Oleh: Prof. Daniel Mohammad Rosyid
(Guru Besar ITS)
Siapa saja yang mengenal dan menghayati UUD 1945 akan terkejut jika membaca naskah RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sudah disetujui oleh Pleno DPR sebagai RUU inisiatif DPR pada Selasa (12/5/2020) lalu.
Mulai dari bagian menimbang, mengingat dan pasal-pasalnya, sebagian merujuk kembali ke naskah pembukaan dan batang tubuh UUD 2002.
Menurut hemat saya, RUU HIP merupakan upaya amandemen secara diam-diam atas UUD 2002 tanpa melalui prosedur yang dibenarkan. Apalagi proses pembahasannya dilakukan secara kejar tayang tanpa pembahasan mendalam yang dibutuhkan dalam sebuah pengaturan yang amat fundamental.
Sulit untuk tidak mengenali adanya operasi senyap dalam rangka mengubah kedudukan Pancasila dalam susunan perundang-undangan nasional, sekaligus mengaburkannya sebagai konsensus nasional para pendiri bangsa.
Pada bagian menimbang RUU HIP sudah mencerminkan bahwa UU ini dimaksudkan untuk menafsirkan Pancasila yang tersurat dalam paragraf 4 pembukaan, seolah ingin mengamandemen konstitusi.
Selanjutnya, pada bagian mengingat justru melupakan 2 Ketetapan MPR yang penting; yaitu TAP MPRS XXV/1966 tentang pelarangan ideologi komunis, leninisme, marxisme, dan TAP MPR 2003 tentang hirarki perundang-undangan yang berlaku.
Pancasila yang terdapat dalam pembukaan merupakan sumber dari semua sumber hukum. UUD adalah sumber hukum di bawah Pancasila. UU berada pada hierarki di bawahnya lagi.
Selanjutnya, pasal 1 ayat 3 menempatkan UU ini setara dengan UUD yang menjadi pedoman bagi penyelenggaraan negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di semua bidang serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejumlah Pasal Bermasalah:
=> Pasal 1 ayat 3 ini menjadi Omnibus Law Cipta Rezim Otoriter untuk membentuk sebuah masyarakat Pancasila (ayat 10) sesuai kehendak rezim yang berkuasa.
=> Pasal 3:a menempatkan HIP sebagai Pancasila itu sendiri. Pasal 3:3c menyamakan kedudukan pemerintah yang sah setara dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tampak sekali bahwa RUU ini memberi peluang kelahiran pemerintah otoriter yang mengaku dirinya sama dengan NKRI. Padahal pemerintah berganti setiap 5 tahun, sedang NKRI tidak.
=> Pasal 4:a, b, c, d, e menempatkan RUU ini sebagai omnibus law yang sekaligus pengganti batang tubuh UUD 2002.
=> Pasal 6: 1, 2 menunjukkan upaya mengganti Pancasila sesuai kesepakatan para pendiri bangsa pada sidang PPKI tgl 18/8/1945 dengan konsep Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam pidato sidang BPUPKI 1/6/1945.
=> Pasal 7:e dan f mengutip ulang paragraf Pembukaan UUD 1945.
=> Pasal 9: mengajukan visi yang berbeda dengan cita-cita proklamasi yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
=> Pasal 18: a, b, c praktis menempatkan UU ini sebagai konstitusi yang bermakna melakukan amandemen secara diam-diam tanpa melalui prosedur yang seharusnya.
Akhirnya, saya membuat kesimpulan bahwa RUU HIP ini harus ditolak dan dicegah menjadi UU! Sebab UU HIP ini merupakan Omnibus Law Cipta Rezim Otoriter dengan melakukan amandemen atas UUD 2002 secara diam-diam tanpa mengikuti prosedur amandemen dengan memanfaatkan kondisi darurat pandemi Covid-19.
Gunung Anyar, 25/5/2020
(Sumber: Orangramai.id)