[PORTAL-ISLAM.ID] Istilah “boneka” seringkali diasosiasikan untuk seseorang yang peran dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, seorang aktor atau artis dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Berarti mereka adalah boneka.
Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosial. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda dengan panggung belakang. Bisa 180 derajat. Di depan para penonton seorang pelawak bisa ketawa, padahal di hatinya ia sedang menangis karena konflik keluarga. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi.
Teori dramaturgi ini menarik ketika dibawa ke panggung politik. Para pelaku politik (politisi) punya dua panggung. Panggung ketika mereka berhadapan dengan publik, dan panggung ketika mereka berada di lingkungan temen-temen politiknya.
Di hadapan publik, para politisi akan bicara moral. Istilah nasionalisme dan NKRI menjadi khutbah hariannya. Fungsi-fungsi pelayanan publik akan selalu dijadikan narasi indahnya. Apakah idealisme ini juga jadi narasi mereka saat berada di panggung belakang?
Panggung belakang itu masuk wilayah otoritas ketua umum partai. Anggota-anggota partai adalah serdadu yang bekerja untuk menerjemahkan dan menyampaikan keputusan partai. Terutama agenda dari ketua umumnya. Di depan media, mereka dalam posisi sebagai juru bicara partai dengan gaya dan kemampuan inovatif masing-masing. Ini konteksnya anggota partai.
Kalau staff istana, mereka akan bicara sesuai draft dari istana. Biasanya, juru bicara istana lebih hati-hati dan lebih teratur, agar tak terjadi kesalahan. Kalau salah, bisa fatal. Karena merepresentasikan nama istana. Sedikit lebih sakral.
Berbeda jauh dengan juru bicara dari partai, tampak lebih bebas, atraktif dan meledak-ledak. Seolah ia satu-satunya orang yang punya otoritas dan pemegang tongkat kebenaran. Semakin lantang dan keras ia bicara, akan dianggap sebagai orang yang kritis dan berani. Padahal, boneka juga. Di panggung belakang, ketua umum partai sedang melakukan negosiasi.
Tidak hanya anggota partai dan juru bicara istana, bahkan para ketua umum partai dan para penghuni istana boleh jadi juga boneka. Itu jika mereka menduduki posisi tersebut dengan bantuan dan peran kelewat besar dari orang atau kelompok di luar.
Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka. Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis semakin terbuka lebar.
Era demokrasi seperti saat ini, seringkali lahir para pemimpin boneka. Kepala daerah hingga presiden, bahkan juga anggota DPR, sulit untuk menghindari kebutuhan terhadap mekanisme ini.
Untuk nyalon presiden, anda harus mau didandani. Tidak boleh “mau anda” sendiri. Seperti apa anda akan dicitrakan, mesti berbasis pada hasil survei. Survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitas anda saja, tapi terutama untuk mengidentifikasi “apa mau” masyarakat pemilih terhadap anda. Masyarakat suka capres itu pakai baju putih lengan panjang, berpakaian sederhana, dan suka blusukan, misalnya. Maka anda harus berpenampilan seperti itu. Mekanisme pencitraan seperti ini berlaku juga untuk calon kepala daerah dan caleg. Citra apa yang diinginkan dan disukai masyarakat harus dipenuhi.
Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang. Bahkan pencitraan itu sendiri perlu biaya. Ketika anda nyalon presiden, nyalon jadi kepala daerah, atau nyaleg, anda butuh dana (logistik). Dana yang dibutuhkan gak sedikit. Kalau dana sindiri gak cukup, dan biasanya memang gak cukup, jalan alternatifnya harus cari bantuan. Dan anda tahu, bantuan itu gak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda.
Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka makin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah jadi boneka.
Demokrasi yang awalnya dibuat dengan fungsi utamanya untuk memberi ruang partisipasi rakyat secara penuh agar lahir para pemimpin yang ideal, independen dan berani, namun pada akhirnya yang jadi justru para boneka. Menurut Robert Merton, ini disfunction. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka.
Kenapa ini terjadi? Karena demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Pertama, para calon dimanipulasi sikap dan perilakunya agar sesuai dengan persepsi masyarakat pemilih. Tentu, berbasis pada hasil survei. Kedua, sikap dan perilaku ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial, yaitu para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan. Ketiga, legitimasi ini disosialisasikan secara masif oleh tim buzzer yang dibayar secara profesional untuk menjalankan tugas ini. Keempat, suara para pemilih tidak lagi murni. Dibeli dan diberikan kompensasi. Kelima, terjadi pengendalian terhadap panitia pemilu dengan menjadikannya sebagai tempat bertransaksi. Dipecatnya dua komisionir KPU adalah bagian dari pembuktian. Keenam, hukum dan aturan tidak jalan, bahkan cenderung dikendalikan untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok.
Terinspirasi dari teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya demokrasi dan hukum berfungsi untuk siapa? Faktanya bukan untuk rakyat, tapi untuk mereka yang berhasil secara sistematis menjadikan kebanyakan dari para elit politik itu sebagai boneka. Kalau begitu, apa yang bisa diharapkan dari boneka-boneka itu?
Penulis: Tony Rosyid