Menanti Kiprah Milenial Istana
Oleh: Jusman Dalle
Presiden Joko Widodo tampak menyadari betul pentingnya membuka jalan bagi para milenial untuk berkiprah bersama pemerintah. Tak kurang dari 10 orang generasi milenial didapuk menjadi bagian dari Istana. Satu orang Menteri, dua orang Wakil Menteri dan tujuh orang Staf Khusus.
Mereka adalah Nadiem Makarim (Mendikbud Dikti), Jerry Sambuaga (Wamendag), Angela Tanoesudibjo (Wamenpar Ekraf), serta staf khusus yang disandang oleh Putri Tanjung, Adamas Belva Devara, Ayu Kartika Dewi, Angkie Yudistia, Gracia Billy Yosaphat Membrasar, Amniddin Maruf dan Andi Taufan Garuda Putra.
Milenial di etalase Istana ini punya background karir dan aktivitas beragam. Namun para milenial Istana punya satu kesamaan. Kiprah dan kontribusinya tak lagi diragukan. Di bidangnya masing-masing. Bila dikluster, pada empat sektor yang sedang jadi tren. Yaitu industri kreatif, teknologi informasi (industri digital), edukasi, serta gerakan sosial kemasyarakatan.
Milenial istana memang jadi harapan membawa angin segar perubahan. Namun posisi di lingkaran utama Presiden tetap mendapat sorotan. Terutama karena beberapa diantaranya dianggap mendapat posisi penting karena privilese. Terkatrol hak istimewa.
Sebagian merupakan kader parpol. Ada pula yang menyandang status anak ketua umum parpol, anak pengusaha yang disegani politisi, serta relawan Pilpres. Predikat di belakang nama yang tak terkait dengan kiprah mereka sebelumnya di berbagai bidang industri, dianggap membebani. Namun, kita coba menaruh harap bahwa mereka dipilih karena kompetensi. Bukan karena privilese yang dikalkulasi.
Perlu Pembuktian
Membuktikan kiprah di kancah pemerintah. Itulah tantangan terberat yang mengadang milenial istana. Memang ada pencapaian di bidang dan industri yang telah dilakoni. Namun hal itu seolah belum cukup diyakini. Publik masih menagih.
Maka muncul suara-suara kritis yang seolah mempertanyakan “bisa apa sih milenial ini di pemerintahan?”. Lontaran skeptisme itu mungkin tampak meremehkan kemampuan milenial dalam mengelola lembaga yang berpatron pada negara. Namun, ada benarnya juga.
Pasalnya, dunia industri dan digitalisasi sarat dengan efektivitas, efisiensi, agility (kelincahan) dan fleksibilitas (kelenturan). Berkebalikan dengan kultur dan karakter dunia birokrasi yang kikuk, hirarkis, canggung dan rigid. Kultur kolot dan konvensional inilah, yang hendak didobrak oleh Presiden.
Di berbagai kesempatan, Presiden mengulangi-ulangi hal senada. Dalam momentum pengenalan jajaran menteri-menteri, Presiden bahkan bilang, jangan terjebak dengan rutinitas. Harus ada terobosan. Masalahnya, terobosan tidak bisa muncul di tengah situasi status quo yang membekap.
Laporan World Economic Forum yang berjudul Global Competitiveness Report 2019 menyebutkan Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia merosot lima peringkat. Komponen tertinggi dari penurunan GCI adalah adopsi teknologi informasi dan komunikasi. Artinya, ada masalah besar dalam birokrasi Indonesia dalam memandang dan merespons teknologi. Padahal, adopsi teknologi sudah jadi agenda mendesak di semua level kehidupan bangsa. Termasuk oleh pemerintah.
Menggandeng milenial di lingkaran utama Istana pilihan bijaksana. Agar produk kebijakan pemerintah pro masa depan. Tidak terjebak dalam kungkungan kemapanan zona nyaman. Alih-alih berlari dan berselancar dengan kebijakan yang kental dengan dukungan terhadap inovasi dan adopsi teknologi.
Bukan apa-apa, tantangan Indonesia semakin berat. Di sektor ekonomi, ada banyak problem yang mesti dipecahkan. Konsen pemerintah saat adalah melepaskan Indonesia dari middle income trap. Yaitu posisi tanggung sebagai negara berpenghasilan menengah atas. Tahun 2018, pendapatan perkapita masyarakat Indonesia Rp56 juta. Sementara untuk menjadi negara maju, pendapatan perkapita harus menembus angka Rp170 juta pertahun.
Pembenahan atau reformasi struktural merupakan kunci untuk membuka jalan tercapainya skenario jangka panjang ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6% agar beranjak jadi negara maju. Realitasnya, kapasitas ekonomi saat ini bahkan sulit digenjot menembus angka 5,5%. Proyeksi Bank Dunia pun, ekonomi Indonesia diperkirakan cuma mampu tumbuh 5,1% pada tahun 2020.
Ekonomi Digital
Maka memang perlu terobosan. Kebijakan berani untuk mendobrak kebuntuan yang terjadi. Untuk inilah ide dan pemikiran milenial diandalkan. Bahkan jadi kunci. Sebab milenial lebih memahami situasi terkini.
Terutama di tengah pergeseran (shifting) lanskap ekonomi ke era digitalisasi. Dalam banyak kasus, perlu penanganan khusus (special approach). Misalnya polemik rivalitas layanan transportasi online dan konvensional. Ketegangan yang bahkan sempat meletus jadi konflik. Lalu pemerintah nampak kebingungan mencari solusi.
Ketika itu, pemerintah merilis aturan yang gagal mengakomodir kedua belah pihak. Bahkan terkesan berlawanan dengan arus revolusi ekonomi digital. Dan berujung pembatalan Permenhub 108/2017 setelah digugat di Mahkamah Agung (MA).
Kasus terbaru adalah soal polemik tentang otoped listrik. Layanan salah satu startup ekonomi digital ini sedang naik daun. Digemari anak-anak muda. Namun belum lama ini jadi sorotan karena mengakibatkan korban jiwa.
Pemerintah pun dituntut untuk membuat regulasi. Permintaan itu disahuti dengan larangan otoped di jalan raya dan jalur sepeda. Bahkan akan dilakukan sanksi tilang. Diskursus terus bergulir.
Dua contoh kasus kontemporer, baru dan kekinian tersebut, tentu saja tidak dapat dilihat hitam putih. Tapi perlu pendekatan teknis yang bijaksana dan tetap mempertimbangkan relevansi dengan inovasi teknologi dan digitalisasi. Harus diakui, inovasi anyar tersebut berkontribusi bagi ekonomi.
Disinilah peran milenial di lingkar dalam Istana. Milenial di lembaga pemerintah adalah darah segar untuk menghilangkan sumbatan-sumbatan yang menghambat. Agar regulasi dan produk-produk kebijakan yang dilahirkan tidak menafikan realitas kontemporer. Bahkan berdampak eksponensial di berbagai level kehidupan ekonomi bangsa.
Pertanyaan yang menarik diajukan, apakah pemikiran, pertimbangan dan terobosan yang nantinya ditawarkan bakal diadopsi? Mengingat, secara faktual lingkungan birokrasi masih sulit meninggalkan budaya lama. Budaya yang telah mengakar kuat.
Budaya yang sebenarnya juga jadi musuh pemerintah. Meski terkesan, ada pihak-pihak yang sengaja memelihara. Karena terancam, dan mungkin merasa terganggu kepentingannya. Bisakah milenial melampau ini semua? Mari kita beri kesempatan kepada mereka untuk berkiprah.[]
Sumber: Opini Kontan, 27/11/2019