Menggelorakan Partai Gelora?
Oleh: Iin Prasetyo
Seperti biasa, jika perkongsian politikus dalam satu partai politik (parpol) gaduh, maka cara yang paling favorit apabila benar-benar tidak lagi bisa mesra adalah membuat parpol baru.
Hal ini menjadi jalan alternatif bagi mereka, korban depakan, untuk lebih mengepakkan sayapnya sebagai pekerja politik. Inilah yang barangkali disebut adat politik.
Banyak hal memang yang menjadi dasar pemikiran berdirinya sebuah parpol dari bukan sekadar hasil “hubungan tidak baik” antarpolitikus. Mereka seseorang yang sudah besar namanya bersama parpol barunya akan mengulang dari nol—duh, tenaga dan biaya membeli kepercayaan masyarakat jangan sampai sekarat—begitulah kira-kira dibahasakan parpol baru.
Partai Gelombang Rakyat (Gelora) namanya. Dilahirkan oleh politikus eks-Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Dengan tanggal cantik, mereka membentuk tepat pada momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 2019. Ciamiknya lagi, mereka mendeklarasikannya pada momen Hari Pahlawan 10 November, sementara belum mendaftarkannya ke Kemenkumham.
Walaupun duo Anis-Fahri sebagai motor Gelora, hengkangnya mereka dari Partai Kepresidenan Sohibul Iman ini juga menarik simpati 99 orang rekan-rekan yang mungkin pro dengan Anis-Fahri. Sehingga proses persalinan Gelora pun tidak bisa dibilang sebuah pengorbanan Anis-Fahri saja. Ada juga rekan-rekan di luar eks-PKS.
Ketokohan Fahri, apalagi kebersihannya dari kasus-kasus politik, tidak diragukan lagi. Bisa saja Fahri menjadi besi sembrani untuk Gelora. Ini memang bisa menjadi modal besar untuk reputasi partai.
Akan tetapi, Gelora masih belum bisa berjalan apalagi menggelora, sehingga membuat modal itu pun belum memadai—bahkan mendekat ke pemerintah pun juga kurang membantu, apalagi sebagai oposisi, rujuk saja sudah dengan PKS.
Contohnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Perindo, dan Berkarya pada pemilu 2019, masing-masing memperoleh suara 1,89 persen, 2,67 persen, dan 2,09 persen. Ketiga partai baru ini tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen). Artinya, tidak bisa menjadi bagian legislator di Senayan.
Ketokohan dan modal sebasar apa lagi yang harus dimiliki parpol baru untuk bisa jalan mulus ke DPR Pusat?
Pada Pemilu sebelum-sebelumnya juga sama. 2009, Gerindra mendapatkan suara 4,5 persen. Dan Demokrat, pada 2004, meraih suara 7,45 persen. Apa yang tidak dimiliki kedua partai ini?
Selain itu juga, ada hal yang mungkin cukup menyedihkan bagi mereka yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Parpol berikut memiliki pengurus di seluruh provinsi, 75 persen di kabupaten/kota, dan 50 persen di kecamatan merupakan syarat parpol mengikuti pemilu. Begitu pun Partai Idaman, Partai Rakyat, Partai Rakyat Berdaulat, dan Partai Kerja Rakyat Indonesia lebih miris dibanding PSI, Perindo, dan Berkarya.
Anis-Fahri, dkk., untuk menggelorakan Gelora, harus membangkitkan citra untuk memperluas sasaran pemilihnya. Gelora harus membuktikan kepada PKS yang kini memperoleh suara yang cukup positif, yakni dari 6,79 persen pada 2014, melejit ke bilangan 8,21 persen pada 2019, sehingga jauh melangkaui batas ambang parlemen. Dengan begitu, Gelora tak serta-merta bisa merebut basis suara PKS yang juga loyal.
Tidak ada salahnya Gelora belajar percaya diri kepada Demokrat. Demokrat menggenjot suaranya dengan membawa tokoh sentral Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden dan itu berhasil.
Dan Gelora juga bisa mengambil iktibar dari apa yang dialami Perindo. Sepertinya Hari Tanoesoedibyo sudah punya segalanya, menguasai media massa dan punya modal besar. Akan tetapi, figur utama belum bisa memenangkan hati rakyat.
Satu lagi, PSI, tidak ada tokoh sebab rata-rata politikus fresh graduate, tidak juga bermodal besar, media sosial dan mendekati pemerintah juga belum bisa melenggang di parlemen pusat.
Sudah siapkah Gelora dengan apa yang sudah dialami oleh pendahulunya? Atau tetap menurut dengan petuah “Berjuang saja dulu hasil belakangan, usaha tidak mengkhianati hasil”?
Gelora harus gerak cepat membangkitkan brand-nya. Memang, kalau melihat perjalanan parpol baru terdahulu, belum ada yang sukses meraih hati rakyat begitu cepat. Gelora jangan sampai jadi sampah-sampah politik yang menebeng kekuasaan dengan tanpa idealisme yang jelas dan terukur.
Fahri Hamzah, publik telah mengenalnya dengan kevokalannya menyuarakan kebenaran yang datang dari keyakinannya. Jangan buat publik merindu bagaimana kita memperjuangkan idealisme.
Fahri, dkk. tak bisa berdiri sendiri menjual nama dan ketercapaiannya sejauh ini apalagi Fahri sendiri bukan sosok yang terbentuk dari proses untuk pemimpin (presiden), akan tetapi karakternya terbentuk dan dikenal rakyat sebagai kritikus, maka Gelora harus membidik sosok yang sekiranya menjadi presiden. Seperti Nasdem yang merapat ke Anies Baswedan, misalnya.[]
Sumber: qureta