Tanpa Tulang di Arafah
Oleh: Luthfi Subagio (CEO MediatrustPR)
Di Arafah, kita hanyalah tubuh tanpa tulang, dan seperti bayi yang hanya mampu merengek dan menangis, karena ego dan kuasa kita benar-benar dilucuti Allah lewat perasaan tidak mampu yang teramat sangat.
Hari-hari indah itu masih terasa. Seperti tanpa tulang di Padang Arafah, di mana hari ini kembali terulang. Meski beda waktu dan tempat, momentumnya adalah wukuf di Arafah. Hari-hari penuh syukur, doa, dan pengakuan dosa dalam wukuf. Yaitu wukufnya hati dan tenggelamnya diri dalam zikir.
Hari ini, saya menulis untuk mengingat betapa istimewanya waktu dan tempat ini. Pagi di Arafah yang agung, dimulai dengan subuh yang hangat. Saat wukuf, berjuta orang berkumpul di padang tanpa ilalang. Semua sama. Hanya mengenakan dua helai kain ihram dalam prosesi yang sama.
Dengan satu harapan, memutihkan kembali catatan dosa, serta mencari ampunan Allah SWT. Di hari istimewa ini, Allah sungguh membanggakan manusia di depan malaikat. Subhanallah…
Arafah adalah daerah terbuka dan luas di sebelah timur kota Makkah. Di padang yang luas inilah inti ibadah haji dilaksanakan. Nabi Muhammad pernah ditanya oleh sekelompok orang dari Najed tentang haji, maka beliau menjawab: “Al-hajju Arafah”, artinya inti haji adalah melaksanakan wukuf di Arafah.
Matahari dengan cepat naik di atas ubun-ubun. Telepon sejak sebelum siang sudah tak bisa digunakan. Otoritas Saudi memang mematikan jaringan seluler di sekitar Arafah. Alasannya jelas, agar jamaah haji lebih khusyuk.
Saya urutkan doa dan permintaan satu per satu. Nama-nama istimewa dalam hidup saya catat dengan baik, lalu saya beri catatan kecil tentang apa prioritasnya. Surat-surat dari anak-anak yang hanya boleh dibuka di Arafah juga saya siapkan, saya akan baca saat puncak wukuf.
Tak terasa, waktu zhuhur tiba. Masa-masa di Arafah seakan masuk dalam mesin waktu maha besar yang akan ‘mempertemukan’ para jamaah haji dari berbagai belahan bumi ini dengan Al-Khaliq, Allah SWT. Ya… benar, hati kita terpaut seakan bertemu Zat Yang Maha Membolak-balik hati. Waktu luar biasa ini hanya terjadi di bulan Zulhijjah, persisnya saat zhuhur sampai terbenam matahari.
Saat matahari sudah tergelincir dari tengah hari (pukul 12 siang), hitungan wukuf sudah dimulai. Kami segera melakukan shalat zhuhur dan ashar yang dilakukan secara jamak taqdim.
Setelah selesai, imam mulai berkhotbah, menyeru kepada kebesaran Allah dan membimbing doa. Seketika, gang-gang di sekitar tenda mendadak sepi. Tak ada seorang pun hilir mudik. Suara khotbah bersahutan dari tenda satu ke tenda lain.
Saya bayangkan, tiap pribadi punya dimensi lain dalam dirinya. Saya sendiri seperti masuk sebuah perpustakaan besar, tempat semua buku harian saya disimpan, tempat semua rahasia paling dalam pun mudah dicarinya. Buku dosa-dosa hidup inilah yang akan dihapus oleh Allah, agar hidup kita jadi lebih baik. Allahumma Aminn, Yaa Rabbannaaa…
Setiap mendengar talbiyah.. “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk la syarika laka”. (Kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah), Labbaika laa syariika laka labbaik, (tiada sekutu bagi-Mu dan kami memenuhi panggilan-Mu), Innal hamda wanni’mata laka wal mulk, laa syariika lak, (sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan/kekuatan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu).
Hati dan mulut ini gemetar. Air mata bersusulan berlinangan. Perasaan sungguh hina itu nyata adanya. Allah yang Maha Baik, melihat kita bersimpuh sujud di hadapan-Nya, pada hari yang mulia itu.
“Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba-Nya dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Allah mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)
Ya Allah…. Jatuh hati ini terasa, lumat ditelan rasa bersalah, namun tangan-Mu begitu besar memeluk dan merangkul manusia dengan kasih sayang yang maha dahsyat,…. Ya Allah…
Masing-masing kami kemudian mengambil tempat di Arafah yang sebenar-benarnya. Tidak di bawah tenda, tetapi di bawah langit tanpa penghalang. Perasaan kami, Allah melihat kami, tangis makin menjadi. Memaafkan pasangan menjadi momen yang menimbulkan guratan-guratan hati, dari hati-hati yang lemah milik kami yang senantiasa kita tulisi tiap hari.
Segala puji hanya bagi-Mu Ya Allah. Kini samudera ampunan Engkau sediakan untuk kami. Benar-benar hanya kepada Engkau kami berharap. Yaa Rabbana…. Lalu kami membuka lembara-lembaran dan catatan doa. Kami mengejar ijabah di Arafah.
Yang berat adalah membuka surat anak-anak kami, tentang harapan mereka dan cita-cita mereka. Kami buka berdua, membaca sambil menangis tak henti, menangis dan menangis. Ya Allah, Engkau Maha Melihat kami, memuliakan dan menyaksikan. Kami pun meminta agar anak-anak selalu dalam lindungan-Mu. Selang seling gambar anak-anak ada di depan mata. Tubuh ini terasa lunglai tak berdaya.
Yang lebih membuat sedih adalah, mendoakan ibu bapak yang sudah tiada maupun yang masih ada. Ingin rasanya merengkuh mereka dan berdoa bersama. Namun, semua hanya terwakili oleh tangis yang merentet tak beraturan. Bapak ibu yang membesarkan kami hingga membuat kita bisa berdiri di arafah seperti ini.
Sungguh Allah, berikan mereka kemulian yang paling mulia. “Hari ini kami meminta ya Allah, meminta yang terbaik untuk kami, anak-anak kami, keluarga dan bapak ibu kami. Tetapkankah rahmat-Mu untuk kami, Ya Allah… terus dan terus.” Doa demi doa terus mengalir.
Kala doa-doa berbahasa Arab sudah tandas, sekarang berganti menjadi keluhan, rengekan, permintaan, pokoknya semuanya …. Benar-benar kami lungkai Ya Allah, Ya Rahman.
Menjelang matahari terbenam, waktu makin berlalu, hati menjadi kosong dan sepi. ‘Perjumpaan’ dengan Allah ini membahagiakan sekaligus melelahkan hati kami, mata kami, dan raga kami, karena kami harus mengingat semua kejadian atau orang yang membuat kita berlilit dosa. Kini saatnya melepas semuanya.
Tangis bukan muylai reda, malah semakin deras. Hati makin tak berdaya. Tubuh lunglai hingga matahari meluncur turun. Kami sungguh memohon, Ya Allah. Perasaan kami seperti anak kecil yang akan ditinggal pergi. Hati mengerang, kalau bisa, selamanya perasaan nikmat ini. Ingin waktu membeku, waktu tidak berlalu.
Sungguh perjumpaan di hari yang nikmat. Kami tak bisa menggambarkan dengan kata-kata, semua perasaan mampu kami seolah terlucuti. Yang ada hanya nikmat dan nikmat…
Langit barat mulai semburat merah, seakan mewakili hati kami terhadap ‘perjumpaan’ ini. Kami benar-benar tidak rela berpisah. Tapi siapa yang bisa mencegah? “Baik Ya Allah, kami akan berjalan kembali,” kataku dalam hati. Saat itu aku ingat surat Al Fatihah, “Tunjukilah jalan yang lurus” kalau hari biasa kami baca, hati kami tak pernah ‘tersentuh’ sehebat ini. Tapi sekarang, hati bergolak sejadi-jadinya, menggetarkan kami.
Kami meninggalkan Arafah setelah magrib dan selalu membaca al Fatihah. Dalam imajinasi, Allah melepas kami berjuang kembali, seraya seperti ada bisikan yang bilang, “Tidak akan lama kau di dunia, sayangku. Tetapkan hatimu…,” saya menangis lagi.
“Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para Nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.” (HR. at-Tirmidzi) “Ya Allah tiada tuhan selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya,bagi-Nya segala kerajaan dan segala puji. Dia yang menghidupkan dan mematikan. Ia hidup tidak mati. Di tangan-Nya segala kebaikan dan Dia Maha kuasa.”
Matahari akhirnya tenggelam. Wukuf berakhir. Kami kembali ke belantara dunia. Kami mengais-ngais sisa rasa ‘perjumpaan’ teramat manis itu. Hati kami bahagia, sungguh tak ada kata bisa menjelaskannya. Beban berat kehidupan kami itu didengar Allah, banyak janji terpetik dari sini. Ingin lebih baik, ingin rendah hati, ingin banyak hal yang baik-baik saja.
Saya tahu, mengapa orang ngantre sekian tahun untuk berhaji dan ingin lagi dan lagi. Karena perasaan wukuf di Arafah itu tidak ada tandingnya. Padahal ini hanya rasa saja. Di sini saya paham, kebahagian paling puncak penghuni surga adalah bertemu Sang Khaliq.
Kami semua meninggalkan Arafah dengan mata bengkak. Suasana sudah agak sepi. Saya mandi agar lebih segar setelah seharian dijemur panas dan debu. Mata saya awas melihat sekeliling. Saya ingat kata-kata seorang muthawif yang bilang begini: “Setelah jamaah haji meninggalkan Arafah seringkali orang melihat di Arafah tiba-tiba banyak hewan, mulai monyet sampai harimau,” katanya.
Saya tidak percaya, dia kemudian melanjutkan, “Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat, karena itu adalah dosa-dosa jamaah yang tertinggal di sini.”
Keluar dari Arafah, air mata masih saja menetes. Saya seka dengan ihram yang semoga bisa menemani saya di liang kubur nanti. Ah… Ya Allah, mau ngomong apa lagi? Kecuali bersyukur, bersyukur dan bersyukur yang tak ada habisnya. Dan tentu doa penutup; “Kembalikan kami kesini lagi ya Allah…”
(Sumber: Indoesiainside)