Kita Tidak Kekurangan Pangan, Kita Kurang Kemauan Untuk Makan Yang Kita Punya
Disana, Anda akan berjumpa dengan puluhan jenis umbi-umbian yang sebagian saya kenal di Indonesia. Ada yang dalamnya berwarna putih bersih, ada yang kuning, ada yang ungu (purple).
Salah satu yang sering saya jumpai adalah gembili. Umbi-umbian ini seringkali hanya saya kukus dan taburi sedikit garam ketika matang. Ini menjadi makanan yang sedap. Lebih sedap lagi kalau dihancurkan dan kemudian ditambah kelapa. Bisa juga ditambah gula. Namun dimakan begitu saja juga tetap enak.
Selain itu, ada aneka ragam jagung. Sama seperti umbi-umbian, jagung pun berwarna-warna. Ukuran besarnya pun beraneka ragam. Ada yang sebesar kelereng. Kalau direbus butuh waktu lama dan rasanya hambar (anyep). Ada juga yang manis, tentu saja. Saya tidak tahu darimana saja asal beraneka ragam varietas jagung tersebut.
Kentang pun sama saja. Semula saya pikir bahwa kentang itu ya cuman satu jenis saja: warna kekuningan dengan tekstur khas seperti yang kita makan sebagai French Fries (yang bukan berasal dari Perancis!).
Ada puluhan jenis kentang yang pernah saya lihat. Seperti ubi, ada juga yang ungu, kuning dan bahkan kemerahan. Ada juga yang kecil dengan gurih luar biasa.
Waktu saya kecil, banyak orang dari Bali Timur yang memiliki tradisi menukarkan kentang yang kecil-kecil dengan beras. Mereka berjalan kaki ke Denpasar. Tradisi itu dinamakan "megendong" yang sering disamakan dengan mengemis. Saya kira tidak sama. Mereka menukarkan hasil bumi mereka dengan beras.
Saya masih ingat rasa kentang yang kecil-kecil dan berwarna kehitaman itu. Sangat lezat! Gurih sekali. Kentang ini berasal dari bukit-bukit tandus di daerah Karangasem.
Mengapa saya menuliskan soal ini?
Saya membaca bahwa Presiden Jokowi memerintahkan BUMN untuk mencetak sawah-sawah baru. Pandemik ini akan membuat kita mengalami krisis pangan. Kita membutuhkan lebih banyak beras.
Namun benarkah demikian? Saya tidak terlalu yakin. Banyak sekali orang yang bergelut dalam pangan memberitahu saya bahwa Indonesia tidak kekurangan sumber pangan. Yang kita kekurangan adalah kemauan untuk memanfaatkan sumber-sumber pangan tersebut.
Merubah lahan gambut menjadi sawah? Mengapa tidak membiarkan ekosistem gambut itu seperti sediakala dan membiarkan pohon-pohon sagu tumbuh disana. Sagu adalah sumber nabati yang luar biasa bagusnya. Penduduk Indonesia Timur sudah memakainya sebagai sumber pangan sejak awal jaman.
Hutan sagu kita ditebang dan dikonversi menjadi HTI. Jika pun kita memanfaatkan sagu dalam skala industri, kita mengubahnya menjadi lem untuk merekatkan kayu lapis.
Juga umbi-umbian. Tidak perlu banyak usaha untuk menanam umbi-umbian. Ada puluhan jenis umbi-umbian yang bisa dimakan. Ada Talas, Gembili, Gembolo, dan lain sebagainya. Sebagian beracun. Ia memabukkan tapi tidak mematikan. Hanya perlu teknologi sederhana untuk mengolahnya. Persis seperti mengolah jenis singkong beracun.
Kita sering mendengar bahwa orang Indonesia tidak belum merasa makan kalau belum makan nasi. Semakin lama saya makin meragukan pernyataan itu karena semakin banyak orang Indonesia makan mie instan sebagai makanan pokok. Walaupun kadang masih diperlakukan sebagai lauk teman nasi.
Indonesia tidak memproduksi sebutir pun biji gandum untuk membuat mie. Namun konsumsi gandum kita sedemikan besar. Jutaan ton kita impor setiap tahun untuk gandum. U.S. Department of Agriculture (USDA) memperkirakan Indonesia akan mengimpor 11,3 juta ton gandum pada 2019-20. Sebagian besar dari impor itu untuk memenhuhi konsumsi dan obsesi akan mie instan.
Dengan berlaku demikian, kita sesungguhnya menggadaikan perut kita kepada bangsa lain. Kita tidak makan dari apa yang kita hasilkan. Memang membeli gandum, dalam jangka pendek, jauh lebih murah daripada membuka sawah misalnya.
Namun persoalannya bukan disana. Sekali lagi, persoalannya Indonesia bukan kekurangan bahan pangan. Indonesia kekurangan kemauan untuk menggunakan bahan pangan yang tersedia.
Pertama, kita tidak perlu menggantungkan diri sepenuhnya kepada makanan berbahan dasar gandum yang tidak bisa kita produksi. Kita harus hentikan obsesi kita dengan mie instan. Ada argumen bahwa mie instan itu praktis. Dia bisa ditransportasikan dengan mudah. Sehingga bisa menjadi makanan cepat untuk bencana, misalnya.
Argumen ini sangat lemah. Kita bisa membuat makanan instan dengan bahan apa saja bukan? Tidak butuh Industri 4.0 untuk membuat mie instan berbahan dasar sagu, misalnya.
Kedua, kita harus menghentikan ketergantungan kita pada beras. Memang kita memiliki afinitas kultural terhadap beras. Tapi makan dengan campuran umbi-umbian bukanlah sesuatu yang nista. Makan umbi-umbian bukan simbol kemiskinan. Bahkan makan umbi-umbian lebih baik untuk kesehatan karena banyak umbi memiliki kadar glukosa (gula) lebih rendah daripada beras.
Yang kita butuhkan adalah kampanye. Jika perusahan mie instan bisa membuka pasar, mengapa pangan alternatif tidak bisa? Disinilah kita memerlukan intervensi pemerintah khususnya dalam mendidik masyarakat untuk memanfaatkan sumber-sumber pangan yang tersedia, mendorong produksinya, dan membantu distribusinya.
Mengapa kita tergantung pada beras dan gandum? Kalau Anda belajar politik ekonomi, Anda pasti akan mengerti bagaimana konsumsi pangan ini dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan raksasa bisnis dan elit-elit politik. Mereka tidak pernah tersentuh.
Disinilah salah satu oligarki bersemayam. Mereka mengontrol perut Anda!
Penulis: Made Supriatna
*Sumber: fb