang? Pilpres 2019 yang penuh kecurangan itu tidak memberi manfaat apa-apa kepada negara ini. Pilpres telah selesai, kandidat kalah malah telah berada dalam kabinet, tetapi masyarakat semakin terbelah. Ketidakpercayaan kepada pemerintah semakin besar.
Negara ini hanya menjadi kuat kalau semua rakyatnya bersatu-padu. Kesatuan itu hanya mungkin kalau ada kepercayaan rakyat. Bagaimana kepercayaan bisa lahir bila rakyat terus diadu-domba, rasialisme ditiup tanpa henti, kebohongan dan fitnah meraja-lela?
Akhirnya, negara ini berdiri di atas kekuasaan, bukan kepercayaan. Di negara tanpa kepercayaan, kekuasaan adalah keistimewaan bagi pemenang. Maka kemenangan itu harus dijaga dengan segala cara. Kalau perlu dengan menindas dan merampok hak-hak rakyat. Caranya, dengan menguasai ideologi negara. Kalau tidak bisa, lakukan dengan menciptakan narasi khilafah, radikalisme, anti-Pancasila dll. Masih tidak bisa, lakukan dengan memperalat aparat hukum.
Padahal negara tanpa kepercayaan pada dasarnya adalah sebuah chaos. Keadaan kacau dan tidak menentu membikin pengambil keputusan gamang. Mereka meminta kekebalan hukum. Tetapi itu tidak cukup. Mereka tahu bahwa bila rejim berganti semua bisa berbalik.
Lantas, apakah rejim tidak boleh berganti? Tetapi memaksakan kemenangan suatu rejim berdampak kepada kemerosotan demokrasi. Itulah yang terjadi, indeks demokrasi Indonesia merosot 20 tingkat, dari peringkat 48 pada 2016 menjadi 68 pada 2018. Indonesia bahkan tercecer dari Timor Leste yang berada di peringkat 41.
Seperti spiral Indonesia bergerak dari kekacauan rendah ke kekacauan lebih tinggi. Menurut Teori Chaos, pada puncak chaos yaitu ketika nilai-nilai politik dan kemasyarakatan telah enyah, apapun bisa terjadi. Negara gagal, negara bubar.
Sayangnya, hanya orang bertanggungjawab yang mengerti kegawatan situasi di atas. Bagaimana anda?
*Sumber: fb penulis
KHILAFAH, HOAX DAN CHAOS Oleh: Radhar Tribaskoro Khilafah adalah negara dalam bahasa Arab. Itu saja. Kalau ada orang...
Dikirim oleh Radhar Tribaskoro pada Jumat, 28 Agustus 2020