[PORTAL-ISLAM.ID] Pemerintahan Jokowi di periode kedua sudah berusia 100 hari. Selama didampingi Wakil Presiden Ma`ruf Amin, kinerja Jokowi selama 100 hari pertama dominan dikritik oleh publik. Salah satu yang menilai kinerja Jokowi-Ma'ruf selama lebih kurang tiga bulan ini adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
YLBHI menilai pemerintahan Jokowi periode kedua ini makin terburuk dari segi penegakan hukum, terutama di bidang pemberantasan korupsi. Dugaan para koruptor dipelihara tergambar dari kebjakan Jokowi yang melemahkan posisi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Hal lainnya dalah dibungkamnya kebebasan sipil hingga nihil perlindungan HAM menjadi hal yang memwarnai prestasi Jokowi di 100 hari pertama periode kedua ini.
Setidaknya ada 9 fakta yang diungkap oleh YLBHI tentang gagalnya Jokowi di periode kedua ini seperti yang disampaikan dalam keterangan persnya, yakni;
1. Pendekatan keamanan
Hal ini terlihat dari perluasan definisi radikalisme menjadi intoleransi dalam Surat Keputusan Bersama 11 Kementerian dan Lembaga tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara (ASN), yang isinya memuat 11 butir larangan untuk tidak dilanggar oleh seluruh insan Aparatur Sipil Negara.
Selain definisi yang tidak jelas sehingga berpotensi pelaksanaan yang sewenang-wenang, SKB ini memperluas definisi radikalisme sehingga intoleransi masuk di dalamnya.
Tentu kita tidak suka dengan intoleransi tetapi mengkategorikannya sewenang-wenang akan memunculkan penanganan yang salah dan tidak menyelesaikan masalah. Hal ini juga ditunjukkan dengan melibatkan TNI dalam persoalan keamanan.
2. Membungkam kebebasan sipil
Hal ini ditunjukkan melalui pernyataan Jokowi yang intimidatif dengan meminta BIN dan POLRI “mendekati” Ormas yang menolak Omnibus Law.
Hal ini hanyalah melanjutkan kebijakan periode sebelumnya di mana dalam catatan LBH-YLBHI 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum. Data ini belum termasuk 21 orang yang ditangkap saat buruh melakukan aksi pada pidato Presiden 16 Agustus 2019.
3. Mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan-keamanan
TAP MPR VI/2000 mengatakan “peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat” dan karenanya dwifungsi dihapus. Tetapi pemerintahan Jokowi justru melibatkan kembali TNI juga Polri dalam berbagai kementerian.
4. Melanjutkan impunitas
Pemerintah melanggengkan impunitas penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Tidak adanya upaya penyidikan untuk menindaklanjuti dokumen peyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang sudah dikirimkan KOMNAS HAM kepada Jaksa Agung.
5. Mengabaikan HAM
Konsisten dengan pidato awalnya, Jokowi – Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya. Menteri-menteri pilihan Jokowi konsisten pula dengan pengabaian HAM.
Menkopulhukam bahkan mencoba memelintir tentang apa yang disebut pelanggaran HAM dengan mengatakan tidak ada pelanggaran HAM di Era Jokowi.
Demikian pula Jaksa Agung yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Pernyataan kedua orang ini menggambarkan pilihan politik pemerintahan yang mengabaikan HAM.
6. Perampokan hak rakyat untuk segelintir orang
Rencana beberapa Omnibus Law sangat mencengangkan dalam derajat pengabaian hak rakyat dan lingkungan. Salah satunya rencana menghapus Izin Mendirikan Bangunan dan AMDAL untuk mempermudah investasi.
Padahal dengan IMB dan Amdal saja sudah banyak terjadi perampasan tanah, air, rumah rakyat dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana. Omnibus Law juga berencana menghapus berbagai hak normatif buruh yang artinya akan makin mengurangi kualitas hidup buruh dan keluarganya.
7. Mengabaikan dan menghambat partisipasi publik
100 hari Jokowi – Ma’ruf diisi dengan rencana pemindahan Ibukota Negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Rencana pemindahan ini ditetapkan sewenang-wenang tanpa melibatkan konsultasi publik dengan masyarakat di kedua wilayah itu pada khususnya dan tanpa kajian yang matang mengenai dampak sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup.
Pembentukan Omnibus Law juga dilakukan TANPA partisipasi masyarakat bahkan dengan sengaja menghalangi masyarakat untuk mengakses RUU tersebut.
8. Melakukan operasi militer ilegal di Papua
Pemerintah tidak pernah mengakui melakukan operasi militer ilegal tetapi mengerahkan pasukan yang sangat banyak setidaknya di Kabupaten Timika, Paniai, Puncak Papua, Puncak Jaya dan Intan Jaya. Akibat tidak adanya akuntabilitas untuk penurunan pasukan maka jatuh korban jiwa, pengungsi internal dan terganggunya aktivitas warga termasuk perayan Natal.
9. Memperlemah pemberantasan korupsi
Melanjutkan agenda pelemahan pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK, hal ini berlanjut dalam 100 hari Jokowi – Ma’ruf. Perppu UU KPK tidak dikeluarkan. Pimpinan KPK yang memperlemah KPK didiamkan saja.
Dan bahkan Menkumham Yasona yang telah melakukan tindakan melanggar etika sebagai Menteri dan terindikasi terlibat dalam penghalang-halangan proses peradilan hanya dijadikan contoh agar menteri-menteri lain hati-hati dalam menyampaikan pendapat.
Sumber: lawjustice